DUA PULUH TUJUH
Sudah hampir satu bulan lamanya Baskara tidak menanyakan kabar Alana, sejak Kaivan memberitahunya jika gadis itu baik-baik saja Baskara sudah tidak mau peduli. Untuk apa memikirkan seorang perempuan licik, benarkan?
Kehidupan Baskara kembali seperti semula, lelaki itu bekerja dengan sangat keras hingga larut malam lalu datang pagi-pagi. Baskara seperti zombie.
Baskara hanya tidak ingin pikirannya dihantui oleh amarah karena mengingat tingkah Alana yang menyebalkan itu.
Tadinya Baskara masih ingin menghabiskan waktunya di kantor dengan tumpukan berkas di mejanya. Namun karena telepon Papi yang memaksa dirinya untuk ke mansion mengantarkan suatu dokumen penting, Baskara harus mengurungkan niatnya.
Jika bukan karena paksaan Papi, Baskara sangat malas mengunjungi mansion megah ini. Ia bergedik ngeri setiap mengingat bagaimana kedua orangtuanya mengurung Baskara di dalam dengan tumpukan buku- buku tentang bisnis yang bahkan saat itu belum ia mengerti apa tujuannya.
Kaki Baskara melangkah dengan cepat menuju ruang kerja Papi, ia hanya ingin segera menyelesaikan hal ini secepat mungkin.
Langkah Baskara berhenti ketika ia mendengar perdebatan yang berasal dari ruangan yang khusus untuk tamu-tamu Mami. Bukannya ia seorang penguntit, tapi masalahnya suara yang ia dengar cukup familiar.
Demi apapun manusia dan rasa penasarannya sangat menyebalkan. Baskara harus mengendap-endap untuk mengintip dari celah pintu yang tidak tertutup rapat.
Baskara menyeritkan alisnya bingung ketika melihat Erza, Mami dan juga Vanessa di ruangan itu terdengar sedang mendebatkan sesuatu. Ia semakin mendekatkan diri ke arah pintu untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
"Ya lo gak seharusnya nabrak dia kayak gitu, Ca! Dia hampir mati tau gak gara-gara kelakuan lo?" Itu suara Erza, yang berbicara dengan nada tinggi.
"Tapi gak mati, kan? Lagian lo gak usah berlebihan deh, Za. Atau jangan-jangan lo naksir beneran sama dia?" Sahut Vanessa.
Erza kembali menyahuti. "Masalahnya tuh dari awal kesepakatan kita cuman untuk misahin dia sama Papi lo, kan? Nah itu udah terjadi. Terus kenapa lo masih teror dia?"
"Teror apasih? Lagipula sehabis dia gue serempet pakai mobil tadi juga baik-baik aja kan? Lo juga yang panik dan suruh temen-temen kampus lo bantuin?"
"Iya tapi—"
96
Mami menimpali ucapan Vanessa. "Betul. Udah deh, Erza kamu gak usah berlebihan. Perempuan kayak Alana memang pantas kok diperlakulan seperti itu."
Mungkin hanya sampai situ Baskara bisa bersembunyi di balik pintu. Ia sudah tidak bisa menahan amarahnya karena mendengar sebuah kebenaran yang begitu menyakitkan.
Jadi semua yang terjadi dengan dirinya dan Alana disebabkan oleh tiga orang ini? Erza, Vanessa dan juga Maminya?
"Ngobrolin apa nih?"
Kehadiran Baskara yang tiba-tiba, sontak membuat ketiga orang yang berdebat tadi membeku. Mereka saling melirik satu sama lain karena panik.
"Loh kok diem? Perasaan tadi lagi pada asyik ngobrol?" Baskara masih mencoba santai meski amarahnya sudah di ujung tanduk.
Erza dengan cepat mengambil tasnya dan bergegas pergi, namun sebelum ia sempat berpamitan Baskara langsung menahannya. "Mau kemana? Gak sopan banget sih?"
"I-iya Paman, saya ada kerkom jadi mau pulang."
Cengkraman Baskara pada pundak Erza menguat, ia ingin sekali meremukan tulang bocah sialan ini. "Jangan buru-buru dong. Pertanyaan saya aja belum dijawab. Tadi ngomongin apa?"
"E-enggak ngomong apa-apa."
Baskara mengeraskan rahangnya lalu dengan sangat cepat meninju wajah Erza sekeras mungkin. Brengsek ia tidak tahan lagi!
Hanya dengan satu pukulan, Erza langsung tersungkur ditahan.
"Jadi pengen saya bikin gak bisa ngomong beneran?" Tanya Baskara geram.
Mami dan Vanessa langsung panik, mencoba menahan Baskara yang sudah menghajar Erza membabi buta. Wajah Erza sudah berlumur darah karena pukulan keras yang mendarat sempurna dari Baskara.
"Baskara berhenti gak?!" Mami berteriak sambil menarik tangan Baskara namun nihil.
Vanessa juga melakukan hal yang sama, kali ini berhasil karena Baskara berhenti memukuli Erza. Namun naasnya, jemari lelaki itu malah melingkar erat pada leher Vanessa.
"Brengsek! Saya sudah bilang jangan ikut campur dan kalian malah merencakan sesuatu yang gak masuk akal?!"
Sungguh Baskara sudah ditutupi oleh kemarahan yang menguasai dirinya sekarang. Ia masih ingat dengan jelas malam dimana dirinya memperlakukan Alana dengan begitu keji karena termakan jebakan manusia- manusia sialan ini.
"Baskara lepas! Itu anak kam—"
97"DIAM!" Baskara berteriak kepada Mami. Ia masih menatap Vanessa yang mulai tidak berdaya dengan sangat tajam.
"Kamu gak berhak atas apapun di hidup saya. Saya sudah bilang untuk tidak mencampuri apapun tapi kamu malah melakukan yang sebaliknya. Anak gak tau diri, berarti keputusan Angel untuk menggugurkan kamu dulu tepat karena ternyata kamu saat ini hanya jadi sampah."
Vanessa benar-benar hampir kehilangan nafasnya, namun sosok Papi datang tepat waktu dan berhasil membuat Baskara melepaskan anaknya tersebut.
"What are you doing?" Tanya Papi heboh. Kekacauan yang dirinya lihat saat ini begitu membingungkan. Dan Baskara persis seperti seorang monster.
"None of your bussiness." Kata Baskara. Lelaki itu merapihkan kemejanya dan berniat untuk pergi, ia sudah muak berada disini.
"Kamu gak benar-benar suka kan sama pelacur itu?"
Baskara menghentikan langkahnya ketika mendengar suara Mami.
"Dia bukan pelacur." Jawab Baskara, ia menatap Mami lekat. Jika wanita itu bukanlah Ibu kandungnya, pasti akan Baskara lepar dengan bangku.
Mami mendecih. "Pi, anak kebanggan kamu suka sama pelacur. Ternyata selera kamu dari dulu gak pernah berubah, selalu tertarik dengan wanita rendahan."
"Saya bisa bikin kalian jatuh miskin dalam sehari. Dan saat hari itu terjadi, hanya ada dua hal yang saya lakukan. Pertama, menjamin kehidupan Papi. Kedua, membuat kalian bersujud di depan Alana."
Ancaman Baskara berhasil membuat mereka bergedik, pasalnya lelaki itu berkata dengan penuh penekanan. Lalu, perusahaan Papi memang saat ini bergantung dengan perusahaan milik Baskara yang sudah lebih besar.
"Persiapkan diri kalian. Dan jangan lupa untuk membuat kata-kata permintaan maaf yang baik, agar Alana mau memaafkan kalian."
Baskara lalu melenggang begitu saja. Ia benar-benar akan mewujudkan semua ucapannya tadi. Dirinya sudah sangat murka sekali.
Di dalam mobil, Baskara menghubungi Davin agar lelaki itu mempersiapkan semua berkas yang dibutuhkan untuk mewujudkan rencananya.
"Vin, siapin—"
"Bas, lo udah tau belum?" "Kenapa?"
"Alana masuk rumah sakit."
98Oh iya, Baskara lupa dengan hal itu karena sibuk menyusun rencana. Padahal alasan di balik semua ini yang memang karena Alana.
"Iya tau. Diserempet sama Vanessa."
"Lo tau juga kalau dia hamil?"
Sebentar. Apa kata Kaivan? Hamil? Alana hamil?
