DUA
Baskara sudah menyadari kehadiran Alana di seminar-seminar sebelumnya. Gadis itu terlihat sangat manis dan juga menggemaskan. Dari cara Alana menanyakan pertanyaan hingga menyimak setiap penuturannya, Baskara tau gadis itu adalah gadis pintar.
Bertemu dengan Alana berkali-kali membuat Baskara yakin akan sesuatu, ia tertarik dengan gadis itu. Apalagi dengan jarak yang sedekat ini, Alana terlihat semakin manis dan menantang.
Sejak awal melihat gadis itu masuk ke ruangan ini, Baskara harus menahan naluri brengseknya untuk tidak menerjang Alana di atas meja sampai gadis itu memohon ampun.
"Kamu bisa mempelajari tentang pekerjaan yang saya maksud." Baskara menyodorkan sebuah map ke arah Alana, mata gadis itu masih berbinar hingga ia membuka lembar demi lembar dokumen di dalam map tersebut.
Raut wajah Alana berubah drastis, ia cukup pintar untuk tau pekerjaan apa yang Baskara tawarkan. "Saya tertarik dengan kamu, bagaimana?"
Jantung Alana berdegub dengan sangat cepat, bagaimana Baskara bisa berkata selantang itu kepada orang asing yang baru dirinya temui? Alana jadi ngeri, ditambah hanya ada dirinya dan Baskara di ruangan ini.
"M-maaf Pak, tapi saya gak tertarik untuk pekerjaan ini. Tanpa mengurangi rasa hormat sepertinya Bapak salah orang." Kata Alana.
Baskara bisa menebak jawaban gadis itu, Alana pasti menolaknya. Tapi bukan Baskara Haris jika tidak punya 1001 akal.
"Ibu kamu sakit, right? Pekerjaan Ayah kamu yang sebagai buruh juga tidak terlalu membantu. Saya akan tanggung biaya perawatan Ibu kamu, menaikan jabatan Ayah kamu dan pendidikan kamu. Tapi kamu juga akan mendapat banyak hal seiring berjalannya waktu."
Apa sekarang Alana sedang ditawarkan menjadi perempuan bayaran? Apa pakaiannya hari ini salah? Padahal ia memakai setelan yang sopan dan tidak menunjukan lekuk tubuhnya sama sekali. Apa yang salah?
"Kamu bisa fikirkan dulu. Tapi saya sudah punya koneksi dengan rumah sakit tempat ibu kamu menjalani perawatan, if you okay, saya tinggal hubungi mereka dan perawatan ibu kamu akan jauh lebih baik." Baskara berkata dengan sangat yakin dan lantang. Membuat Alana mendadak memikirkan tawaran dari lelaki itu.
Perawatan ibu, pekerjaan Bapak dan pendidikannya akan lelaki itu tanggung. Apa itu hal yang setimpal? Pikiran Alana langsung bekerja keras menghitung dampak positif dan negatif jika ia mengambil tawaran tersebut.
8
Alana berdeham sambil menutup map berwarna merah yang ada di depannya. "Boleh saya pikirkan dulu, Pak? Karena saya sama sekali belum pernah tau tentang hal ini."
Baskara mengangguk, ia melangkahkan kakinya ke arah Alana dan berdiri di belakang kursi gadis itu. "Its okay. Saya tunggu jawabannya besok."
"Besok?"
Ponsel Alana tiba-tiba berdering mencuri perhatian, lalu nama yang tertera di layar membuat Alana panik. "Ya, Pak? I-iya aku kesana."
Bahkan semesta pun seperti mendukung Baskara. Dari ujung matanya ia bisa melihat nama siapa yang baru saja menghubungi Alana. Sangat-sangat menguntungkan.
"Pak, saya permisi dulu ya? Ibu saya tadi pingsan dan--"
"Just say yes. Setelah kamu sampai rumah sakit Ibu kamu sudah mendapatkan perawatan intensif."
Alana membeku di tempatnya, apa benar akan seperti itu?
Baskara kembali bersuara sambil mengeluarkan ponselnya. "Halo selamat siang." ucapnya.
Lelaki itu dengan sengaja menekan tombol speaker agar Alana bisa mendengar percakapan yang sedang terjadi. "Selamat siang, Pak Baskara. Dengan Rumah Sakit Pelita Harapan ada yang bisa kami bantu?"
"Pasien bernama Ibu Cahaya Lestari betul sedang butuh perawatan di Rumah Sakit kalian?"
Alana melongo karena Baskara mengetahui nama Ibunya. Maksudnya, dari nama lelaki itu bisa tau?
"Sebentar kami cek dulu ya, Pak."
Tidak butuh waktu lama sampai Baskara mendapatkan jawaban jika memang Ibu sedang berada di IGD Rumah Sakit tersebut.
"Ada yang bisa kami bantu, Pak?"
Baskara terus menatap Alana lekat. Sorot mata lelaki itu sangat mendominasi dan penuh arti.
"Sebentar." Kata Baskara. Lelaki itu bertanya kenapa Alana meski tanpa suara dan gadis itu paham betul apa yang sedang Baskara tanyakan.
Dengan kepanikan yang menjalar di dadanya, Alana mengangguk. Tidak memikirkan lagi apakah keputusannya benar atau malah akan menimbulkan penyesalan nantinya.