26

1 0 0
                                    

DUA PULUH ENAM
Sebenarnya Alana ingin singgah untuk dua atau tiga hari lagi di hotel ini, menghilang sejenak dari semua kenyataan yang menyakitkan. Bukan karena perjanjiannya dengan Baskara berakhir Alana menjadi sangat sakit hati, tapi perlakuan dan juga perkataan lelaki itu yang sangat keterlaluan. Sungguh Alana tidak pernah menyangka jika Baskar bisa begitu kejam dengannya.
Setelah Alana menyalakan ponselnya, ia benar-benar takut jika benda itu akan meledak karena notifikasi yang tidak berhenti. Kebanyakan dari Jennie, Adfar dan juga...Baskara. Entah kenapa melihat nama lelaki itu muncul lagi di layar ponselnya membuat Alana sedikit kesal.
Alana menghembuskan nafas keras ketika keluar kamar hotelnya, bersiap untuk menghadapi bagaimana respon keluarganya nanti ketika melihat Alana pulang setelah dua hari menghilang.
Perjalanan pulang membuat Alana berdebar namun juga tidak sabar. Ia ingin segera sampai di rumah, satu-satunya tempat dimana ia merasa nyaman dan diterima sepenuhnya.
Baiklah, semuanya yang sudah terjadi dan merubah hidupnya selama beberapa bulan ini telah berakhir. Alana akan kembali menjalani kehidupannya seperti semula, meski ia tahu rasanya tidak akan lagi sama.
Bapak dan Ibu sedang duduk di sofa sambil menonton televisi ketika Alana masuk, mereka sangat terkejut dan langsung menghampiri gadis itu.
"Kamu kemana aja, kak?" Tanya Bapak heboh. Alana tidak menjawab, gadis itu malahan merenguh tubuh Bapak erat. Padahal ia sudah berjanji jika tidak akan menangis di depan orangtua nya, namun Alana tidak sanggup. Ia tetap menangis di pelukan Bapak.
Suara Ibu mengintrupsi. "Kak, kamu kemana aja sayang?" tanyanya sangat khawatir.
Alana mengulas sebuah senyum, lalu memeluk Ibu tidak kalah erat. "Gak kemana-mana. Maaf ya bikin khawatir..."
Hanya sampai situ Alana bisa menjawab pertanyaan kedua orangtuanya, karena demi apapun ia tidak tau harus menjawab apa.
"Kamu baik-baik aja kan?"
"Iya, aku selalu baik-baik aja kok."
***
Meski tubuhnya sangat lelah, Alana seakan tidak peduli. Ia tetap sekuat tenaga menata ulang kamarnya, merubah setiap sudut sehingga tidak lagi sama.
Alana sudah tidak ingin ada lagi bayang-bayang Baskara di kehidupannya, oleh karena itu ia merombak total kamarnya yang pernah menjadi saksi bisu atas perbuatan antara dirinya dan lelaki itu.
92
Pinggang Alana rasanya pegal sekali, setelah dua jam penuh mengerahkan tenaga akhirnya selesai juga. Alana menghembuskan nafas lega sambil merebahkan diri di kasur, ia sangat lelah.
Matanya hampir terpejam namun pintu kamar yang terbuka dan menampilkan sosok Jennie membuat Alana harus mengurungkan niatnya.
"Halo, Al..." sapa Jennie. Gadis bermata kucing itu seperti orang asik, jarang sekali ia bersikap sopan ketika memasuki kamar Alana.
"Kok lo gak bilang mau kesini?" Tanya Alana.
Jennie menghampiri Alana dan mendudukan diri di kasur gadis itu. "Gue udah teleponin lo dan gak diangkat. Terus pas gue telepon Ibu katanya lo di rumah yaudah deh...gapapa kan?"
"Hahaha gapapa, tadi gue abis beres-beres jadi bau asem." Ucap Alana.
Jennie tersenyum, ia baru menyadari jika kamar Alana berubah total. Matanya menatap sekeliling dengan lekat. "Tumben banget, Al. Kenapa? Butuh suasana baru?"
Alana mengangguk. "Udah lama juga gak ngerapihin kamar."
Sebenarnya ada yang ingin Jennie tanyakan di balik kehadirannya kesini. Sunggug Alana yang mendadak menghilang dua hari lalu membuat dirinya begitu khawatir dan juga kebingungan. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Al..." suara Jennie yang memelan membuat Alana sedikit sangsi, apalagi tatapan gadis itu yang terlihat sendu. Pasti ada sesuatu yang sedang Jennie sembunyikan.
"Iya, kenapa?"
Jennie menggerakan matanya random, menimbang-nimbang apakah ia harus menanyakan hal ini atau tidak. "Maaf banget bukannya gue kepo atau gimana, tapi lo kemana, Al?"
Alana tersenyum masam. Ternyata orang-orang sekitarnya sedang bertanya-tanya kemana dirinya dua hari kemarin.
"Gak kemana-mana." Biasanya Jennie akan mengerti jika Alana menjawab dengan tidak minat seperti ini, gadis itu akan mengalihkan pembicaraan hingga nanti Alana siap untuk bercerita dengan sendirinya.
Namun hari ini berbeda.
"Setelah lo pergi sama Bee, lo gak ada kabar gitu aja. Lo gapapa, kan?" Raut wajah Jennie terlihat begitu murung dan khawatir, Alana jadi tidak tega.
"Gapapa kok."
"Beneran? Lo gak mau cerita apa-apa?"
Kalau pun ingin bercerita, Alana bingung harus mulai dari mana. Hubungannya dengan Baskara bukanlah sesuatu yang bisa diceritakan dengan mudah.
93

Jennie kembali bersuara. "Habis lo pergi sama Bee, si Erza dan cewek pirang itu kelihatan seneng banget. Pengen gue tonjok deh, tapi gue sendirian." celotehnya.
Oh Vanessa dan Erza. Pasti mereka dalang di balik semua ini, batin Alana.
"Maaf ya, Al, gue gak bisa lindungin lo saat Erza bersikap seenaknya. Gue syok sampe bingung harus apa...maaf." Mata Jennie memerah ketika mengatakan hal tersebut.
Alana berinisiatif untuk memeluk Jennie. "Its okay. Semuanya udah baik-baik aja, kok."
Awalnya Jennie masih meneteskan airmata di pundak Alana, hingga ia melihat sesuatu yang sangat mengejutkan. Berkali-kali Jennie mengerjapkan matanya untuk memastikan apa yang dirinya lihat hingga ia yakin jika semuanya benar.
Jennie melepas pelukannya dengan cepat dan menatap Alana lekat. "Lo sekarang kasih tau gue, lo kenapa?"
Alana menyerit kebingungan dengan sikap Jennie yang berubah secara mendadak. "Maksudnya? Gue gapapa kok."
"Gak usah bohong. Ini pundak lo kenapa biru-biru gini? Al, kasih tau gue!"
Ah brengsek. Harusnya Alana memakai kaos dengan kerah yang lebih tinggi agar jejak-jejak sialan ini tidak terlihat dengan mudah. Jika sudah seperti ini, Alana tidak tau harus mengelak seperti apalagi.
"I'm okay. Ini cuman—"
"Dia ngapain lo?"
"He's doing nothing."
"Alana, gue bukan anak kecil yang bisa dibodohi. Dia pukul lo kan? Coba sini gue lihat kalau emang lo gak kenapa-napa."
Tangan Jennie bergerak dengan cepat untuk mengangkat kaos Alana, ia hanya ingin membuktikan ucapan gadis itu.
"Jen, apaansih?!" Alana membentak gadis itu untuk pertama kalinya sejak mereka bersahabat, namun Alana telat karena Jennie sudah terlebih dahulu mengangkat kaosnya sebatas perut.
Jennie menatap Alana lurus, memperhatikan wajah sahabatnya itu lekat-lekat. Sumpah Jennie tidak bisa menahan airmatanya sekarang. "Dia ngapain lo, Al? Just tell me what he fucking doing to you?!"
Alana tersenyum miris. "Lo lihat sendiri kan?"
"Al...kenapa lo gak lapor polisi? Atau berontak apapun namanya, but why?"
"I can't do anything."
"Lo bukan gak bisa, Al. Lo gak mau! Meskipun dia orang kayak atau apa semisalnya lo—"
94

"He pay me for this."
Ucapan Alana membuat Jennie mematung. Ia seperti dihantam oleh sesuatu yang besar tepat di dadanya.
Apa tadi Alana bilang? Baskara membayarnya?
"Al..."
Alana tersenyum lalu mengusap airmata yang mulai menetes. "Sorry ya, gue gak cerita masalah ini ke lo."
"Lo gak usah bercanda. Jangan belain dia dengan cara--"
"Enggak, Jen. Gue gak belain dia, tapi memang itu kenyataannya."
Jennie terdiam, ia benar-benar kehilangan kemampuan bicaranya saat ini. Apa yang Alana katanya sangat sulit dipercaya karena demi apapun, itu adalah Alana Elvina!
"Kenapa?"
Alana menghembuskan nafasnya. Kali ini pembicaraan mereka akan jauh lebih panjang dan mencengangkan bagi Jennie.

.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang