34. Kesepakatan

577 128 5
                                    

Grodle tidak langsung menjawab ucapan menusia di bawahnya tersebut. Dirinya terus mengamati Luiz sebelum akhirnya suara tawanya yang keras terdengar begitu menggema ke seluruh alam sekitar mereka.

Beberapa batu dan juga pohon bahkan berjatuhan dan bergerak tidak beraturan. Baru pertama kali setelah puluhan tahun lamanya, Grodle tertawa bahkan sampai sekeras ini.

"Kau? Manusia serigala yang pernah menyerangku karena berusaha mengambil delima milikmu?" sindir Grodle sambil terus tertawa.

Luiz menatap manusia raksasa di depannya itu dengan jengah dan malas. Jika, bukan karena Zia. Luiz tidak akan sudi untuk menginjak tanah kawasan ini.

"Aku ingin kita menyepakati kesepakatan." Luiz mengatakan sekali lagi ucapannya tadi.

"Apa?" Grodle menghentikan tawanya dan menatap Luiz datar.

"Aku ingin kau menyembuh-"

"Pergi dari sini." Grodle memotong ucapan Luiz dengan cepat. Ia sungguh malas jika harus menyembuhkan seseorang yang terkena mantra mematikan. Karena hal tersebut akan sangat menguras tenaganya.

Sambil berjalan menuju pintu gerbangnya. Grodle tidak memperdulikan Luiz yang terus berteriak, sebelum akhirnya ia menghentikan langkahnya ketika mendengar.

"Sebagai imbalannya, aku akan memberimu delima putih!" teriak Luiz. "Dan, aku tidak main-main dengan ucapanku," sambungnya dengan nada tinggi dan mengeluarkan benda mungil yang sedikit menyilaukan tersebut.

Delima putih. Sangat berharga untuk semua orang, tidak hanya penyihir yang membutuhkan benda mungil tersebut. Bangsa serigala, bangsa erlotd, dan bangsa manapun tahu, delima putih mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang begitu besar.

Grodle seperti menimbang-nimbang tawaran tersebut. Tawaran yang begitu menggiyurkan. Dengan senyuman yang bersahabat. Grodle berbalik dan menatap Luiz.

"Aku menerima kesepakatan tersebut," jawab Grodle.

Bukan tanpa alasan Grodle menerima kesepakatan tersebut. Bukan! Dia tidak lagi mengincar atau sedikit pun memikirkan tentang delima putih itu. Ada sesuatu yang lebih besar.

Sesuatu yang akan membuat Grodle kembali menjadi penyihir normal. Mengembalikan masa depannya dan kembali pada dunianya.

"Bawa mereka ke penjara!" perintah Grodle yang dibalas anggukkan patuh oleh penjaganya.

"Aku menemuimu, untuk menyelamatkan Zia! Bukan untuk di penjara!" teriak Luiz tidak terima.

"Baiklah. Setelah mereka bertiga masuk ke dalam kerajaan, berikan mereka kunci kamar," ucap Gordle sambil terus tersenyum licik.

Luiz terkejut dengan apa yang barusan Grodle katakan. Mengapa manusia bertubuh besar tersebut  berubah begitu baik dalam waktu beberapa menit saja?

Tapi, Luiz yang menginginkan Zia secepatnya kembali hidup tidak memikirkan hal tersebut semakin dalam.

Setelah Zia kembali hidup, Luiz akan membawa dirinya, Domble, dan Zia untuk segera meninggalkan tempat terkutuk ini. Secepatnya.

"Ayo, Domble," ajak Luiz yang di jawab gelengan kuat oleh Domble.

"Aku tidak bisa. Aku akan menunggu kalian di sini," jawab Domble yang membuat Luiz mengernyitkan dahinya.

"Kenapa? Bukankah kau ingin melihat Zia membuka matanya kembali?"

Tentu saja ia sangat menginginkan Zia membuka matanya dan menemui dirinya sedang duduk di samping gadis tersebut. Tapi, ia tidak bisa.

Ia harus tetap berada di luar kerjaan dengan suhu yang mulai mendingin ini. Domble tidak bisa seegois dan seceroboh itu. Ia memikirkan hal yang jauh lebih penting.

"Aku akan menjelaskannya ketika kalian sudah keluar," jawab Domble sambil menampakkan senyuman khasnya.

Luiz menghela napas, lalu tersenyum simpul dan berkata, "Aku akan segera kembali."

Lalu para penjaga membawa Luiz dan Zia masuk ke dalam kerajaan hingga pintu gerbang tertutup sempurna. Meninggalkan Domble yang menatap sedu pintu tersebut.

***

"Letakkan Zia di atas tempat tidur." Grodle dan Luiz berada di suatu ruangan. Ruangan yang begitu banyak memamerkan ramuan yang entah berfungsikan apa dan satu tempat tidur beralaskan kayu.

Luiz sekilas melihat punggung Grodle yang memang sedang memungginya. Lalu meletakkan Zia di atas kasur beralaskan kayu tersebut.

Sebelum meninggalkan Zia. Luiz terlebih dahulu membisikkan sesuatu pada telinga gadis tersebut.

"Semoga kau bisa secepatnya kembali membuka matamu, Zia. Aku merindukanmu," gumam Luiz lalu menjauh dari kasur tersebut.

Bukan hanya menjauh dari tempat tidur itu. Grodle menyuruh Luiz untuk menunggu di luar atau di kamarnya. Proses itu memang hanya Grodle yang boleh menyaksikan. Melihat atau gagal.

Luiz yang mengerti pun memutuskan untuk pergi ke kamarnya. Sekarang, pria itu benar-benar gila. Ia tidak lagi memikirkan tujuan hidupnya untuk menguasai dimensi, setelah menemukan cintanya.

Cinta sangat berpengaruh besar terhadap kehidupannya.

Cinta yang memutar kembali kehidupannya.

Dan, cinta yang entah akan membawa kehidupannya ke arah mana.

***

Hampir tiga jam Luiz berdiri di dekat jendela kamar bertembok batu tersebut. Tatapannya kosong menatap hutan yang begitu gelap, dan pikirannya bercabang entah ke mana.

Ketukan yang terdengar tiga kali membuat Luiz mengalihkan tatapannya dan menatap pintu kayu tersebut. Dengan langkah gontai, pria keturunan serigala itu mulai mendekati pintu dan membukanya.

"Kau bisa melihat temanmu, ini perintah tuan Grodle." Penjaga tersebut lalu pergi setelah mengatakan hal tersebut.

Senyum lebar langsung menghiasi wajah Luiz. Dengan semangat ia berlari menuju kamar di mana Zia disembuhkan. Ia tidak sabar.

Jantungnya berdegup lebih kencang, ia sedikit takut dan gugup. Takut jika Zia akan marah dan tidak akan menerimanya lagi, setelah apa yang ia lakukan.

"Zia," panggil Luiz.

Zia memutar badannya, mengerutkan dahinya marah ketika melihat sosok manusia serigala tersebut. "Untuk apa kau berada di sini?" tanyanya.

"Aku yang membawamu ke sini," jawab Luiz cepat.

Zia tidak menjawab, ia memalingkan wajahnya enggan sekali menatap Luiz yang selalu membangkitkan memori buruk.

"Kita harus secepatnya pergi dari ini. Domble menunggu kita di luar," ucap Luiz lalu melangkah mendekati Zia.

"Aku harus menemukan keluargaku,"  gumam Zia tanpa mengalihkan tatapannya dari pemandangan hutan gelap.

"Aku akan membantumu," ucap Luiz ragu-ragu.

"Kau tidak perlu melakukan hal itu, Luiz. Aku tidak membutuhkan seseorang yang menghianatiku." Zia menatap lurus kedua mata itu. Mata yang pernah membuatnya jatuh-bangun dan merasakan getaran hati yang kuat.

"Aku tidak akan menghiantimu lagi, Zia. Aku tahu, aku salah, aku minta maaf." Luiz seperti benar-benar menyesal. Raut wajahnya memelas tapi, tetap membuat Zia ragu.

"Aku akan memaafkanmu," jawab Zia tegas.

"Benarkah?" tanya Luiz yang merasa tidak yakin dengan pendengaran telinganya itu.

"Tapi, dengan satu syarat." Zia menatap Luiz dalam-dalam, menarik napasnya panjang dan mengatakan, "Kau harus mengembalikan William pada diriku."

.
.
.

Sampai di sini dulu ya. Tunggu kelanjutan partnya dan jangan lupa vote dan comment dan masukkan di perpustakaan kalian 😄.

LUIZIA [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang