Ada saatnya kamu tahu bahwa orang yang membencimu ternyata peduli padamu.
~ PRESSURE ~
Derap langkah kaki terdengar sangat kesal saat memasuki pintu utama. Alleta berbalik, menatap kedua orangtuanya yang berjalan beriringan.
"Bunda sama Ayah ga bisa apa di rumah aja? Alleta mau semuanya balik kaya dulu lagi," ujar Alleta sendu. Dia merindukan segalanya. Sosok adik yang seharusnya menjadi tanggung jawab Alleta kini menjadi tanggung jawab orang lain.
Zelin menggeleng, wanita berkepala empat dengan blouse hitam itu menghampiri putrinya. "Sayang, bunda kerja itu buat kamu, buat Vina."
Sebelum Zelin meraih tangannya, Alleta mundur ke belakang. Tatapan menatap sendu orang tuanya. "Bunda gatau perasaan kita berdua! Bunda tau? Alleta yang masih tinggal satu rumah sama Bunda sama Ayah, Alvina kira Bunda sama Ayah cuma sayang dan peduli sama Alleta," Alleta menatap kedua orang tuanya dengan mata berkaca-kaca. "Padahal nyatanya engga," ujar gadis itu sesak.
Apa yang Alvina rasakan sama seperti apa yang Alleta rasakan. Bedanya masih ada keluarga lain yang peduli sama Alvina sementara Alleta? Tidak. Dia selalu sendiri di rumah, tidak ada yang peduli padanya. Kalaupun dia selalu terlihat baik-baik saja di luar, percayalah terselip rasa iri yang selalu hadir tiap melihat Alvina bersama keluarga tantenya. Bukannya Alleta tidak dekat, tapi dia canggung untuk sekedar bercakap.
"Alleta," panggil Ardi lembut.
Alleta menggeleng, dia mendongak, menahan air matanya yang hampir saja turun. "Alleta ke kamar dulu." ujarnya kemudian segera berbalik dan berlari kecil menuju tangga lantai atas.
Zelin menatap Ardi sekilas lalu melangkah menuju ruang keluarga membuat Ardi mengikutinya dari belakang.
•••
Alleta mengunci pintu kamarnya, saat ini dia tidak mau di ganggu oleh siapapun. Gadis itu melangkah menuju sofa di sudut kamar dekat dengan pintu balkon. Sebelum duduk, Alleta membuka pintu balkon agar udara malam dari luar masuk ke dalam kamarnya. Alleta memeluk boneka panda yang sengaja dia taruh di sofa.
Alleta memejamkan matanya. Menikmati hembusan angin yang memasuki kamarnya. Sekelebat bayangan masa lalunya, saat Alleta masih bersama Alvina kian hadir terlintas di benaknya.
Dulu, sebelum menginjak usia remaja, saat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar, Alleta dan Alvina masih baik-baik saja. Mereka berdua sering berangkat sekolah bersama, ke kantin bersama, sama pulang pun tetap berdua. Walaupun keduanya beda kelas, Alleta yang satu tingkat di atas Alvina, namun gadis itu benar-benar menjaga adiknya.
Sampai pada usia remaja. Hubungan keduanya mulai renggang. Mereka sudah tahu apa itu sebuah keluarga. Sedari kecil mereka hanya di asuh oleh asisten rumah tangga dan baby sitter. Mereka yang selalu memenangkan Alleta dan Alvina ketika bertanya Ayah dan Bunda pergi kemana. Sampai Andin datang, kakak dari Zelin, Bunda Alleta dan Alvina. Wanita baya itu datang saat Alvina sedang sakit, berinisiatif menjenguk keponakannya karena dia tahu pasti adiknya sedang tidak ada di rumah.
Karena Alvina sakit, Andin membawa keponakannya itu untuk tinggal bersama di rumahnya. Dia tidak akan mungkin bolak balik ke rumah kakaknya yang jaraknya lumayan jauh. Akhirnya Alvina di bawa pergi dan Alleta tetap tinggal di rumah.
Alleta masih ingat betul bagaimana wajah sakit Alvina saat itu. Andin juga mengajak Alleta untuk ikut bersama tetapi gadis cilik itu menolak. Katanya lebih nyaman jika berada di rumahnya sendiri.
Saat Alvina pergi, Alleta mulai merasa kesepian. Tidak ada lagi teman mengobrol dan bercerita. Gadis cilik itu selalu meminta asisten rumah tangganya untuk menelpon kedua orang tuanya yang selalu berakhir sia-sia. Alleta menangis, dia tidak punya siapa-siapa lagi.
Hari kelulusan sekolah menengah pertama tiba. Alleta datang di dampingi Ayah dan Bunda sementara Alvina datang bersama Mama dan Papa, yang tak lain tak bukan adalah Kakak dari Bundanya.
Alleta rasa, Alvina merasa iri pada saat ini. Pandangan gadis itu terlihat sedikit sayu dan senyum miris tercetak jelas di bibirnya. Alleta tidak suka melihat Alvina menangis jadi dia bergerak akan menghampiri Alvina tetapi Bunda menahannya, beliau bilang acara akan segera di mulai.
Dari situlah keduanya mulai tidak bersama dan bahkan kadang tidak bertegur sapa. Alleta yang merasa bersalah, dan selalu menepis kesalahannya dengan rasa benci pada Alvina, sementara Alvina yang merasa iri karena melihat Ayah Bundanya lebih peduli pada kakaknya.
Apa yang orang bilang rumah adalah keluarga kandungnya justru itu tidak terjadi pada Alvina.
Alleta membuka matanya, dia mendengus pelan, tanpa sadar air matanya mengenang membuat gadis itu dengan cepat mengusapnya. Alleta berdiri kemudian berjalan menuju meja belajarnya. Dia mengambil satu buku dari dalam lemari, namun sebuah kertas ikut jatuh ke bawah yang Alleta yakini itu adalah selembar foto.
Alleta memungutnya. Menatap dalam diam foto yang dia lihat. Sebuah gambar dua anak kecil yang memakai baju merah putih dengan buku di kedua tangannya. Senyum mereka terlihat sangat lebar, wajahnya berseri bahagia dengan kedua tangan yang saling merangkul satu sama lain.
Alleta memijit pelipisnya yang terasa pusing. Dia mengumpat pelan, "Sialan." Bayang-bayang masa lalu kini telintas lebih dalam lagi.
"Lo apain gue Vina sampai gue bisa kaya gini?" gumam Alleta. Melihat foto di tangan kemudian menaruhnya begitu saja di atas meja belajar. Gadis itu berbalik menuju lemari pakaian lalu mengambil jaketnya.
Alleta harus keluar, semakin lama dia diam di dalam kamar maka semakin pula bayang bayang itu akan hadir kembali.
"ALLETA MAU KEMANA?" Zelin berteriak begitu Alleta melewatinya begitu saja.
Namun Alleta tidak sedikitpun menoleh ke belakang.
"Kenapa Bun?" Ardi datang menghampiri Zelin yang sedang duduk di sofa keluarga. Pria itu terkejut saat istrinya berteriak keras memanggil nama Putri mereka.
"Alleta keluar nggak pamit." ujarnya.
Suara keras deru mobil yang melaju kencang menjauh membuat keduanya saling tatap. Itu pasti Alleta.
"Alleta lagi butuh sendiri." ujar Ardi menenangkan Zelin.
•••
Alleta memarkirkan mobilnya di depan bar yang letaknya di Jakarta pusat. Dentuman musik dan gelapnya ruang langsung menyapa begitu Alleta masuk ke dalam.
"Hai nona, sendirian?" sapa orang tiba-tiba datang dari arah samping.
Alleta menoleh terkejut, terpana melihat wajah tampan cowok yang dia tebak seusianya. Alleta tersenyum simpul. "Ya, lo?"
Cowok itu mengangguk, terkekeh pelan. "Gue juga sendirian," lalu menyodorkan tangannya. "Kenalin gue Tristan. Mau gue temani?"
•••
Terima kasih sudah membaca cerita Pressure.
See you next part!
Maaf ya lama up, lagi sibuk banyak tugas hehe.
Thank you guys❤️
Jangan lupa follow Instagram :
@ririaprr
@adindanyla03_
@alvinalvtha_
@erlangga.edward
@alletalvtha_
@sheryl.apriliaa
@fidelyaraisa_
@liamalvaro
@kennanardana_
@sagamhrdka
KAMU SEDANG MEMBACA
Pressure
Teen Fiction'Ketika angan-angan menjadi sebuah harapan' --- Sebuah tekanan menjadi satu alasan bagaimana sebuah pribadi seseorang terbentuk. Alvina Alvatha, si gadis cantik dan kalem hidup di dalam lingkaran keluarga yang menurutnya menekan jiwa. Alvina yang se...