"pergilah, temui adikmu. Waktunya sudah dekat untuk membawa dia kembali."
Tanpa banyak bertanya, titahnya langsung dilaksanakan. pria berambut perak dengan iris merah melangkah meninggalkan aula megah tempat sang raja bertahta.
Sudah sangat lama dia mengawasi adiknya, seorang bocah yang lahir dari rahim ibu berbeda. Karena anak itu istimewa menjadi alasan kenapa mereka dilahirkan di tempat yang tak sama.
Ada rasa iba yang menyelinap masuk, setiap dia memperhatikan pertumbuhannya. Bocah polos yang selama ini dia jaga dari jauh menggenggam takdir menyedihkan, terlahir sebagai senjata, alat kehancuran.
Sering muncul dalam benaknya, apa yang terjadi sebelum ini, hingga adiknya harus menanggung tanggung jawab sebesar itu? Sebagai seorang kakak, dia tidak tega jika takdir mengerikan yang menimpa anak tersebut menjadi nyata, tapi apa yang bisa dilakukan, bahkan ayahnya sekalipun tidak bisa berbuat apa-apa.
"Takdir? Ini terlalu berlebihan kupikir," gumamnya.
Selama ia mengawasi, segala hal yang dilakukan bocah itu amat mengejutkan. Di usia yang masih belia, dia sudah bisa melakukan banyak hal. Sangat yakin jika adiknya pasti anak yang jenius dan cerdas.
Waktu demi waktu berganti, bocah yang biasa mengganggu burung kini telah beranjak dewasa. Bingkai wajahnya serupa, hanya netra normal yang membedakan keduanya, tapi seumpama iris hitam itu berubah warna menjadi merah maka terhapuslah perbedaan tersebut.
Dia mengetahui segalanya, bagaimana pemuda itu memelas meminta izin untuk keluar rumah, saat diizinkan air muka bahagia serta lega terlihat jelas. Kemudian dia juga menyaksikan hari pertama kebebasan yang dirasakan adiknya, bertemu banyak orang dan menjadi pemuda populer dalam satu detik.
Pertemuan yang bahkan membuat dirinya malu tatkala melihat bagaimana adiknya bertingkah aneh di depan seorang gadis, belum lagi semburat merah yang menghiasi wajahnya.
"Memalukan, bagaimana bisa seorang laki-laki tersipu seperti wanita," decaknya.
Semua hal konyol yang dia saksikan tanpa ada satu pun yang terlewat, hingga kini tiba saatnya dia harus menunjukkan diri di hadapan sang adik.
"Ini akan menjadi hal mengejutkan untukmu, Felix."
-
Hati Julian risau, meski dia memasang wajah begitu tenang siapa yang menyangka bahwa kini hatinya tengah kalut. Rasanya dia ingin sekali berlari ke rumah, memberitahu orang tuanya untuk pindah saja, mencari tempat tinggal yang sudah minim kepercayaan pada kutukan aneh itu.
Untuk saat ini, Julian tidak bisa melakukannya, jika tiba-tiba dia bertingkah aneh dan membuat Ghilbas curiga, sekalipun temannya sudah mengatakan tidak terlalu mengambil pusing soal kutukan tersebut, tetap saja Julian tidak bisa percaya. Setidaknya Julian harus mawas diri akan kondisi yang masih rancu untuk dipahami.
Suasana yang sudah sepi sejak awal semakin terasa kosong, dua orang yang kini duduk santai di gazebo nampak enggan memulai kembali obrolan. Ghilbas masih memikirkan tentang anak Jake, dia sebenarnya tidak terima melihat perlakuan kasar warga terhadap mereka. Bagaimanapun anak Jake masih kecil, tidak tahu menahu mengenai kutukan yang mereka tuduhkan.
"Oi, Julian," panggil Ghilbas tanpa mengalihkan pandangan.
Dia menatap lurus lapangan yang menjadi tempat gazebo ini di bangun. Di mana Ghilbas sering menghabiskan waktu bermain bola bersama Reno dan yang lain.
Julian hanya bergumam, enggan merespon dengan benar, lidahnya sedang tidak ingin banyak bicara.
"Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Curse Of Mahana (End)
Fantasy"Dengar wahai bangsa manusia. Aku Jhoan Nieve Diavolo, Raja dari kaum Mahana, penguasa kegelapan. Mengutuk bangsamu, kehancuran akan menimpa dunia, kelak keturunanku akan lahir di tengah-tengah kalian. Merekalah yang akan membalaskan dendam atas pen...