19

0 0 0
                                    

SEMBILAN BELAS
Alana sudah membawa tas berisi pakaiannya untuk semalam serta beberapa buku dan laptop sebagai persiapannya menyusun skripsi. Meskipun harus bertemu Baskara setiap akhir pekan, gadis itu tetap menyempatkan diri untuk melaksanakan kewajibannya itu.
Ketika sampai di ruang tamu, Alana mendapatkan tatapan yang tidak biasa dari keluarganya. Ngomong- ngomong, kenapa mereka bisa berkumpul ketika Alana hendak pergi sih? Kan Alana jadi salah tingkah.
"Pak, aku izin mau nginep di rumah Jejen ya?" Alana mendudukkan diri di sampinh Bapak sambil meminta izin.
"Harus banget nginep ya, Kak? Bapak perhatiin hampir setiap weekend kamu gak pernah ada di rumah."
Perkataan Bapak membuat jantung Alana berdebar cepat. Bagaimana pun, keluarganya perlahan-lahan akan menyadari perubahan sikap Alana dan mungkin ini adalah awalnya.
"Aku kan sekarang nyambi kerja juga Pak, sama lagi sibuk nyusun skripsi juga jadi...gitu."
Ibu ikut menimpali, ucapan Alana. "Giliran Ibu udah mendingan kamu nya sibuk sendiri, Kak." suaranya terdengar kecewa.
Alana jadi merasa serba salah. Bukannya ia tidak ingin menghabiskan waktu akhir pekan bersama keluarganya, namun Alana kan sedang terikat oleh suatu perjanjian dengan Baskara. Dan ini adalah konsekuensi yang harus dirinya terima.
"Emm...yaudah minggu depan kita jalan-jalan deh, ya? Aku izin dulu sama orang kantor yang kerjaannya aku back up." Lanjut Alana, "Aku juga udah janji. Gak enak kan kalau tiba-tiba dibatalin?"
Bapak dan Ibu hanya terdiam, bahkan mereka seperti tidak mendengarkan ucapan Alana. "Gimana?" Tanya Alana lagi ketika tidak mendapatkan jawaban apapun.
Adfar tiba-tiba bangkit dan mencuri atensi. "Gak usah dipaksain, Kak. Kalau emang sekarang prioritas Kak Al udah berubah."
Alana melongo, maksudnya berubah tuh bagaimana? Padahal jika Adfar tau yang sebenarnya Alana yakin adiknya itu tidak akan mengatakan hal demikian. Ia melakukan semua itu memang dengan satu tujuan, untuk keluarganya.
"Pak? Bu?" Tanya Alana lagi. Ia berharap jika orangtua nya akan sedikit saja memasang senyum dan mengizinkan Alana, agar ia bisa sedikit tenang.
Bapak menghela nafas panjang. "Yaudah Kakak pergi aja dulu gapapa." ucapnya. Meskipun mulutnya berkata begitu, Alana yakin jika Bapak tidak benar-benar mengizinkannya pergi.
68
Alana baru saja ingin mengatakan sesuatu, namun ponselnya sudah berbunyi. Menampilkan nama Baskara yang sedang meneleponnya.
Mungkin Alana akan tetap pergi, agar ia bisa membicarakan masalah ini dengan Baskara. ***
Baskara memandang wajah Alana yang terlihat sangat murung. Sejak sampai di penthouse nya, gadis itu terlihat tidak bersemangat sama sekali. Tatapan matanya kosong dan tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Bahkan Alana tidak memakan cookies yang khusus Baskara belikan untuknya.
"You okay?" Tanya Baskara khawatir.
Alana mengalihkan atensinya dari layar laptop lalu memandang Baskara. "Hng?"
Kaki Baskara melangkah mendekati Alana yang sedang duduk di sofa. "Something wrong?"
Di dalam benaknya, Alana sedang menimbang-nimbang. Apakah ia harus mengatakan kepada Baskara tentang hal ini? Pasalnya Alana juga takut jika nanti Baskara malah marah dengannya.
Tapi setelah pergulatan panjang pada batinnya, akhirnya Alana mencoba memberanikan diri untuk berbicara.
"Baskara boleh gak kalau aku gak perlu setiap minggu ke tempat kamu?"
Baskara menyerit menatap Alana, gadis itu bicara apasih? Sungguh ia tidak bisa menangkap apa yang Alana bicarakan karena ucapannya yang terlalu cepat.
"Hah? Coba kamu ngomong pelan-pelan deh."
Alana meremat ujung kemejanya lalu menarik nafas. "Boleh gak kalau aku setiap minggu gak usah ke tempat kamu...?"
"Kalau gak setiap minggu terus kapan? Hmm?" Baskara menanyakan hal tersebut karena ia juga masih bingung dengan maksud Alana. Jika gadis itu menolak bertemu pada akhir pekan, lalu kapan lagi?
"Kapan aja. Jadi terserah kamu hehehe."
"Really?" Baskara menanyakan hal tersebut sambil menyeringai.
Wajah Alana langsung panik ketika menyadari maksud Baskara. "Tapi maksudnya tuh ya engga setiap—"
"Kapan aja. Oke, deal. Aku setuju, sebelumnya aku juga mau dengan sistem yang seperti itu. Jadi kalau aku stress dengan pekerjaan—"
Alana merengek. "Baskara...aku kan kuliah, terus sekarang juga lagi nyusun skripsi."
Sungguh ekspresi Alana benar-benar mengggemaskan. Membuat Baskara tidak bisa menahan diri untuk tersenyum dan mengecup pipi gadis itu singkat.
69

"I'm kidding. Kamu atur aja, its okay."
Wow, senyum Alana tidak pernah selebar ini karena seorang Baskara Haris. Akhirnya beban yang sedari
tadi menggelendoti pundaknya sedikit menguap karena negosiasi dengan Baskara yang berjalan lancar. "Thank you, daddy."

.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang