Di ruang bawah tanah yang gelap, tempat yang begitu sempit hanya ada satu batu besar mendatar, seorang anak terbaring tak sadarkan diri di atasnya. Tiga orang lainnya berdiri tidak jauh dia antara batu tersebut, mengelilinginya.
Rambut perak mereka terbias oleh cahaya temaram dari perapian di setiap sudut, sebagai penerang. Dingin, wajah mereka tak tersirat satu pun emosi. Salah satu dari mereka menggenggam sebilah pedang emas, dia yang berdiri lebih dekat dengan anak tersebut.
"Bangunlah putraku."
Suara rendahnya menggema di sudut ruangan, tapi anak itu tak kunjung membuka mata. Keterdiamannya tidak mengusik, laki-laki yang memanggil kembali bersuara. Baru saat ketiga kalinya, anak kecil itu membuka mata, yang pertama kali dilihat adalah pria yang memegang pedang.
"Ayah."
Tepat saat anak itu menyahut, mantra segel tergurat di seluruh tubuhnya, mengunci pergerakan untuk memberontak. Merasa tubuhnya kaku untuk digerakkan, dia hanya menatap penuh tanya pada sang ayah, berharap ada sepatah kata saja untuk menjawab ketakutannya. Namun, wajah itu tetap datar. Dia mulai gelisah, menggeliat berharap lepas, tapi percuma. Segel yang mengikatnya terlalu kuat, dia lemparkan kembali pandangannya terhadap sang ayah, memohon dilepaskan.
"Mulai sekarang, hiduplah penuh kebencian. Pupuk dirimu dengan segala kemarahan pada dunia, hapus emosimu, hapus perasaanmu. Hiduplah dalam kegelapan yang paling gelap, tidak ada satu pun orang yang menyayangimu, tidak ada satu pun orang yang mengharapkanmu. Kau adalah kehancuran, kegelapan itu sendiri. Tenggelamlah, membencilah dan hancurkan."
Anak itu menggeleng, masih terus meronta untuk lepas. Bulir-bulir bening meluncur dari matanya, dia sangat takut. Ayahnya tidak pernah seperti ini, ayahnya adalah orang yang baik dan begitu menyayanginya.
"Ayah lepaskan aku, apa ayah gila?!"
"Hiduplah penuh kebencian, kutuklah dirimu, seluruh dunia. Tenggelamlah, balaskan dendam kami!"
"Aaaarrrghhhh!!!!"
Potongan-potongan ingatan bermunculan, mengerang sakit saat sebilah pedang menusuk hatinya. Semua terasa nyata, Julian sekarat merasakan setiap sayatan pedang mengenai tubuhnya yang masih kecil. Dia meraung, teriakan sakitnya memecah malam, mereka yang masih berada di sana hanya bisa menutup telinga. Mendengar raungan Julian sangat menyiksa psikis mereka, seolah mampu merasakan kesakitan yang dialaminya.
"Arggh!!! ayah!! hentikan!!!"
Dentuman keras terdengar, petir hitam menyambar bagai lidah ular menari di sekeliling Julian, di susul darah yang tiba-tiba membungkus dirinya. Api hitam kembali muncul membawa suhu dingin yang membekukan.
Perlahan kesadarannya kembali, napasnya memburu dia jatuh berlutut. Cairan merah mengalir dari kedua sudut matanya, begitu pula air liur yang berceceran di sekitar mulut. Napas Julian nyaris terenggut oleh ingatan yang entah datang dari mana dan milik siapa.
"Di-dia sebenarnya kenapa?" Salah satu dari mereka bergumam heran.
"Apa mungkin dia baru saja disiksa?" Yang lain menimpali.
Ada pula yang menambahi untuk kabur, Julian semakin lama terlihat mengerikan. Namun, tidak ada yang setuju mereka justru penasaran hal apa yang baru saja menimpa sosok yang mereka anggap monster, seolah langit sedang mendukung tindakan mereka dengan menyiksa Julian barusan.
"Hoi, apa kau baru saja di hukum langit, monster gila!" cecar Reno.
"Hahh ... hahh ... apa itu tadi?" pikir Julian.
Dia tidak bisa mencerna apa pun, potongan ingatan yang tiba-tiba muncul tidak pernah Julian alami, tapi rasa sakitnya bisa begitu nyata Julian rasakan. Seluruh persendiannya nyaris tak bisa digunakan, seperti di mutilasi hidup-hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Curse Of Mahana (End)
Fantasy"Dengar wahai bangsa manusia. Aku Jhoan Nieve Diavolo, Raja dari kaum Mahana, penguasa kegelapan. Mengutuk bangsamu, kehancuran akan menimpa dunia, kelak keturunanku akan lahir di tengah-tengah kalian. Merekalah yang akan membalaskan dendam atas pen...