Teman Khawatir

42 8 0
                                    

Kembali mengurung diri, Julian sudah putuskan untuk tidak lagi keluar rumah apa pun yang terjadi. Dia tidak mengindahkan ijin dari ayahnya, percuma dia keluar sudah tidak ada alasan lagi.

Di lain sisi Alfred takut, kalau nanti anak satu-satunya ini tertekan, entah secara fisik atau mental. Namun, bagi Julian justru dengan seperti ini dia akan tenang, meski tidak bisa di pungkiri kalau dia juga mati bosan, setiap hari harus berkutat dengan aktivitas yang sama.

Tapi semenjak bertemu Sheerlyn dia berhasil menetapkan diri, yakin pada pilihannya. Hari itu akan menjadi terakhir, hati Julian sudah lega karena sudah mewujudkan keinginan terdalam yakni bertemu untuk kedua kalinya bersama Sheerlyn.

Hanya saja pilihan itu bukan berarti akan mudah dijalani, ditambah seseorang di luar sana pun masih ada yang memikirkan keadaan dirinya. Julian mungkin tidak peduli lagi, tapi siapa yang tahu dari ketidak pedulian justru menimbulkan kekhawatiran di lain pihak yang diam-diam cemas padanya.

Karena sementara itu, Ghilbas yang sudah lama tidak melihat kehadiran Julian sedikit khawatir. Pasalnya setelah kejadian waktu itu Julian seolah lenyap, tidak pernah muncul dihadapannya atau yang lain. Lalu bukan hanya Ghilbas, Reno serta dua temannya pun bertanya-tanya soal Julian yang sudah jarang berkumpul.

"Ngomong-ngomong, Julian kenapa sudah jarang datang kemari?" tanya Jason, menatap satu per satu kawannya.

Font mengangguk setuju. "Benar, kalau tidak salah terakhir dia gabung sehari sebelum kejadian Jake itu, kan?"

Reno tidak ambil pusing dia hanya mengangkat bahu acuh. Berpikir mungkin Julian sibuk, type kaku seperti Julian sudah pasti bukan orang sembarangan, bisa jadi berkumpul bersama mereka cuma untuk mengisi waktu luang. Berdasarkan sikap Julian, kelihatannya dia orang yang lebih mementingkan pekerjaan.

"Sebenarnya, terakhir kali Julian kemari pas kejadian tuan Jake, dia di sini sendirian sebelum aku datang. Kalian sih, sibuk ngurusin hal yang gak penting," jelas Ghilbas, mengangkat gelas yang terbuat dari bambu lalu meminum isinya.

"Kata siapa itu gk penting, Ghilbas? Lagian sejak awal kau seperti tidak setuju dengan hukuman yang menimpa Jake," tuduh Reno menatap sinis Ghilbas.

Kali ini Ghilbas yang angkat bahu, tidak mau merespon baik tuduhan Reno. Memang benar dia adalah orang yang paling menentang hukuman itu, tapi dia tidak ingin mengungkapkannya. Dari pada itu dia justru lebih khawatir pada Julian, apa bocah itu baik-baik saja atau tidak.

"Julian sakit kali, ya?" terka Font.

Tidak mendengar sahutan yang lain Ghilbas juga berpikir sama seperti Font, "apa mungkin memang dia sakit? Tidak mungkin, Sheerlyn bilang kemarin yang mengantarnya adalah Julian, tapi kenapa anak itu tidak mampir?" pikir Ghilbas.

"... Bas ... Ghilbas ... Oi!" Tampolan di bahunya yang dilayangkan font menyadarkan.

"Kenapa ngelamun?" tanya Font.

Ghilbas menggeleng. "Hanya memikirkan sesuatu, sepertinya aku lupa kalau hari ini ada urusan."

Ghilbas meneguk habis minumannya, lalu bergegas turun dari gazebo. "Aku pamit pulang lebih dulu."

Tanpa menunggu sahutan, Ghilbas meninggalkan tempat itu.

Selama perjalanan kerumah, Ghilbas menunduk dengan pikiran berkecamuk di kepala. Dia juga tidak tahu kenapa begitu khawatir pada satu teman yang bahkan belum lama ia kenal, Julian baru dikenalnya. Lagi pula pemuda itu juga hanya tiga kali seminggu bergabung dengan mereka, harusnya Ghilbas bisa memahami kalau Julian mungkin sama seperti sebelumnya, yaitu berdiam diri di rumah lagi.

Sama ketika Julian bilang kalau dia selama ini hanya di rumah, tidak pernah keluar sama sekali. Walau awalnya tidak ada yang percaya karena tidak mungkin ada orang yang betah bertahun-tahun mengasingkan diri dan bersembunyi dari dunia luar. Namun, melihat betapa polos Julian menanyakan sesuatu yang sudah sangat umum bagi mereka membuktikan kebenaran tentangnya.

The Curse Of Mahana (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang