"Felix, ikut denganku."
Pemuda itu tidak menyahut, memilih langsung mengekor di belakang Feliz-- orang yang mengajaknya.
Sudah beberapa waktu dirinya tinggal di sebuah kastil megah, ia juga mulai menerima nama barunya, tidak lagi protes saat seseorang memanggilnya dengan nama Felix.
Julian Draxler telah dia bunuh pada hari di mana orang-orangnya tewas, kini yang tersisa hanyalah dendam kesumat yang menjadikan dirinya hidup dengan nama Felix Etherious Diavolo.
Feliz menuntun jalannya menuju ke sebuah tempat yang belum pernah ia jamah selama tinggal di sini. Sebuah lorong panjang yang gelap, hanya ada penerangan temaram. Setiap tapak kakinya menggema bersahutan satu sama lain, suasananya begitu beku.
"Kita akan kemana?" tanya Felix pada akhirnya.
"Kau akan tahu."
Meski masih di landa keingintahuan, Felix tidak banyak bicara lagi. Tidak lama setelahnya mereka berhenti di depan pintu berwarna hitam pekat, ada simbol kerajaan berwarna emas di bagian atasnya, melengkung membuat burung Phoenix kembar.
Feliz menoleh, memberi isyarat untuk Felix membuka pintu tersebut. Sedikit aneh karena Feliz justru malah menyuruhnya dari pada membuka sendiri, padahal dia yang sudah ada di hadapan pintu. Namun, ia tidak banyak bertanya maksud dari kakaknya.
Dia kini berdiri selangkah di depan Feliz, tangannya terulur menggenggam knop pintu, ragu-ragu dia memutarnya kemudian mendorong pelan.
Cahaya putih diikuti deru angin menyambutnya, di susul suara aneh yang tiba-tiba memenuhi gendang telinga. Tubuh Felix terasa berat untuk menoleh pada Feliz pun dia tidak bisa. Rasa panas memenuhi isi perutnya, mendidih hingga membakar dada. Felix tidak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya, tapi amarah super besar bersarang begitu saja.
"Apa ... ini?"
Tanpa diperintah kakinya melangkah semakin masuk, penglihatannya lurus, syarat akan keanehan. Suara yang didengar kian jelas, terasa tidak asing baginya.
"Dengar dan perhatikan, Felix," tutur Feliz, ia menjauh memberi ruang lebih luas untuk adiknya.
"Ayah lihat, aku bisa mengeluarkan api."
Seorang anak kecil berlarian di sekeliling Felix sambil memamerkan api kecil di telapak tangannya. Senyum bocah itu manis dan lucu, dengan mata merah yang bersinar. Setiap dia berkedip, bulu mata lentiknya berayun indah. Celotehan khas anak kecil membuatnya terlihat menggemaskan, berlarian ke sana kemari mengejar kupu-kupu api yang diciptakan sendiri. Di seberang Felix, seorang pria dewasa berdiri memandang tanpa emosi. Balutan kain bak raja menunjukkan kalau dia bukan orang sembarangan, bisa jadi dialah penguasanya.
"Berapa lama lagi sampai anak itu telah siap?" Dia bertanya pada seseorang yang tidak jauh berbeda dari segi ke angkuhan, berdiri di belakangnya.
"Sebentar lagi, Tuan. Hanya tunggu sampai bulan merah muncul."
Tidak ada lagi percakapan, mereka kembali memperhatikan bocah kecil yang sibuk dengan binatang yang dia buat sendiri. Meski tidak terlihat seperti makhluk hidup, tapi jelas saja hewan-hewan yang dia ciptakan itu bisa bergerak. Semuanya berselimut api, tanpa tulang maupun daging.
"Ayah, kenapa kita tidak tinggal berdampingan dengan makhluk lainnya? Aku selalu melihat mereka dari riak air yang ibu tunjukkan, dari buku yang aku baca dulu kita hidup bersama mereka. Kenapa sekarang tidak? Apa kita membuat kesalahan?" Si kecil menatap polos ayahnya yang tidak bergerak sama sekali, masih memasang wajah keras tanpa lengkungan senyum atau ekspresi yang berarti.
"Kita tidak butuh mereka yang hidup sebentar, kaum adidaya seperti kita tidak butuh kaum lemah seperti manusia."
"Tapi kenapa?" tanyanya belum puas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Curse Of Mahana (End)
Fantasia"Dengar wahai bangsa manusia. Aku Jhoan Nieve Diavolo, Raja dari kaum Mahana, penguasa kegelapan. Mengutuk bangsamu, kehancuran akan menimpa dunia, kelak keturunanku akan lahir di tengah-tengah kalian. Merekalah yang akan membalaskan dendam atas pen...