30

3 0 0
                                    

TIGA PULUH
"Maksud kalian apa?" Suara Bapak terdengar sangat tajam, mengarah pada Baskara juga Alana. Karena beliau tidak mengerti apa yang sedang dua insan ini bicarakan.
Untungnya Alana sudah tidak diinfus, ia turun dari kasur dan segera menghampiri Bapak.
"Pak, udah gak usah didengarin. Emang boss aku itu lagi—"
Baskara memotong ucapan Alana. "Al, kenapa sih?"
Alana langsung naik pitam. Bisa-bisanya Baskara menanyakan hal seperti itu saat dirinya lah yang membuat masalah. "Kamu yang kenapa?"
"Aku cuman mau tepatin janji aku."
"Aku gak butuh itu semua."
Baskara dan Alana saling menatap, berdebat seakan hanya mereka berdua yang ada di ruangan ini.
"Kamu tuh keras kepala ya ternyata?" Baskara menggulung kemejanya hingga siku. Ia mengerti jika cara ini adalah cara paling licik dan mungkin juga jahat. Tapi Alana harus tau kalau Baskara hanya tidak ingin kehilangan gadis itu.
"Aku gak ngerti sama jalan pikiran kamu, Bas. Asli, kamu tuh...messed up banget."
Bapak yang kebingungan dengan perdebatan Alana dan Baskara kembali mengintrupsi. Pasalnya, beliau merasa jika hubungan mereka memang bukan sebatas atasan dan karyawan.
"Alana, sekarang kamu jelasin ke Bapak apa yang sebenarnya terjadi?"
Sungguh Alana ingin sekali meninju wajah Baskara. "Bapak gak usah dengerin dia. Lagian gimana bisa aku hamil? Aku pacaran aja enggak, keluar rumah juga jarang. Emang Pak Baskara lagi tertekan karena pacarnya—"
"Saya punya buktinya." Baskara mengeluarkan sesuatu dari sakunya, "ini adalah hasil tes jika Alana memang hamil."
Bapak mengambil kertas yang Baskara maksud, beliau tidak melihat apapun selain bahasa kedokteran yang rumit. Tapi ada satu kata yang dicetak tebal bertuliskan positive.
Ibu dan Adfar menghampiri Bapak untuk melihat kertas yang Baskara berikan, mereka sama tidak mengertinya seperti Bapak. Namun lagi-lagi, kata yang dicetak tebal itu menjadi pusat perhatian mereka.
"Baskara kita harus bicara, berdua."
Dalam hati, Baskara bersorak. Akhirnya Alana menyerah dalam perang dingin ini dan meminta berbicara empat mata.
106
Baskara tentu menyetujuinya, mengajak Alana keluar untuk membicarakan masalah ini.
Tepat di ujung lorong rumah sakit, Alana menghentikan langkahnya. Menyandarkan tubuhnya pada kaca yang menghadap ke luar.
"Kamu gila, Bas." Itu adalah kalimat pertama yang Alana ucapkan.
"I am."
"Kamu benar-benar mau membunuh aku secara perlahan ya?"
Suara Alana begitu lirih, juga mata gadis itu sudah berkaca-kaca. Perasaan puas yang semula Baskara rasakan mendadak runtuh ketika melihat semua itu.
Baskara mendekat, ia menggenggam tangan Alana namun gadis itu menarik kembalu tangannya. "Aku lakuin ini semua juga karena...aku gak mau kehilangan kamu."
Alana mendengus. "Kamu egois Baskara. Aku udah bilang kan kalau aku akan aborsi anak ini." Lanjutnya, "Kamu gak perlu khawatir, atau nanti aku akan ajak kamu supaya kamu percaya kalau aku gak akan memanfaatkan anak ini sebagai sesuatu yg menyangkut tentang kamu."
Perkataan Alana berhasil membuat dada Baskara sesak. Justru ia mengingkan hal yang sebaliknya. Baskara ingin anak itu tetap hidup bersama dirinya dan juga Alana.
"Kenapa kamu kayak gitu?"
Alana mengerang frustasi. "Apa yang kamu harapkan? Hidup bahagia selamanya, gitu? Our life its not a
fairy tale, Baskara."
"Memang bukan. Tapi aku akan berusaha untuk--"
"We don't have any reason to stay along."
Baskara menggeleng, ia melakukan sebuah tindakan implusifnya. Apalagi kalau bukan memeluk Alana erat. "I have. I love you and i need to stay with you."
Bukan hanya Alana yang membeku, namun Baskara pun sama. Bahkan ia tidak sadar jika kata-kata tersebut mengalir dengan mudah dari bibirnya. Tapi, ada satu hal yang Baskara rasakan setelah mengatakan semuanya.
Baskara merasa lega. Akhirnya, ia tau jika benang kusut di pikirannya disebabkan oleh hal ini. Baskara sudah merasakannya, namun selama ini tidak menyadarinya. Hingga hari ini tiba.
"I love you and i'm so sorry..."
Bahkan setelah berhasil mengatakan hal tersebut, Baskara ingin terus-terusan mengucapkannya di depan
Alana. Agar gadis itu percaya jika Baskara sungguh-sungguh. ***
107

Setelah berbicara dengan Baskara dan mendengar pengakuan lelaki itu yang berhasil membuat Alana tercengang, ia kembali ke kamar inap seorang diri. Memang itu permintaan Alana, ia meminta Baskara untuk tidak ikut campur atau mengambil keputusan terlebih dahulu hingga keadaannya membaik.
Alana masih terguncang, bukan hanya fisiknya yang sakit tapi psikisnya pun sama. Semuanya terlalu cepat dan tiba-tiba. Bahkan Alana masih belum bisa memastikan apakah ini sebuah kenyataan atau hanya sebatas mimpi.
Sesampainya di kamar inap, Alana langsung mendapat tatapan tajam dari Bapak. Namun, sebelum Bapak berbicara Alana terlebih dahulu membuka suara.
"Pak Bas, memang lagi dalam keadaan unwell. Tapi semuanya oke kok." Ucap Alana.
Keluarga Alana menatapnya lekat, menunggu penjelasan selanjutnya. "Hmm...aku gak hamil. Jadi kalian gak perlu khawatir."
Jantung Alana berdebar dengan sangat cepat ketika mengatakan hal tersebut. Ia tidak memikirkan bagaimana ke depannya, yang ada dibenak Alana hanya saat ini semuanya masih berjalan seperti biasa.
"Kamu yakin?" Tanya Bapak.
Alana mengangguk. "Iya, Pak. Dia atasan aku jadi--"
"Tapi kalian terlihat cukup dekat."
"Baskara sering tukar pikiran sama aku."
Meskipun keraguan masih terlihat jelas di mata Bapak, Ibu dan Adfar namun mereka mencoba percaya dengan Alana. Mereka yakin jika Alana tidak akan mengecewakan.
"Bapak cuman pesan, jangan sampai kamu salah melangkah karena bagaimana pun kamu yang akan menanggung konsekuensinya."
Ah mendengar perkataan Bapak barusan, Alana jadi ingin menangis. Bagaimana jika keluarganya tau yang sesungguhnya nanti? Apa Alana masih sanggup untuk menatap mereka?

.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang