"Kesedihan itu seperti halnya malam hari. Kau akan larut di dalamnya, namun fajar akan terbit dan menuntutmu untuk memulai lembaran baru dalam hidupmu."
-Happy Reading-
Song recommendation
"My Eden - Yisabel (OST Gu Family Book)"
Semua orang yang berada di sana hanya menunduk saat aku berteriak. Mereka menyesal, tapi mereka tetap melakukannya. Sementara ayahku... Dia telah meregang nyawanya.
Rupanya hukuman mati yang mereka berikan pada ayahku. Aku hanya berharap jika benar ayahku tertangkap polisi, ia hanya akan mendapat hukuman penjara seumur hidup. Sehingga kami masih bisa bertemu dan saling menanyakan kabar. Namun aku berpikir salah.
Seorang laki-laki yang satu-satunya tak menunduk memandangku dari kejauhan. Pandangan kami bertemu, dengan wajah datarnya dan mata sembabku. Dia memandangku lamat-lamat, seolah sedang menelisik.
Aku tak bereaksi, dan aku merasakan bahwa aku pernah bertemu pria itu dulu. Jauh sebelum ibu tiada. Namun aku memilih untuk tidak mengingatnya.
Akhirnya perlahan pria itu menghampiriku, aku menatap kedatangannya itu.
"Kamu anaknya?" Tanya pria itu dengan paraunya.
Aku mengusap jejak air mataku kasar, lalu aku mengangguk sekali. Aku tidak tahu pasti siapa orang ini, namun sepertinya aku pernah mengetahuinya. Antara teman ibu atau ayah.
Setelah aku memberi respon anggukan, dia terlihat menengadah. Entah ia menahan air matanya atau bagaimana, ia menepuk pundakku, seperti memerintahku untuk teguh menerima kenyataan. Pria itu menyuguhkan senyum tipis yang lebih seperti senyum terpaksa.
"Kamu anak yang baik." Sepatah kalimat terakhir dari pria itu, lalu ia meninggalkanku dari sana tanpa bertindak apa pun lagi.
Mataku terfokus kembali pada ayahku yang masih menggantung di sana. Dia sudah tidak bergerak, dia pasrah di atas sana. Kesalahannya yang membawa dirinya sendiri ke tempat ini. Dia memang seorang krimal, tapi fakta lain menyebutkan bahwa dia ayahku. Mataku tak ingin lepas dari tubuh yang menggantung itu. Karena aku tahu, ini adalah kali terakhirku untuk melihat sosok ayah yang sudah bersamaku selama 12 tahun lamanya.
~~~#~~~
Aku tengah duduk di kusen jendela. Memeluk lututku sambil melihat keluar menembus kaca bening. Itulah salah satu kebiasaanku sekarang.
Jangan tanya penampilanku, jelas berantakan. Jangan tanya keadaan rumahku, jelas sepi. Jangan tanya bagaimana nafsu makanku, jelas tidak baik. Jangan tanya teman-temanku, jelas mereka semua khawatir. Jangan tanya perasaanku, jelas hancur.
Seakan bayangan hitam terus menutupi apa tujuan dari hidupku. Pikiran untuk bunuh diri tidak terlintas hanya sekali atau dua kali. Itu sering. Aku punya uang, tapi rasanya tidak ada gunanya. Seiring berjalannya waktu, aku semakin buntu dalam hal berpikir.
"Jaemin-ah!! Na Jaemin!!!"
Itu suara Haechan, yang akhir-akhir ini sering meneriaki namaku di depan rumah. Sejak berita itu menyebar, sepertinya Haechan khawatir padaku. Namun apa daya diriku yang sekarang dikuasai oleh logika. Semuanya tampak tidak berguna. Tiada orang tua, tiada orang terdekat. Seakan semuanya telah berakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
0 : 10.000.000
Fiksi Penggemar[discontinue for a while] Tuhan itu tidak adil. Begitu katanya. ©bekoberjalan