TIGA BELAS
Alana merasa beruntung semalam Baskara tidak melampiaskan kemarahan pada dirinya. Tapi pagi ini, mungkin inilah waktunya. Baskara membangunkan Alana dengan kasar dan mengagetkan.
"Kenapa?" Tanya Alana dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya.
Baskara terlihat segar, mungkin sudah mandi terlebih dahulu. "Bangun. Beresin barang-barang kamu, kita pulang siang ini."
"Hah?"
"Pulang siang ini."
Tangan Alana mengucek matanya, ia tidak salah dengar? Bukannya mereka akan di Bali selama seminggu? Ini baru tiga hari sejak mereka sampai.
"Aku kira kita disini seminggu." Ucap Alana sambil menguncir rambutnya asal.
"Rencananya. Tapi siang ini kita harus pulang, ada hal mendadak yang harus aku urus sendiri."
Alana terlihat murung, ia bersuara meskipun pelan. "Aku boleh beli oleh-oleh dulu, gak? Ibu aku mau nyobain—"
Baskara memotong ucapan Alana. "Mana sempet sih, Al? Gak usah ngaco deh, udah sekarang kamu siap- siap." ucapnya galak.
Perkataan Baskara membuat Alana murung. Pasti Ibu akan sedikit kecewa karena beliau sudah menitipkan Alana pie susu yang sangat diinginkannya.
"Yaudah aku siap-siap dulu." Alana melangkahkan kakinya dengan gontai, ia harus tahu diri jika sebenarnya memang tujuan dirinya kesini bukan untuk liburan. Jadi sebaiknya Alana tidak menaruh ekspetasi tinggi.
Sekitar sepuluh menit ketika Alana keluar dari kamar mandi, ia sudah dikagetkan dengan penampilan Baskara yang jauh lebih rapih. Meski tidak memakai pakaian formal, lelaki itu memang terlihat siap untuk pergi.
"Aku belum beres-beres, sebentar ya." Alana bergerak dengan lincah menuju lemari pakaian miliknya dan juga Baskara. Tangannya dengan cepat mengeluarkan koper milik mereka berdua.
Sial, Alana mendumel dalam hati karena pakaian Baskara yang sulit dilipat dengan keadaan buru-buru seperti ini.
"Jangan dilipat kayak gitu!" Baskara sedikit berteriak panik ketika melihat jas kesayangannya dilipat asal oleh Alana, tidak taukah gadis itu jika jas yang sedang ia perlakukan asal adalah jas termahal yang pernah Baskara miliki?
46
Alana menatap wajah Baskara dengan ekspresi bersalah. "Hng? T-terus gimana...?"
Baskara menghampiri Alana, mengambil alih jas berwarna biru dongker itu dari tangannya. "Ini kan ada
gantungannya, covernya juga ada. Gak usah dilipat kayak gitu." ucapnya. "Maaf ya..aku gak tahu soalnya."
Permintaan maaf Alana membuat hati Baskara terenyuh. Lelaki itu menghela napas sebelum menyahuti. "Yaudah kamu beresin kaos sama yang lain aja deh. Biar jas-jas ini aku yang rapihin."
"Beneran gapapa?" "Hmm."
Dengan begitu, Alana langsung melakukan tugasnya. Merapihkan pakaian Baskara yang lain dengan sangat hati-hati juga.
Tingkah Alana membuat Baskara tertawa, bahkan gadis itu melipat sebuah kaos layaknya melipat bendera pusaka. Sangat hati-hati.
"Biasa aja kali. Kalau kamu lama kayak gitu yang ada kita malah ketinggalan pesawat."
Duh, Alana jadi serba salah. Tadi ia buru-buru Baskara mengomentarinya, sekarang berhati-hati pun lelaki itu tetap saja mengomentari juga. Jadi maunya apa?
Tepat ketika mereka selesai membereskan barang-barangnya, ponsel Baskara berdering.
Setelag menutup panggilannya, Baskara langsung mengajak Alana keluar villa. Mereka sudah ditunggu oleh mobil jemputan yang berada di depan pintu masuk.
Baskara menghempaskan diri ketika duduk di mobil. Lelaki itu memijat pangkal hidungnya dan memejamkan mata.
"So tired." Alana tidak menyahuti, karena bisa saja lelaki itu sedang bermonolog.
Sepanjang perjalanan menuju bandara, keadaan di mobil sangat hening. Baskara sepertinya tertidur karena lelaki itu tidak bersuara sama sekali. Perjalanan terasa sangat cepat karena Alana pun tenggelam dengan pikirannya sendiri.
"Koper kita?" Tanya Alana sedikit panik ketika Baskara menggenggam tangannya dan tidak mengambil koper mereka berdua.
"Gak usah dipikirin. Biar staff aku yang urus."
Alana mengangguk. Ia sedikit kebingungan dengan Baskara yang enggan melepaskan genggaman tangannya, padahal sekarang mereka sedang di tempat umum. Ya walaupun lelaki itu menggunakan topi dan juga sunglasses, tapi tetap saja mudah untuk mengenali seorang Baskara Haris.
Mata Alana menangkap sebuah toko yang menjual berbagai macam oleh-oleh dalam bentuk makanan. Alana memberanikan diri untuk mengatakan hal ini pada Baskara.
47"Bas, aku kesitu sebentar ya. Lima menit aja, please. Aku cuman mau beli pie susu doang buat Ibu. Pakai uang—"
"Kamu liat jam gak sih, Al? Jangan norak deh, ah. Itu ngantre bayarnya, gak usah nyari masalah." "Lima menit aja.."
"No."
Mata Alana jadi berkaca-kaca, padahal ia yakin jika mereka masih punya cukup waktu untuk menyisihkan sebentar. Tapi Baskara tidak salah juga sih, mana mungkin lelaki itu mau menunggu Alana membeli oleh-oleh meskipun hanya lima menit. Memang Alana siapa?
Alana benar-benar tidak kuasa membayangkan ekspresi Ibu yang mungkin kecewa. Bisa saja gadis itu memesannya via online, tapikan membutuhkan waktu. Dan Ibu juga nanti akan tau jika Alana tidak membelinya secara langsung.
Bahkan ketika mereka sudah tiba di Jakarta, Alana masih merasa bersalah. Ah jika tau begini ketika ditinggal Baskara mengurus pekerjaannya kemarin Alana akan membeli oleh-oleh sendirian.
"Kamu dianter supir aku, aku mau langsung ke kantor." Alana mengangguk.
"Koper kamu kayaknya udah ada di mobil. Kalau belum tunggu aja dulu, aku mau langsung pergi."
Lagi-lagi Alana mengangguk sebelum bersuara. "Oke. Makasih ya." ucapnya.
Baskara mengangguk, lalu berjalan dengan cepat meninggalkan Alana di belakang.
Alana menghela napas. Ternyata hidup seperti ini sangat melelahkan. Menjadi orang kaya seperti Baskara nampaknya tidak mudah. Waktu yang lelaki itu miliki seakan tidak sepenuhnya di bawah kuasa Baskara.
Sejak meninggalkan rumah selama tiga hari, Alana jadi merindukannya. Namun keadaan yang gelap dari dalam menandakan jika tidak ada orang di rumah. Alana segera menelepon Bapak dan memastikan keberadaannya. Ternyata Ibu dan Bapak ada acara keluarga dan Adfar sedang kerja kelompok. Jadi secara tidak langsung Alana sendirian.
Sesampainya di rumah, Alana langsung melangkahkan kaki menuju kamarnya. Membersihkan diri dan merapihkan isi kopernya kembali. Gadis itu merebahkan tubuhnya ke kasur, berniat memejamkan mata karena merasa cukup mengantuk.
Baru saja Alana ingin tenggelam di alam mimpi, ponselnya tiba-tiba berdering. Menampilkan nama Baskara pada layarnya.
"Halo?"
"Aku di depan rumah kamu."
Mata Alana melotot sempurna. "Hah? Ngapain?"
"Susah banget ya untuk membukakan pintu baru tanya-tanya?" 48Alana dengan cepat menuruni tangga dan membuka pintu untuk Baskara. Lelaki itu menenteng beberapa paperbag yang ukurannya cukup besar. Ah jangan bilang isinya bikini atau dress seksi lagi.
Tanpa disuruh masuk, Baskara sudah melangkahkan kakinya terlebih dahulu. Sungguh ini pertama kalinya ia memasuki rumah Alana dan kesan pertama yang lelaki itu tangkap adalah...sial rumah ini kecil sekali. Tapi untungnya, rumah Alana cukup rapih.
"Kenapa?" Alana memberanikan diri untuk bertanya.
Baskara menyodorkan paperbag yang dibawanya. "Oleh-oleh khas Bali. Tadi kamu gak sempet beli kan? Nih buat Ibu kamu."
Mata Alana langsung berkaca-kaca. Serius ini isinya pie susu?
"Beneran?"
"Tadi kamu ribet minta beli pie susu. Giliran udah dibeliin malah gak percaya." Kata Baskara sinis.
Wajah Alana mendadak merah, ia sedang menahan airmatanya. Bukan karena dibentak oleh Baskara, tapi karena hal ini Ibu tidak jadi kecewa.
"Makasih banyak..."
"Kok kamu nangis?!"
"Enggak nangis. Aku seneng kok."
"Serius?!"
Alana mengangguk. "Kamu mau minum dulu? Gak ada anggur, tapi aku ada kok air mineral sama sirup marjan. Kamu mau—"
"Aku mau ke kamar kamu."