LIMA
Alana terbangun karena jemari Baskara yang bergerak lincah diantara pangkal pahanya.
"Oops, i didn't mean to wake you up." Kata Baskara. Tentu saja Alana tau jika lelaki itu berbohong, pasti Baskara sengaja melakukan itu semua untuk membangunkannya.
Tangan Alana menahan pergerakan Baskara pada tubuhnya. "Pak, sakit."
Sungguh rasanya masih sangat nyeri. Alana tidak pernah menyangkan akan sesakit ini. Semalam Baskara benar-benar seperti sosok monster menyeramkan, lelaki itu mengacuhkan semua rintihan dan permintaan Alana untuk berhenti. Hingga akhirnya wanita itu hilang kesadaran dan tidak tau kapan permainan Baskara berakhir.
Baskara menghela napas. "Fine. Sekarang kamu mandi, saya tunggu di meja makan karena ada yang ingin saya sampaikan."
Alana hanya mengangguk. Ia tidak menatap Baskara yang bangkit dari kasur dan mencari pakaiannya, itu sangat canggung. Wajah Alana merona karena melihat lelaki itu yang naked dengan sangat jelas. Ia masih belum terbiasa dengan ini.
Sepeninggalan Baskara, Alana belum juga bergegas untuk mandi. Ia masih bergelung di kasur empuk ini sambil melamun. Yang terjadi padanya semalam sangat memalukan. Keputusan Alana membawa satu lagi kenyataan jika ia menjual kesuciannya demi pundi-pundi rupiah. Alana tau ini sangat salah, namun disisi lain wanita itu juga membutuhkan uang Baskara. Bukan untuknya, tapi untuk kesehatan Ibu yang utama.
Airmata Alana mengalir bukan hanya disebabkan oleh perjalanan menuju kamar mandi Baskara terasa sangat jauh dan ia kesulitan berjalan karena menahan perih di selangkangannya. Tapi juga karena rasa menyesal yang memenuhi dadanya. Sialan! Kenapa kamar Baskara harus sebesar ini sih?
Bahkan ukuran kamar mandi saja jauh lebih luas dari kamar tidur Alana. Lantai marmer mengkilap, bath up berukuran besar serta cermin yang membentang luas benar-benar membuat Alana iri. Ini hanya tempat untuk mandi dan buang air, kenapa harus dibuat sangat bagus?
Di cermin yang besar ini, Alana menatap pantulan dirinya yang polos. Ia merasa bukan sosok yang sama lagi sekarang. Apalagi melihat jejak yang ditinggalkan Baskara, membuat ingatannya kembali pada kegiatan mereka semalam.
Alana tidak lagi suci dan polos. Ia menjual kehormatannya hanya demi uang.
Berapa kali pun ia membersihkan diri di bawah guyuran shower, Alana tidak bisa menampik kenyataan jika ia sudah kotor.
18
Sudah lima belas menit Alana selesai mandi tetapi ia masih berdiam diri dan menatap pantulannya pada cermin. Dress satin yang menempel pada tubuhnya ini cantik dan membuat Alana merasa seperti bukan dirinya.
Suara gedoran pintu membuat Alana terlonjak, dengan cepat ia segera membuka pintu dan mendapati sosok Baskara dengan wajah yang tidak bersahabat di hadapannya.
"Kenapa lama banget? Kamu mau saya susul kesini terus lanjut yang semalam, gitu?" Tanya Baskara sinis.
Alana menggeleng cepat. "E-enggak. Aku tadi lagi eng...maaf." hanya itu yang bisa Alana ucapkan karena ia masih dihantui rasa takut karena Baskara.
"Tck! Yaudah ayuk sarapan, saya mau ngomong."
Dasar lelaki brengsek! Kenapa Baskara tidak membantu Alana sih? Alana benar-benar kesulitan untuk berjalan.
Akhirnya setelah menahan rasa sakit, Alana sampai di meja makan Baskara. Lelaki itu sudah menyiapkan roti panggang beserta susu sebagai menu sarapan. Dan juga, beberapa dokumen yang tertara dengan rapih.
Baskara sarapan dengan hikmat dan tidak berbicara sama sekali. Oleh karena itu sarapan pagi ini tidak terlalu memakan banyak waktu.
Alana menatap Baskara yang berjalan ke ruang tamu dan mengambil sesuatu. Sebuah paperbag berwarna putih dengan logo yang familiar. Lelaki itu mengeluarkan dus ponsel dan juga laptop secara bersamaan.
"Ini ponsel untuk kamu. Ada MacBook juga dan kunci mobil." Ucap Baskara.
"M-mobil? Untuk?"
"Untuk kamu. Sebagai imbalan kegiatan kita yang semalam."
Pipi Alana merona, hatinya teriris mendengar perkataan itu. Jadi ia sekarang sudah resmi jadi perempuan bayaran ya?
"Saya belum butuh mobil, Pak. Jadi disimpan aja dulu."
"Hmm? Yakin?"
"Iya. Soalnya saya juga gak mau membuat orang tua saya curiga."
Baskara mengangguk. Tidak hanya disitu, Baskara kembali mengeluarkan sesuatu lagi. "Ini pil kontrasepsi, kamu harus minum setiap hari. Setiap tanggal 5, kamu akan di cek kesehatannya. Hanya untuk menghindari hal yang gak diinginkan."
Alana hanya manggut-manggut mendengarkan ucapan Baskara.
19"Saya juga sudah suruh orang untuk memilihkan universitas mana aja yang program pasca sarjana nya bagus. Atau kalau kamu punya pilihan sendiri bisa langsung kasih tau saja."
Baskara terus berbicara namun Alana tidak tau harus merespon apa, oleh karena itu ia hanya menunduk.
"Setahu saya kamu gak bisu." Alana langsung mengangkat kepala untuk menatap Baskara.
"Y-ya?" Jawabnya takut-takut.
Lelaki itu bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah belakang Alana. Sungguh kali ini Alana sangat ketakutan, ia menautkan jemarinya dengan erat.
"Kenapa kamu gak jawab omongan saya?!" Alana meringis, ia bukan hanya terlonjak karena bentakan Baskara tapi juga karena lelaki itu yang menarik rambutnya dengan kasar.
"M-maaf, Pak. Saya gak tau harus jawab apa..."
Baskara menggeram kesal. Ia sudah berusaha fokus dan tidak terdistraksi pada tubuh Alana yang dibalut gaun satin itu, namun yang dirinya dapat malah sikap acuh Alana.
"Kamu buat saya marah.." Baskara membebaskan rambut Alana dan berjalan ke arah sofa berwarna abu yang ada di ruang tamu.
Alana membuntuti dari belakang sambil berbisik. "Maaf..." "Sini."
Jantung Alana sudah sangat berdebar, apalagi ketika Baskara menarik tubuhnya untuk duduk diatas pangkuan lelaki itu.
"Be a good girl. Oke sayang? Do what i said." Bisik Baskara. Alana mengangguk dengan cepat karena tidak mau membuat lelaki itu kesal lagi.
Baskara sangat terpana dengan tubuh Alana. Memang ia tidak memiliki dada besar nan menggiurkan atau kulit seputih kapas, namun wanita ini sangat...sederhana dan memuaskan. Sampai Baskara tidak bisa menahan diri untuk segera menyatukan tubuh mereka lagi. Menikmati Alana yang kaku dan tidak berpengalaman mencoba bergerak di atas tubuhnya. Kembali meneriaki nama Baskara dan memohon untuk berhenti.