Chapter 1.2

124 4 4
                                    

Sang biduan menyelesaikan lagunya. Sedikit memiringkan kepala, diulangnya kembali reffrain balada itu pada kecapinya, lemah lembut, nadanya sedikit lebih tinggi daripada murid yang mengiringinya.

Tak ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Tiada sesuatu pun kecuali musik yang menghanyutkan dan daun yang berbisik serta dahan pohon yang derak suaranya dapat didengar. Lalu, secara tiba-tiba, seekor kambing yang diikat pada salah satu gerobak yang mengelilingi pohon kuno mengembik panjang. Pada saat itu, seolah ada yang memberi sinyal, salah satu pria yang di antara penonton yang duduk melingkar itu berdiri. Melemparkan jubahnya yang berwarna biru kobalt dengan kepangan emas di bahunya, dia membungkuk tegas penuh wibawa.

'Terima kasih, Master Jaskier,' ujarnya. Suaranya bergema namun tak keras. 'Izinkan aku, Radcliffe dari Oxenfurt, Master Arkana, untuk menyampaikan apa yang kuyakini sebagai pendapat orang-orang yang hadir di sini dan mengutarakan ucapan terimakasih dan penghargaan akan bakat kesenianmu.'

Sang penyihir menyapukan pandangannya melewati mereka yang berkumpul – kerumunan penonton sekitar lebih dari seratus orang – yang duduk di atas tanah, di atas gerobak, atau berdiri dan membentuk setengah lingkaran menghadap kaki pohon ek. Mereka mengangguk dan saling berbisik. Beberapa orang mulai bertepuk tangan selagi yang lainnya melambaikan tangan mereka pada si penyanyi. Para wanita, tersentuh oleh musik, terisak dan menyeka air mata mereka dengan apapun yang mereka pegang, yang berlainan tergantung status sosial, profesi, dan kekayaan mereka: wanita jelata menggunakan lengan atau punggung telapak tangan mereka, istri pedagang menyeka mata mereka dengan sapu tangan linen atau katun jahitan kualitas terbaik, dan ketiga putri Baron Vilibert, bersama para pengikutnya, menghentikan perburuan elang mereka demi menghadiri penampilan sang biduan kenamaan, menghembuskan hidung mereka keras-keras dan nyaring-nyaring kepada selendang kasmir hijau lumut.

'Tidaklah berlebihan untuk mengatakan,' lanjut sang penyihir, 'bahwa kau telah menggerakkan kami, Master Jaskier. Kau telah mengajak kami merenung dan berpikir; kau menyentuh hati kami. Izinkan aku untuk menunjukkan rasa terima kasih dan rasa hormat kami.'

Sang biduan berdiri dan membungkukkan badan, menyapukan bulu burung kuntul yang tersemat pada topi bergayanya kepada lututnya. Muridnya menghentikan permainan musiknya, menyeringai dan turut membungkuk, hingga Jaskier memelototinya dan membentaknya perlahan. Anak lelaki itu menundukkan kepala dan kembali memetik dawai kecapinya dengan perlahan.

Kerumunan itu mulai hidup. Para pedagang yang berkeliling dengan karavan saling berbisik dan menurunkan gentong bir yang besar menuju kaki pohon ek itu. Radcliffe Sang Penyihir larut dalam perbincangan bersama Baron Vilibert. Setelah menghembuskan hidung mereka, putri-putri sang baron memandang kagum pada Jaskier – yang samasekali tak disadari oleh sang biduan, sedang asyik tersenyum, mengedip, dan memamerkan giginya pada sekumpulan elf pengelana yang hanya diam, khususnya pada salah satu dari mereka: elf cantik berambut gelap dan bermata besar, mengenakan topi bulu cerpelai kecil. Jaskier memiliki saingan akan perhatian si elf perempuan – si elf, dengan mata besar dan topi hijau yang indah, menjadi perhatian penontonnya pula, dan beberapa kesatria, pelajar dan juru tulis memperhatikannya dengan mata mereka. Si elf perempuan jelas menikmati perhatian itu, memainkan renda kerah tangan gaunnya dan mengayunkan bulu matanya, namun sekumpulan elf yang bersamanya mengelilinginya dari segala sisi, samasekali tak menyembunyikan antipati kepada para pengagumnya.

Naungan Bleobheris, pohon ek agung itu, adalah tempat perkumpulan, tempat persinggahan yang terkenal di antara para pedagang dan tempat pertemuan bagi para pengembara, dan terkenal akan toleransi dan keterbukaannya. Para druid yang melindungi pohon kuno ini menyebutnya Kursi Persahabatan dan secara sukarela menyambut para pendatang. namun bahkan dalam peristiwa istimewa seperti penampilan biduan kenamaan dunia yang baru selesai, para pengelana tetap dalam posisi masing-masing, tetap berada dalam kelompoknya sendiri. Elf tetap bersama para elf. Para dwarf bergabung bersama sesamanya, yang kerap digunakan jasanya untuk melindungi kereta para pedagang, mereka bersenjata lengkap. Kelompok mereka hanya menoleransi gnome penambang dan petani halfling yang berkemah di sebelah mereka. Semua kaum nonmanusia secara seragam menjauhi para manusia. Kaum manusia membalasnya dengan berbaik hati, namun mereka sendiri juga tak membaur. Para bangsawan memandang rendah para saudagar dan pedagang keliling dengan kebencian yang terbuka, sementara para tentara dan prajurit bayaran menjauhkan diri mereka dari penggembala dan kulit domba mereka yang bau. Beberapa penyihir dan murid mereka menjauh dari yang lain, dan menampilkan arogansi mereka pada semua orang dengan adil. Kumpulan rakyat jelata yang bergerombol berkeliaran di balik semua itu. Tampak seperti hutan rimba dengan garpu kayu dan garu serta cambuk yang menonjol di atas kepala mereka, mereka semua diabaikan oleh semua orang.

The Witcher Book 3 - Blood of ElvesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang