25

0 0 0
                                    

DUA PULUH LIMA
Semua sumpah serapah Alana keluarkan dari mulutnya karena perilaku Baskara, lelaki sialan itu benar- benar mengusirnya pada tengah malam seperti ini.
Rasa kesal, marah dan sedih bercampur menjadi satu hingga membuat dada Alana sesak. Gadis itu menangis histeris karena kejadian yang menimpanya malam ini.
Jika memang Baskara akan mengusirnya, untuk apa lelaki itu memperlakukan dirinya sedemikian rupa hingga Alana merasakan sakit pada sekujur tubuhnya. Baskara bisa mengusirnya saat lelaki itu memang sudah tidak ingin lagi melihat Alana.
Alana sangat kebingungan sekarang, tidak mungkin ia pulang ke rumah tengah malam begini. Ia juga tidak mungkin menginap di rumah Jennie, selain itu tidak ada kendaraan umu yang masih beroperasi.
Dengan langkah yang gontai, Alana melangkah tanpa tujuan. Ia hanya berdoa jika tidak akan dipertemukan oleh manusia jahat lainnya yang akan melukai dirinya lagi.
Airmata tidak berhenti mengalir dan membasahi pipi Alana, ia mati-matian menahan rasa sakit pada tubuhnya juga hatinya. Bahkan gadis itu berkali-kali berhenti di trotoar karena tidak sanggup melanjutkan perjalanan.
Butuh satu jam lama hingga akhirnya Alana bisa menemukan sebuah hotel yang bisa ia jadikan tempat istirahat. Ia hanya butuh istirahat dari semua hal menyakitkan ini.
Tampilan Alana yang mengenaskan membuat pegawai hotel menatapnya penuh pertanyaan. Alana sadar akan hal itu, tapi sebagai pembuktian jika dirinya mampu menyewa salah satu kamar hotel ini Alana langsung memesang dengan tipe yang paling mahal. Uang Baskara masih menumpuk di rekeningnya, dan ia tidak peduli lagi.
Rasanya sangat melegakan ketika akhirnya Alana bisa mengistirahatkan dirinya. Gadis itu sangat lelah setelah semua hal yang terjadi kemarin.
Mungkin ini memang sebuah teguran dari semesta jika Alana telah mengambil jalan yang salah, dan gadis itu tidak ingin menyalahkan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri.
***
"Gak ada di rumahnya." Davin, sahabat sekaligus asisten Baskara harus datang pagi-pagi buta ke penthouse sahabat sialanya itu karena kalau tidak Baskara akan meledakan ponselnya.
Baskara mengerang. "Di rumah temennya?"
"Gak ada juga."
"Terus dia kemana?! Lo carilah yang bener!" Teriak Baskara.
89
Davin menyerit kebingungan. Kenapa Baskara malah kesal dengan dirinya?
"Ya mana gue tau? Emang gue mamaknya? Lagian ceritanya gimana sih? Gue aja gak tau apa-apa." "Gak usah nanya-nanya lah lo! Tinggal cari aja. Kebanyakan mulut."
Wah, Davin yakin jika Baskara benar-benar sudah gila. Sedari ia sampai hingga kepalanya pusing karena ulah Baskara, lelaki itu terus saja berteriak menyalahkan dirinya. Padahal sungguh Davin tidak mengerti tentang apa yang sedang terjadi.
"Ya gue harus taulah gimana ceritanya, kapan dia perginya?" "Tadi pagi."
"Jam enam? Sebelum gue datang?"
"Jam tiga pagi."
Davin memekik heboh. "Jam tiga? Wah berarti emang itu cewek udah gila pergi jam segitu." Baskara menghela nafas pelan. "Gue yang usir dia."
"Gila! Lo usir dia jam tiga pagi? Sinting lo! Gue kira dia pergi sendiri atau gimana, eh malah lo yang usir?"
Setelah tadi berteriak dan marah-marah, akhirnya Baskara diam juga. Lelaki itu langsung menundukan kepalanya setelah mengatakan jika dirinya lah yang mengusir Alana.
Davin mengusap wajahnya kasar. "Bas, lo tau gak sih dia bisa aja kenapa-napa jam segitu pergi sendirian? Gila lo ya?!"
Baskara tau jika tindakannya semalam salah, tapi itu semua karena dirinya sangat marah dengan kelakuan Alana. "Gue emosi banget."
"Gimana pun, lo gak sepenuhnya memilki dia, Bas. Ada keluarganya, kalau sampai Alana kenapa-napa yang paling sedih pasti keluarganya." Lanjut Davin, "Ah taulah! Lo cari sendiri gue pusing!"
Sejahat-jahatnya Davin, ia tidak akan pernah tega mengusir seorang wanita tengah malam seperti itu. Tingkat kegilaan Baskara sudah level paling tinggi dan luar biasa menjengkelkan.
"Dia ada main di belakang gue." Suara Baskara kembali terdengar, Davin melirik ke arah lelaki itu. "Sama Erza."
Kali ini Davin melotot dan kaget bukan main ketika mendengar satu lagi hal gila. "Erza...ponakan lo?" Baskara hanya mengangguk.
"Kalau boong jangan keterlaluan."
"Ngapain gue bohong? Ribet ya lo, dikasih tau malah sok tau!" 90

Bukan Davin sok tau, tapi ia benar-benar tidak menyangka. Masalahnya Alana terlihat begitu baik, seperti tidak mungkin jika gadis itu melakukan hal yang Baskara ucapkan tadi.
"Lo yakin?" Tanya Davin sekali lagi.
Baskara memutar matanya jengah. Davin ini sangat kepala batu. "Gue lihat Erza bilang ke ratusan orang dia pacar Alana, dia juga cium Alana. Masih bilang gue bohong?"
Ah jika memang benar begitu, Davin sedikit kecewa dengan Alana. Karena ketika mendengar cerita dari Baskara selama ini Alana adalah gadis yang baik dan juga penurut.
"Terus lo ngapain sekarang cari dia?"
Itu juga hal yang sedang Baskara tanyakan pada dirinya sendiri. Untuk Apa ia mencari Alana setelah dirinya pula yang mengusir gadis itu dari penthousenya.
Perasaan yang hinggap di dada Baskara bukan hanya perasaan khawatir tapi ia juga cukup menyesal...apa keputusannya semalam adalah keputusan yang tepat?
Baskara menatap Davin yang sibuk dengan ponselnya. "Menurut lo, dia akan baik-baik aja gak?"
Davin menoleh lalu mengedikan bahu. "Gue gak tau. Tapi yang gue tau, jam segitu adalah jam paling rawan. But hopefully she's okay. Ngomong-ngomong, lo beneran ngusir dia karena marah dengan kenyataan atau lo cemburu?"
"Cemburu?"
"Ya bisa aja lo cemburu karena ternyata Alana punya pacar."
Baskara tertawa, meskipun terdengar sangat kaku dan palsu. "Gue gak pernah cemburu sama siapa pun."
"Bagus kalau gitu. Karena gak lucu aja semisalnya lo jatuh cinta sama mainan lo sendiri."
Perkataan Davin benar-benar membekas di kepala Baskara. Apa lelaki itu bilang? Jatuh cinta? Tidak mungkin.

.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang