ENAM BELAS
Jennie menghampiri Alana yang sedang termenung sendirian di kantin. Gadis bermata kucing itu terlihat sangat tergesa-gesa.
"Akhirnya gue ketemu lo." Kata Jennie dengan nafas yang tersengal.
Alana menyerit bingung, padahal saat nanti masuk kelas mereka kan juga pasti bertemu. "Kenapa?"
Jennie merapihkan rambutnya, lalu menyeruput susu cokelat Alana. "I have something to tell you." Lanjutnya, "Bokapnya Erza ketahuan selingkuh."
Apa? Alana melongo mendengarnya. "Serius? Jangan hoax!"
"Serius! Orang rame kok di akun lambe-lambe an. Malah sempet ribut palakornya sama Mami nya Erza." Bisik Jennie.
"Kapan?" "Kemarin."
Padahal kemarin Alana baru saja bertemu dengan Erza. Kenapa lelaki itu tidak mengatakan sesuatu sama sekali?
"Gue kemarin ketemu Erza, terus dia fine-fine aja." Kata Alana. Jennie berdecak, "Malem, Al, baru ramenya."
"Terus?"
Jennie mengedikan bahunya. "Gak tau. Tapi ceweknya memang cantik sih, muda gitu seumuran kita."
Sial, Alana merasa melihat dirinya sendiri karena kata-kata Jennie barusan. Sahabatnya itu kembali bersuara.
"Emang pengusaha gitu ya? Demen koleksi perempuan? Hih ngeri." Ucapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
"Kelebihan uang mungkin." Sahut Alana. "Everything is all about money, right?"
Alana mengangguk setuju. Jennie memang betul, semuanya memang tentang uang. Buktinya adalah Alana, ia rela menyerahkan sesuatu yang sangat berharga kepada seorang lelaki yang baru dirinya temui hanya untuk uang.
***
58
Baskara mengetukkan jarinya pada meja. Ia benar-benar sedang menahan emosinya sebisa mungkin. Brengsek! Ketika melihat Alana dan Erza kemarin ia ingin sekali meledak.
Apa-apaan itu? Alana diam saja ketika Erza menyentuh rambutnya, memberikan perilaku istimewa. Dan cowok kemarin sore yang sialnya adalah kerabat Baskara, sangat percaya diri sekali berharap Alana akan menjadi kekasihnya. Tidak tahu saja Erza jika Alana sudah sering tidur dengan pamannya.
Jika lima menit lagi Alana tidak sampai di kantornya, Baskara akan membuat gadis itu menangis semalaman. Kali ini, Alana akan mendapatkan sebuah pelajaran atas tingkah lakunya kemarin.
Pintu ruangan Baskara terbuka tepat satu menit sebelum jangka waktu yang lelaki itu berikan. Alana berdiri dengan nafas yang memburu dan tersenyum canggung.
"Maaf ya, Bas, tadi macet banget makanya aku rada telat..." kata Alana. Gadis itu masih berdiri di tempatnya.
Baskara bangkit dari kursi. Berjalan ke arah depan mejanya dan bersandar. "Macet bukan alasan. Kamu bisa berangkat lebih awal supaya gak telat." ucapnya.
Sejak telepon Baskara yang mendadak tadi, Alana sampai harus berlari dari ruang kelasnya hingga ke gerbang kampus karena takut terlambat. Tapi sialnya jalanan memang sedang macet, hingga ojek yang ia tumpangi pun tersendat.
"Aku minta maaf..." bisik Alana. "Kesini diantar gebetan kamu, hmm?"
Baskara menyelipkan sarkas yang sangat jelas pada ucapannya barusan. Perlahan Alana berjalan mendekati lelaki itu dengan kepala yang tertunduk. "Kalau maksud kamu Erza, sumpah aku gak ada hubungan apa-apa sama dia. Kita cuman temenan dan kemarin--"
"Dia mantan kamu, kan?"
Ah iya, Alana lupa jika yang ada di hadapannya ini adalah seorang Baskara Hariss. Lelaki superior yang bisa mendapatkan apapun kemauannya.
"Itu dulu banget, Baskara."
Suara ketukan yang berasal dari sepatu Baskara seperti sebuah nada yang merenggut nafas Alana. Gadis itu merasa takut kala Baskara terus mengikis jarak diantara mereka.
"You sure? Kalau gitu, kenapa kamu nge date sama dia? Hujan-hujanan, terus pakai jaket dia. You think im stupid?" Bisik Baskara.
Alana dengan keberanian yang ia miliki mencoba menatap Baskara. "I'm really sorry...kemarin aku benar-benar kehujanan dan aku udah tolak ajakan dia berkali-kali tapi keadannya memang gak memihak ke aku. Aku udah tungguin bus dari—"
59Baskara membentak Alana tepat di depan wajah gadis itu. "You can call me! Aku punya banyak supir dan mereka bisa langsung jemput kamu. Kamu bisa pesanan taxi atau apapun dengan argo berapa pun dan langsung aku ganti uang kamu. But you choose to go home with him."
Harusnya Alana tidak perlu membela dirinya di depan Baskara. Itu sia-sia dan Baskara tidak akan mau mendengarkannya.
"What i have to do so you can forgive me...?" Tanya Alana.
Baskara bersorak di dalam hati, ternyata ini jauh lebih mudah dari yang ia bayangkan. Lelaki itu tidak
perlu memaksa Alana untuk menuruti keingannya.
Alana memandang Baskara yang kembali berjalan ke arah kursinya. Lelaki itu melipat lengan kemejanya
hingga siku dan memanggil Alana. "Here. If you want me to forgive you, just do as i said."
Tanpa berpikir dua kali, Alana langsung bergegas menghampiri Baskara. Ia berdiri tepat di samping kursi
kerjanya itu.
"Here, baby. On your knees."
Mata Alana membulat ketika mendengar ucapan Baskara. Ia tau apa yang sedang lelaki itu rencanakan.
"Cepet! Atau mau saya telepon rumah sakit—"
Mendengar ancaman tersebut, Alana langsung menuruti perkataan Baskara. Meski dengan mata yang sudah berkaca-kaca, Alana berusaha untuk tidak menangis. Ini semua demi pengobatan Ibu! Batinnya.
Tangan Baskara membelai rambut hitam Alana lembut, mengusapnya dengan hati-hati sebelum menariknya dengan erat.
"Remember who you are!" Desis Baskara.
Hingga yang selanjutnya terjadi, Alana tidak dapat menahan airmatanya. Ia benar-benar merasa kotor dan terhina, Alana sudah sepenuhnya seorang wanita murahan yang tidak memiliki harga diri di depan Baskara.
Baskara berani bersumpah jika mulut Alana adalah hal terbaik yang gadis itu miliki setelah kewanitaannya. Padahal ini pertama kalinya bagi Alana, tapi gadis itu benar-benar sukses memuaskan Baskara dengan mulutnya.
This is the best view that man could've ask. She blow him so good and make him wanna cum, hard. Cengkraman pada rambut Alana semakin menguat ketika Baskara pelepasan. Lelaki itu mendesah dengan
sangat puas setelahnya.
"Fuck, you need to make another mistake so i can feel that mouth more often." Baskara menggerakan jemarinya untuk membersihkan wajah Alana yang memerah.
60Airmata Alana masih mengalir, ia tidak tau harus bagaimana lagi setelah ini. Rasanya sangat memalukan, hatinya remuk karena apa yang baru saja dirinya lakukan dengan Baskara.
Tanpa Alana sadari, Baskara sudah memegang ponselnya dan mengetikkan sesuatu kepada seseorang. Hingga pintu ruangan Baskara terbuka dan Alana yang panik langsung berdiri hingga kepalanya mengenai meja.
Sosok yang masuk barusan sama kagetnya dengan Alana.
Erza harus berkali-kali mengerjapkan matanya untuk memastikan jika itu benar Alana. Alana dan Baskara? Ada apa ini?
Meski hanya sekilas, Erza mencoba menatap Baskara mencari tau tentang apa yang sebenarnya terjadi. Yang ia temukan adalah Pamannya dengan wajah yang memerah sedang bersandar pada kursinya. Lalu, ia juga melihat noda pada baju Alana.
Sekarang Erza sudah mulai mengerti akan satu kesimpulan. Ia bukan bocah tolol yang tidak tau apa yang sedang terjadi disini.
"P-paman saya ganggu gak? Kata Papi saya suruh anter berkas ini ke Paman..." Erza mencoba menekan rasa kecewanya dan tetap bersikap seakan tidak terjadi apa-apa.
Baskara menarik nafas lalu menyisir rambutnya ke belakang. "Fine taruh meja aja. Kalau kamu bingung kenapa ada Alana, she's working right now. With me."