DUA PULUH
Pagi hari di penthouse Baskara suasana sudah sangat riuh. Alana sibuk dengan segala sesuatunya di dapur, menyiapkan sarapan untuk Baskara yang terus-terusan merengek.
Sedangkan Baskara, lelaki itu sibuk dengan berbagai jenis buku miliknya yang akan dipergunakan untuk bahan referensi skripsi Alana. Mereka berdua sibuk dengan urusannya masing-masing.
"Baskara sini dulu!" Alana memanggil lelaki itu untuk menunjukan pancake buatannya.
"Apa?"
Alana menunjukan pancakenya. "Segini kematangannya udah pas belum?" tanyanya.
Baskara memotong pancake tersebut lalu menyuapnya. Ngomong-ngomong, ini adalah pertama kali ada seorang wanita yang memasak untuknya. Dan harus ia akui, kemampuan memasak Alana cukup baik.
"Udah pas. Enak kok!"
Alana terkekeh. "Enak apaan coba? Aku belum pakai topping apa-apa kok." katanya.
Ternyata Baskara baru menyadari jika suara tawa Alana terdengar begitu hangat menyapa telinganya. Alana terdengar sangat berbeda ketika sedang tertawa.
"Enak soalnya aku bisa sambil gini."
Meskipun sedikit kaget, Alana langsung mengikuti permainan Baskara. Lelaki itu menciumnya dengan sangat dalam dan bergairah, membuat Alana hampir kehilangan akal karena hal ini.
Baskara dengan cepat menaruh piring pancake yang Alana genggam ke atas meja, mengarahkan tangan gadis itu untuk memeluk lehernya.
Alana mengerang ketika Baskara mengecup lehernya dengan keras, lalu kedua tangan lelaki itu sudah bergerak menyentuh setiap inch tubuh Alana yang hanya terbalut kaos kebesaran milik Baskara.
"Well, well, jadi ini pacar kamu?" Suara asing yang tidak Alana kenali membuat gadis itu mendorong Baskara sekuat tenaga. Bahkan Alana belum berani membalikan tubuhnya untuk menatap siapa pemilik suara itu.
Baskara dengan wajah tidak bersahabatnya itu mendengus kesal. "Mami ngapain sih kesini?"
"Mau lihat perempuan yang katanya pacar kamu. Hmm she's not his girlfriend, Sa. Only another whore— "
"Berisik." Potong Baskara cepat. Sebelumnya, ia memang menginginkan pertemuan antara Alana dengan Mami tapi dengan cara yang lebih baik. Sedangkan yang terjadi malah Mami merusak pagi indahnya dengan Alana. Sial.
71
"Jadi, ini pacar kamu?"
Baskara menyentuh pinggang Alana, membalikkan tubuh gadis itu untuk menatap Mami. "Kenalin, ini Alana pacar aku."
Alana tersenyum sopan meski jantungnya sudah berdetak tidak karuan. Pandangan yang selalu ia dapat kini dengan jelas tersirat dari mata wanita paruh baya itu. Mami Baskara memandang Alana dengan sorot yang sangat merendahkan.
Mami mendecih. "Kalau mau kenalin pacar ke orangtua, suruh pakai celana dulu."
Reflek, Alana langsung menutupi paha nya dengan tangan. Ia sangat malu sekali saat ini. Namun, yang mengejutkan adalah suara tawa Baskara yang terdengar cukup kencang.
"Why? I love her like this. She look like this only for me." Kata Baskara ponggah.
"Hmm fine. Mami cuman mau lihat perempuan apa yang kamu sebut pacar dan akhirnya tau, kalau
ternyata semua hanya karangan. Next time, call another slut with a higher level." Sahut Mami ketus.
Gadis tinggi dengan rambit cokelat terang yang berada di samping Mami juga ikut menimpali. "I bet you find her because she's desperate with her poor life. Jiwa-jiwa miskinnya masih kelihatan banget hahahaha."
Ah brengsek, Alana mencoba sekuat tenaga untuk tidak menitikan airmatanya namun gagal juga. Perkataan dua sosok wanita di depannya benar-benar menyakitkan.
Memang apa yang mereka katakan benar, tapi Alana sangat terluka. Ia terluka karena tidak bisa membela dirinya ketika sedang direndahkan seperti itu.
Apa ini Alana berhak mendapatkan semua kalimat menyakitkan itu karena ikatan hubungannya dengan Baskara?
Baskara memeluk tubuh Alana dari belakang sebelum kembali bersuara. "Terserah. But Mom, apa Mami tau kalau perempuan-perempuan yang Mami kenalkan ke aku juga gak lebih baik dari pelacur? They invited me to their bed."
Mami malah tertawa mendengar ucapan Baskara. "Kenapa kamu gak mau? Hmm? Karena mereka bukan kind of women yang bisa kamu atur—"
"Because they are not virgin in the first place." Lanjutnya, "and please. Go now." ***
Setelah perkataan pedas yang Alana terima tadi, ia benar-benar kehilangan moodnya hari ini. Rasanya ia ingin segera pulang, namun Baskara sialan itu terus mengulur-ngulur waktu dan melarangnya.
"Bas, aku mau pulang." ucap Alana untuk yang kesekian kalinya sore ini.
72Baskara terlihat mengambil nafas panjang, ia bangkit dari kursi kerjanya dan menghampiri Alana yang sudah sangat rapih. "Kamu beneran mau pulang sekarang?"
"Iya."
Harusnya hari ini menjadi menyenangkan bagi Baskara, tapi keluarga yang super menyebalkan itu merusak semuanya. Termasuk mood Alana, bahkan Baskara bisa dengan jelas melihat mata gadis itu yang sembab karena habis menangis.
"Aku minta maaf..." kata Baskara.
Alana mengalihkan pandangannya, enggan menatap lelaki itu. "Tolong jangan seret aku ke dalam sesuatu yang bukan bagian dari kesepakatan kita." lanjutnya, "Aku gak mau berurusan dengan keluarga kamu, Baskara."
Baskara tau Alana tidak menyukai hal ini, tapi semuanya sudah terjadi dan sialnya tidak berjalan seperti yang Baskara rencanakan.
"Iya, aku tau."
"Aku tau batasan aku Baskara, aku disini juga bukan sebagai teman, pacar atau apapun yang memiliki hubungan sungguhan dengan kamu. I'm here because you need my body, dan aku sangat mengerti batasan aku." Alana terdengar sangat frustasi ketika mengucapkan kalimat itu. Sungguh pengalamannya berurusan dengan keluarga Erza sudah sangat menyakitkan dan ia tidak ingin terjadi lagi sekarang.
Alana hanya mendapatkan suatu rengkuhan erat dari Baskara. "I'll make sure everything gonna be fine. And you'll be alright."
"Aku gak mau terseret sama sekali—" "I promise."
Kali ini Baskara tidak main-main dengan ucapannya. Ia akan memastikan jika Alana baik-baik saja tanpa gangguan apapun dari keluarganya.