Gadis cantik

184 19 2
                                    

Kemarin adalah sejarah baru yang Julian ciptakan, rangkaian kejadian yang begitu membuat jantungnya berdebar tak karuan. Sebuah emosi yang asing, rasa yang nyaman meski kadang sedikit mengganggunya.

Selama Julian menikmati waktu di lingkungan baru, dia belum pernah sekalipun berani bercerita pada kedua orang tuanya. Mereka pun tidak menuntut agar semua kegiatan yang dirinya lakukan harus dilaporkan. Alfred juga Lucian mengerti, ada privasi yang harus dimiliki oleh putra mereka.

Namun, hari ini, sepulang dari luar, Julian tampak berseri-seri.  Untuk pertama kalinya pula Alfred dan Lucian penasaran, sesuatu seperti apa yang membuat air muka Julian sebegitu berbinar.

Mereka menegur Julian begitu lewat di ruang tamu. Wajah bahagia yang terlukis oleh sang putra menciptakan lengkung senyum di bibir mereka,  saat hari pertama keluar rumah pun Julian pulang dengan aura yang sama. Namun, sepertinya kali ini jauh lebih menakjubkan barang kali.

Sang ayah menegur, meminta Julian untuk duduk sebentar. Sementara Lucian menagih apa yang sudah terjadi, sampai putra kesayangannya ini terlihat begitu berseri. Dari ekspresi yang jarang sekali ditunjukkan, pasti ada hal baik yang baru dialami Julian.

Namun, sebelum Lucian memberondong dengan semua pertanyaan yang bersarang di kepalanya, sang kepala keluarga lebih dulu bersuara.

"Kamu pulang telat, apa terjadi sesuatu?"

Gelengan kepala Julian menjadi jawaban. "Tidak ada ayah, sama seperti kemarin aku bertemu banyak sekali orang, sejak hari pertama tidak pernah kusangka jika lingkunganku ternyata seramai itu. Lalu, aku juga sudah punya teman," jelasnya.

Kali ini dia akan menceritakan semua yang terjadi saat keluar rumah, bukan ide buruk bercerita mengenai dia yang kini telah memiliki teman baru. Terkesan seperti anak-anak memang, tapi baginya ini adalah sesuatu yang mengesankan.

"Teman?"

Kali ini Julian mengangguk. "Mereka orang yang baik, terutama pemuda bernama Ghilbas, dia sangat ramah dan sopan. Dia pula yang mengundangku bergabung."

Mereka berdua bernapas lega, ikut senang mendengarnya. Walau rasa takut itu sesekali menyusup masuk, tapi bukan masalah besar mereka akan tetap percaya kalau hal baik akan menimpa anaknya.

"Lalu hari ini, saat perjalanan pulang, Aku bertemu seorang ..." Julian menggantung kalimatnya.

Tangannya raflek menggaruk pelipis, gerakan itu menandakan kalau Julian sedang bingung atau malu menceritakan sesuatu. Ditambah semburat merah muda bersembunyi di balik pipi putih pemuda tersebut, menarik rasa penasaran dua orang yang menunggu kelanjutannya. Lucian mengulum senyum, tanpa diberitahu dia sudah mengerti.

"Seseorang?" goda ibunya.

Julian tiba-tiba berdiri. "Nanti aku ceritakan." Dia berlalu ke kamar. Sejujurnya terlalu memalukan untuk Julian mengatakan yang sebenarnya. 

Pemuda jangkung itu hanya anak polos, lupakan soal usianya karena di mata Alfred atau Lucian anaknya itu tetaplah belum mengerti dunia luar. Namun, melihat gelagatnya mereka paham kalau Julian memang sudah dewasa.

Sesuatu yang ingin Julian beritahu pada orang tuanya ialah gadis yang tidak sengaja ditabraknya saat perjalanan pulang. Dia terlalu senang dengan rentetan peristiwa yang dialami, membuat pikirannya sedikit bercabang, mengingat kembali apa saja yang sudah terjadi seharian, al hasil jalannya yang mulai tidak fokus membuatnya menabrak seseorang.

Julian mengulurkan tangan, berniat membantu. "Maaf, kamu tidak apa-apa?"

Gadis itu meringis, sebagian wajahnya tertutup helai rambut. "Aku tidak apa-apa."

Suara lembutnya membuat Julian terpaku, belum lagi ketika gadis itu mendongak memperlihatkan pahatan indah dari balik rambut panjangnya. Seketika Julian terpana.

Pandangannya tidak lepas dari keindahan di depan mata, sampai sapuan lembut menyentuh kulit telapak tangannya. Gadis itu menerima uluran tangan Julian, menarik kembali dirinya kealam sadarnya.

"Kubantu." Sebelah tangan Julian menyentuh bahu si gadis, membantunya berdiri.

"Terimakasih." Suaranya terdengar sungkan. Mungkin malu oleh perlakuan Julian.

"Saya minta maaf, harusnya saya lebih berhati-hati." Julian tampak gugup, lagi-lagi dia menggaruk pelipisnya.

Gadis itu menggeleng, kemudian tersenyum. "Tidak apa-apa, aku juga harusnya hati-hati."

Entah Julian harus mengatakan apa lagi, dia hanya bisa diam sambil mengalihkan pandangan. Salah tingkah, baru kali ini berbicara dengan lawan jenis, dia tak berkutik sama sekali.

"Kalau begitu, aku permisi," pamit gadis itu sambil menundukkan kepala.

"Y-ya, silakan." Dia menepi memberi jalan seluas mungkin.

"Mari." Gadis tersebut menoleh sekilas.

"Silakan."

Mengingat kejadian itu, Julian jadi malu sendiri. Dia terlihat tidak bisa berkutik sama sekali di hadapannya, seandainya dia lebih berani mungkin sudah bisa mengetahui namanya. Semalam ibunya juga menyinggung kembali percakapan yang terpotong setelah kepulangan Julian.

Sesaat setelah makan malam, ayahnya menyuruh Julian untuk bergabung di ruang tengah. Julian sudah menduga pasti ibunya akan membahas pembicaraan yang belum tuntas, sementara ayahnya bertanya sesuatu yang sedikit menyentuh hati. Julian tahu kalau di balik sisi keras sang ayah, tersirat ke khawatiran yang tidak bisa di tunjukkan secara gamblang.

Ayahnya bertanya begini padanya. "Apakah hari ini kamu senang?"

Julian mengangguk mantap, melihat jawabannya Alfred terlihat lega. " Syukurlah kalau kau senang, sudah lama juga ayah tidak melihatmu sesenang ini."

"Ibu juga, melihatmu yang begitu menikmati acara keluar rumah sedikit memberikan rasa lega." Lucian mengusap rambut Julian, salah satu perlakuan yang paling di sukainya.

"Oh, iya. Pembicaraan tadi sore, pas kamu baru pulang. Siapa sih orang yang tadi kamu bicarakan?" tanyanya atau lebih tepatnya menggoda sang anak untuk bercerita.

"Ghilbas?" Sementara Julian pura-pura tidak paham.

"Ih, kamu ini. Itu, loh, seseorang yang kamu tabrak," pancingnya lagi.

Julian tidak menjawab, bukannya apa-apa. Julian cuma merasa itu bukan hal penting yang harus dia ceritakan, apa lagi dia tidak mengenal siapa gadis itu.

"Dia seorang gadis, ya?" tebak Lucian.

Tersentak, sudah dia duga ibunya pasti lebih tahu, membaca dari gelagat dirinya saja itu sudah menjadi jawaban. Pasrah, Julian mengangguk ragu.

"Cantik?" tanyanya lagi. Dibalas dengan gerakan serupa oleh Julian.

"Lalu siapa namanya?"

Melihat bagaimana istrinya begitu seru menggoda putra mereka, Alfred hanya menggeleng. Memang seperti itu sifat istrinya.

"Aku ... tidak sempat bertanya."

Lalu Lucian hanya mengusap kepala Julian, sembari memberi penyemangat. "Nanti kalau jodoh, pasti ketemu lagi."

Julian mengelak, dia semakin di buat malu oleh ibunya. Habis-habisan Lucian menggoda anaknya, membuat Julian kewalahan. Baru kali ini dia gelagapan menghadapi ibu sendiri, biasanya dia selalu pandai menggoda kembali Lucian.

Namun, suasana seperti ini sungguh membuat Julian  begitu nyaman. Mengingat kehangatan keluarganya sendiri, Julian berkali-kali bersyukur dia dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang baik dan sangat menyayanginya.

.
.
.

Diketik: 10 Juli 2020
Di publis: 23 September 2020

The Curse Of Mahana (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang