Prilly membuka matanya. Menatap Ali yang masih tidur sebentar. Lalu melepaskan tangan Ali, yang memeluk tubuhnya. Sebelum akhirnya Prilly melangkahkan kakinya, memasuki kamar mandi.
Prilly keluar dari kamar mandi. Dengan penampilan yang sudah rapih. Matanya beralih menatap Ali. Yang masih sibuk bergulat dengan selimutnya. Lalu melanjutkan langkahnya menuju meja rias. Untuk memoles wajahnya. Terutama dibagian bawah matanya, yang sedikit menghitam. Mungkin akibat kemarin, Prilly terlalu banyak menangis.
"Kamu udah bangun. Kok gak bangunin aku," ucap Ali dengan suara serak khas bangun tidurnya. Prilly meliriknya dengan ekor matanya. Lalu kembali sibuk memoles wajahnya.
"Lagian bisa bangun sendirikan. Jadi ngapain dibangunin," ucap Prilly dengan nada juteknya. Ntahlah moodnya sekarang sedang jelek. Ditambah lagi ingatan kejadian kemarin, masih berputar di otaknya. Membuat Prilly tak mood bicara pada Ali.
"Kamu marah?" tanya Ali yang membuat Prilly melirik Ali sekilas. Lalu kembali menatap cermin.
"Fikir aja sendiri," ucap Prilly datar. Membuat Ali paham. Jika Prillynya sekarang sedang marah. Ali terima perlakuan Prilly padanya. Lagian ini salahnya, yang mengingat wanita lain. Saat Prilly berada disampingnya.
"Maaf," ucap Ali lirih seraya berlutut disamping Prilly. Membuat Prilly mengubah posisinya menghadap Ali. Ada rasa tak tega, melihat Alinya seperti ini. Tapi rasa marahnya lebih berdominan, dari pada rasa tak teganya.
"Mandi gih, gue mau cepet-cepet pulang," ucap Prilly seraya melangkah ke arah ranjang. Lalu duduk ditepi ranjang. Membuat Ali memasuki kamar mandi. Sepertinya Ali harus segera bersiap-siap. Karena jam yang sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi. Itu artinya 2 jam lagi, pesawat mereka akan lepas landas.
Prilly segera menghapus air matanya. Yang ntah sejak kapan sudah menetes. Prilly tak tega bersikap seperti ini pada Ali. Tapi Prilly tak bisa melupakan kejadian di pantai kemarin. Kejadian itu sangat menyasat hatinya. Bahkan saat mengingat kejadian itu, Prilly selalu menangis. Air matanya selalu menetes tanpa aba-aba darinya.
Prilly kembali menghapus air matanya. Yang sudah mengalir cukup deras. Lalu kembali memoles wajahnya. Agar tidak terlihat bahwa dirinya habis menangis.
Ali keluar dari kamar mandi, dengan penampilan yang sudah rapih. Tatapannya jatuh menatap Prilly. Yang sedang sibuk memoles wajahnya dengan bedak. Setebal apapun bedak yang Prilly poles di wajahnya. Ali masih tetap bisa melihat jika Prilly habis menangis.
"Jadwal penerbangannya jam berapa?" tanya Prilly seraya sibuk menatap ponselnya. Prilly tak berniat menatap Ali sedikit pun.
"Sekitar jam 8," jawab Ali yang membuat Prilly mengangguk paham. Matanya Prilly fokuskan menatap layar ponselnya.
"Mau makan dulu? Masih ada waktu sebentar," tawar Ali yang membuat Prilly melirik Ali sekilas. Lalu kembali fokus pada ponselnya.
"Gak usah, langsung ke bandara aja," tolak Prilly yang dibalas anggukkan paham oleh Ali. Lalu Ali mulai menggapai kopernya dan koper Prilly. Membuat Prilly melangkah mendahului Ali. Ada rasa perih. Saat melihat Prilly kembali menjutekinya seperti dulu. Pertama menikah dengannya. Jujur perlakuan Prilly padanya benar-benar membuat Ali sedih. Tak ada Prilly yang manja. Tak ada Prilly yang aneh dan tak ada lagi Prillynya yang posesif. Sekarang hanya ada Prilly yang jutek dan dingin padanya.
Bahkan saat sudah berada didalam taksi pun tak ada obrolan, atau hal aneh yang Prilly lakukan. Hanya ada keheningan. Karena Prilly masih saja sibuk dengan ponselnya. Sedangkan Ali hanya diam. Ali bukan laki-laki yang pandai membujuk wanita, agar mau memaafkannya.
Prilly langsung turun dari taksi. Saat sudah sampai di depan bandara. Lalu memasuki bandara, yang diikuti Ali dari belakang. Bahkan gadis mungilnya tak menggandeng tangannya, atau bergelayut manja di lengannya. Seperti yang biasa gadis itu lakukan padanya. Rasanya hati Ali terasa tertusuk belatih. Ali rindu Prillynya yang manja dan posesif. Ali tak suka Prillynya yang seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dosen My Love [Sold Out + Habis Kontrak]
Romance"Nanti malam gue ke rumah lo," ucap seseorang, yang berhasil menghentikan langkah kaki Prilly. "Kalo ada masalah, Bapak bicara saja di sini. Jangan ke rumah saya," ucap Prilly dingin, sambil menatap dosennya kesal. "Saya mau melamar kamu. Saya tahu...