DUA PULUH DELAPAN
Baskara benar-benar gusar di perjalanan menuju rumah sakit yang Davin maksud. Pikirannya masih melayang, tenggelam oleh kata-kata sahabatnya itu yang sangat mencengangkan.
Bagaimana bisa Alana hamil? Maksudnya, Baskara yakin jika dirinya dan Alana bermain aman. Ia selalu mengingatkan Alana untuk meminum pil kontrasepsinya, lalu mereka juga mengecek kesehatan secara berkala. Tapi kenapa masih terjadi?
Perjalanan menuju rumah sakit akhirnya selesai, Davin menunggu Baskara di lobby utama dengan ekspresi yang sulit digambarkan. Dengan langkah cepat, Baskara menghampiri lelaki itu dan siap membrondongnya dengan sejuta pertanyaan.
"Lo yakin sama ucapan lo?" Tanya Baskara.
Mereka berjalan beriringan dengan tujuan yang sudah Davin tentukan. "Gue denger sendiri. Dokternya teman kuliah gue dulu."
Baskara memelankan langkahnya dan menatap Davin lekat. "Are you sure?"
"Buat apa gue bohong? Atau lo mau ketemu sama dokter yang gue maksud?
"Tentu. 30 menit lagi gue akan temuin dia, but first i wanna talk to her."
Davin menunjuk pintu yang berada di sebelah kirinya dengan nomor kamar yang tertera jelas. Itu adalah kamar inap Alana. "Gue sudah awasi dari tadi dan kebetulan gak ada yang jaga dia di dalam."
Baskara hanya mengangguk, tanpa ragu kakinya melangkah mantap memasuki kamar Alana.
Sebenarnya apa yang Baskara harapkan dari seseorang yang habis menjadi korban tabrak lari? Tentu Alana bukan manusia super, oleh karena itu wajah dan tangannya penuh dengan luka yang masih memerah. Oh dan jangan lupakan perban yang melilit sempurna di lengan Alana.
Tapi Baskara tidak membayangkan akan separah ini. Alana terlihat sangat mengenaskan dengan luka-luka itu.
"Alana..." panggil Baskara yang hanya mendapatkan tatapan tanpa ekspresi dari Alana.
"I heard you—"
"Why you do this to me?" Meski pelan, Baskara bisa mendengar jika suara Alana bergetar.
Baskara belum sempat mengatakan apapun saat Alana kembali bersuara. "Kamu mau aku pergi, aku pergi. Kamu mau aku begini, begitu, apapun aku lakukan. Tapi kenapa kamu giniin aku?"
"Bulan depan aku sidang terakhir Baskara dan sekarang tangan aku patah. Apa aku sejahat itu sampai kamu—"
100
"Itu bukan aku, Alana. Aku gak melakukan apapun."
Alana sedikit terkejut, namun ia malah mendecih dan kembali mengatakan sesuatu. "But the worst part
is...aku hamil. Padahal kamu bilang we are safe, tapi apa?"
Sungguh perkataan Alana benar-benar membuat Baskara bungkam. Ia tidak tau harus mengatakan atau merespon apa atas semua ucapan Alana. Terlalu banyak benang kusut di pikirannya yang belum mampu Baskara urai menjadi untaian kata.
"Aku minta maaf..."
Perkataan bodoh dan paling pengecut yang pernah Baskara ucapan di saat seperti ini. Ia sangat sungguh- sungguh dan juga menyesal dengan apa yang terjadi pada Alana.
"Aku juga minta maaf karena keputusan aku untuk menggugurkan anak ini sudah bulat. Aku gak mau terikat dalam hubungan apapun dengan kamu." Kata Alana dingin.
Baskara seperti dejavu. Ini kedua kalinya ia mendengar perkataan yang serupa dari orang berbeda. Dulu, Angellica (Ibu kandung Vanessa) juga mengatakan hal yang hampir sama yaitu ingin menggugurkan Vanessa. Saat itu Baskara bersikukuh melarangnya, hingga akhirnya Vanessa lahir di dunia dengan sehat. Namun kehadiran Vanessa harus dibayar dengan kepergian Angel yang merasa tidak siap dengan semua ini. Apalagi usia mereka masih 19 tahun kala itu.
Dan sekarang Alana juga ingin melakukan hal yang sama tapi bedanya Baskara seperti tidak berdaya untuk menahan gadis itu.
"Aku akan tanggung jawab Alana." Baskara berjalan mendekati ranjang Alana, namun respon gadis itu sangat di luar dugaan.
Alana meninggikan suaranya, menekan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. "Stop! Jangan dekat- dekat aku lagi, aku gak mau. Dan aku juga gak butuh tanggung jawab kamu."
"Alana..."
"Pergi! Ngapain disini? Kamu kan yang bilang sendiri kalau gak mau lihat aku lagi? Kamu sendiri yang bilang aku menjijikan? Yaudah sekarang pergi."
"Dengerin aku dulu..."
Tidak ada ucapan yang keluar lagi dari mulut Alana, gadis itu langsung memunggui Baskara dan menulikan telinganya. Sungguh rasanya sesak sekali melihat lelaki itu lagi setelah semua yang telah terjadi.
Semua kata-kata yang Alana ucapkan adalah bentuk perasaan yang memenuhi dadanya. Alana tidak pernah merasa begitu lega namun juga bergemuruh secara bersamaan.
Kali ini, Alana benar-benar sudah tidak ingin memiliki hubungan apapun dengan lelaki kejam seperti Baskara. Ia sudah kapok. Mungkin jika Baskara tidak memperlakukannya seperti seorang binatang pada malam terakhir mereka bertemu rasanya tidak akan sesakit ini.
101Bermenit-menit berlalu, Alana tidak juga mendengar ada pergerakan atau tanda-tanda Baskara meninggalkan ruangannya. Bahkan hingga kini matanya mengantuk sungguhan.
Alana hampir terlelap saat mendengar suara Baskara. "Ini semua memang salah aku, Al. Sore itu aku benar-benar emosional sekali saat lihat kamu sama Erza, tanpa aku tanya kebenarannya atau aku selidiki lebih dulu. Yang ada dipikiran aku hanya kamu, kamu yang ternyata menghianati aku."
Ada jeda beberapa saat hingga Baskara kembali menyuarakan pikirannya. "Hari ini, setelah aku tau kebenarannya jika Erza, Vanessa dan juga Mami adalah dalang di balik semua itu...aku benar-benar hancur."
Alana meremat pakaiannya erat-erat. Brengsek, rasanya semakin sesak ketika ia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata Erza memang sengaja melakukan ini semua.
"Aku gak tau perasaan aneh ini dinamakan apa, tapi yang aku tau adalah perasaan aku yang terlalu erat mengikat kamu. Hingga saat ada orang lain yang mendekat, aku malah menyalahkan kamu. Bukan orang tersebut..aku menyesal."
Meski sudah mencoba sekeras mungkin, Baskara masih merasa ada sesuatu yang mengganjal. Masih ada yang belum ia sampaikan kepada Alana, namun Baskara tidak tau bagaimana caranya.
"Aku gak mau kehilangan kamu, i want you, all of you. But in the end... i just hurting you. And i'm sorry."
