DUA PULUH SEMBILAN
Davin menyadari gelagat aneh yang Baskara tunjukan akhir-akhir ini. Lelaki itu tidak fokus bekerja dan sering sekali melamun.
"Baskara, besok kita ada rapat dengan start up untuk bahas masalah marketingnya. Lo udah pelajari materinya kan, Bas?"
Baskara hanya mengangguk. Padahal Davin yakin jika lelaki itu tidak mendengarkannya sama sekali. Lihat saja pandangannya yang kosong seperti bocah tolol, benar-benar ingin Davin jotos saking kesalnya.
"Bas, lo denger gue gak sih?!" Sentak Davin kesal.
Suara Kaivan berhasil mengejutkan Baskara, membuat lelaki itu menatapnya penuh tanya. "Apasih, Vin?"
"Tuhkan! Sekarang gini deh, lo lagi ada masalah apa? Biar bisa segera diselesaiin jadi gak ngeganggu kerjaan." Kata Davin tegas.
Baskara tertohok ketika mendengar ucapan Davin karena lelaki itu mengatakan hal yang benar. Baskara tidak bisa fokus dengan pekerjaannya karena suatu hal yang begitu memusingkan. Masalah itu terus menggelayut manja di pikirannya.
"Alana, Vin..."
Mendengar nama itu, Davin langsung mendengus. Tepat sekali tebakannya, pasti gadis polos nan penurut itulah penyebab kegelisahan hati Baskara.
"Kenapa Alana?"
"Dia gak mau maafin gue dan...she want an abortion."
Tubuh Davin bergedik ngeri mendengar perkataan Baskara. Gila, bisa-bisanya gadis polos seperti Alana memiliki pikiran seperti itu?
"S-serius lo?"
Baskara mengangguk, lalu menatap Davin. "Gue harus bagaimana?"
Apa-apaan itu Baskara? Memangnya ia kira Davin paham masalah rumit mereka? Lagian kenapa sih Baskara terus saja menyeret dirinya pada sesuatu yang bahkan Davin tidak tau asal muasalnya.
"Gue gak ngerti. Maksud gue kenapa lo pusing? Iya gue tau dia hamil anak lo cuman...damn jangan bilang!" Davin memekik heboh ketika sebuah prasangka muncul di kepalanya.
Davin sangat yakin jika kali ini ia tidak salah lagi. Pasti Baskara jatuh hati pada Alana, oleh karena itu lelaki menyebalkan sepertinya galau berhari-hari kemarin.
"Gue gak tau ini perasaan apa," Baskara memberi jeda, "tapi yang gue tau cuman satu. I won't loose her."
103
***
Sudah satu minggu lamanya Alana berada di rumah sakit pasca kecelakaan yang menimpa dirinya. Sungguh Alana sebenarnya bosan sekali, untungnya ini adalah hari terakhir Alana di rawat dan akan diperbolehkan pulang esok hari.
Keluarga Alana sedang berkumpul di kamar inap Alana, kebetulan karena hari ini weekend jadi mereka bisa menemani gadis itu.
Adfar bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Bocah itu sedang asyik bermain games. "Kak, tangannya butuh berapa lama untuk sembuh?"
"Sebulan sampai dua bulan kali ya?"
"Haduh kesihan. Nanti kalau pup ceboknya gimana?"
"Dicebokin Ibu kayak dulu." Lalu Alana tertawa keras bersama Ibu dan Bapak. Lagian, untuk apasih Adfar menanyakan hal seperti itu? Memang tangan kanan Alana tidak dapat digunakan? Aneh sekali, dasar bocah.
Adfar merengut, kesal karena ia malah menjadi bahan lelucuon bagi keluarganya. "Lagian kayak anak kecil aja pakai keseleo segala." Ucapnya.
Alana protes keras. "Enak aja! Ini bukan keseleo ya! Ini tuh patah, gak bisa disamain."
"Sama aja kali. Sama-sama urusan tulang!"
"Beda lah! Rasa sakitnya tuh beda!"
Bapak mengintrupsi dengan suara kekehan. "Kok jadi ribut masalah patah dan keseleo? Emang bangga banget ya kalian bisa sakit?"
Alana menjulurkan lidahnya, meledek Adfar yang memasang wajah menyebalkan.
Perhatian mereka teralih sepenuhnya ketika mendengar suara ketukan pada pintu kamar inap Alana. Sebenarnya mereka khawatir jika tawanya tadi terlalu keras dan mengganggu pasien lain, namun sosok laki-laki yang memunculkan diri membuat pikiran itu sirna dengan cepat.
Semua yang ada di ruangan itu kebingungan dengan lelaki tinggi yang berpakaian formal, di hadapan mereka. Kecuali Alana, ia sudah sangat muak melihat Baskara kembali hadir. Apa sih maunya?
"Selamat siang, maaf jika saya mengganggu. Perkenalkan nama saya Baskara Haris."
Keluarga Alana langsung melongo mendengar nama tersebut. Pantas saja wajahnya terlihat familiar, ternyata bagian dari keluarga ternama Haris, toh?
Lagipula, siapa di negeri ini yang tidak tau keluarga Haris? Keluarga konglomerat yang selevel atau bahkan lebih tinggi dari Aburizal Bakrie atau Choirul Tanjung. Tapi pertanyaannya adalah, apa tujuan di balik kehadiran seorang Baskara Haris disini?
104"Ada yang bisa saya bantu?" Bapak bangkit dari duduknya dan menghampiri Baskara. Baskara hanya tersenyum lalu mengangguk kecil.
"Saya mau memperkenalkan diri, Pak, Bu."
Firasat Alana mulai tidak enak dengan ucapan Baskara. Ia baru saja ingin mengucapkan sesuatu namun kalah cepat, Baskara sudah mendahuluinya.
"Saya kekasih Alana."
Mata Alana melotot sempurna, ia menatap Baskara tidak percaya. Apa yang sedang lelaki itu rencanakan kali ini?
Semuanya terpaku, bahkan Adfar menganga karena tidak percaya. Masalahnya bukan hanya karena lelaki tinggi ini berasal dari kelas atas, tapi ia yakin jika umur Baskara berada jauh di atas kakaknya.
"Kamu kayaknya salah orang deh." Alana bersuara dan membuat seluruh mata menatap ke arahnya. Sungguh ia sangat berdebar.
"Kenapa kamu bicara begitu, Alana?" Tanya Baskara.
Ah brengsek! Alana benar-benar ingin meninju wajah Baskara sekarang juga. Hahaha lihat akting lelaki itu, sangat piawai.
"Kamu ngaco." Alana beralih pada keluarganya, "Gak usah di dengar Pak, Bu. Bos aku itu habis putus sama pacarnya terus dia minta aku pura-pura untuk--"
"Saya ingin bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan Alana."
Ucapan Baskara yang terdengar ambigu membuat keluarga Alana kebingungan. Tanggung jawab atas hal apa? Kecelakaan yang menimpa Alana atau hal lain?
Alana menimpali sebelum Baskara berbicara semakin ngawur. "Pak, saya pasti temani Bapak ke pesta itu tapi—"
"Alana sedang hamil anak saya dan disini saya ingin bertanggung jawab."
Bajingan! Alana mengeraskan rahangnya, ia benar-benar tidak menyangka jika Baskara akan melakukan rencana licik seperti ini di depan keluarganya.
