Chapter 2.2

63 2 2
                                    

Dia berubah. 

Dia nampak mengalami penuaan. Triss tahu bahwa, secara biologis, ini tak mungkin – para witcher bertambah tua, itu jelas, namun sangat lambat dibandingkan makhluk fana biasa, atau seorang penyihir semuda dirinya, untuk menyadari perubahannya. Namun sekilas pandang sudah cukup baginya untuk menyadari bahwa walaupun mutasi menahan proses penuaan fisik, namun samasekali tak mengubah penuaan kejiwaan. Wajah Geralt, ditebas oleh keriput, adalah bukti nyata. Dengan rasa duka mendalam, Triss mengalihkan pandangannya dari mata sang witcher berambut putih. Mata yang terbukti telah melihat terlalu banyak hal. Apalagi, dia tak melihat apapun yang diharapkannya pada mata itu.

'Selamat datang,' ulangnya. 'Kami senang kau datang.'

Eskel berdiri di sebelah Geralt, terlihat serupa dengan sang Serigala layaknya seorang saudara, kecuali warna rambutnya dan bekas luka memanjang yang merobek pipinya. Dan yang termuda dari para witcher, Lambert, berada di sana dengan raut wajahnya yang biasa, mengejek dan terlihat jelek. Vesemir tak ada di sana.

'Selamat datang dan masuklah,' ajak Eskel. 'Di sini sangat dingin dan tegang seolah ada orang yang gantung diri. Ciri, mau kemana kau? Ajakan ini tak berlaku padamu. Matahari masih tinggi, walaupun kabur. Kau masih bisa berlatih.'

'Hei.' Sang Pemikat mengibaskan rambutnya. 'Kelihatannya kesopanan kini barang murah di Benteng Witcher sekarang. Ciri adalah yang pertama menyambutku, dan membawaku kemari. Dia harus menemaniku –'

'Dia sedang berlatih di sini, Merigold.' Lambert berpura-pura tersenyum. Dia selalu memanggilnya demikian; "Merigold", tanpa memberinya titel ataupun nama. Triss membenci itu. 'Dia adalah murid, bukan seorang pengiring. Menyambut tamu, walaupun menyenangkan seperti dirimu, bukanlah tugasnya. Kita pergi, Ciri.'

Triss mengedikkan bahu, berpura-pura tak menyadari raut muka Geralt dan Eskel yang malu. Dia tak mengatakan apapun, tak ingin mempermalukan mereka lebih jauh. Dan di atas segalanya dia tak ingin mereka melihat betapa dirinya kagum akan anak perempuan itu.

'Akan kubawa kudamu,' Geralt menawarkan, meraih tali kekang. Diam-diam Triss menyelipkan tangannya dan telapak tangan mereka bersatu. Bergitupun mata mereka.

'Aku ikut denganmu,' ujarnya. 'Ada beberapa hal kecil di dalam tas sadel itu yang akan kuperlukan.'

'Beberapa waktu yang lalu, kau memberikan pengalaman yang tak mengenakkan untukku,' gumamnya begitu mereka memasuki kandang kuda. 'Aku mempelajari batu nisanmu yang mengesankan dengan mataku sendiri. Tugu pengingat akan kematian heroikmu di pertempuran Sodden. Berita bahwa itu adalah sebuah kesalahan baru saja kudengar. Aku tak paham bagaimana bisa orang salah mengenalimu, Triss.'

'Ceritanya panjang,' jawabnya. 'Akan kuceritakan padamu nanti. Dan maafkan aku atas momen tak mengenakkan itu.'

'Tak ada yang perlu dimaafkan. Aku tak punya banyak alasan untuk senang akhir-akhir ini dan perasaan yang kurasakan ketika mendengar kau hidup tak bisa dibandingkan dengan yang lainnya. Kecuali mungkin apa yang kini kurasakan saat melihatmu.'

Triss merasakan sesuatu meledak dalam dirinya. Rasa takutnya untuk bertemu dengan sang witcher berambut putih, yang telah menemaninya di sepanjanng perjalanannya, bergolak di dalam dirinya dengan harapan akan pertemuan itu. Diikuti oleh pemandangan akan wajah yang lelah, mata yang sakit yang melihat segalanya, dingin dan penuh perhitungan, yang tenang dengan cara yang tak biasa namun begitu penuh emosi...

Dia menghamburkan tangannya melingkari lehernya, dengan segera, tanpa berpikir. Dia meraih tangan Geralt dan meletakannya di tengkuk lehernya sendiri, di bawah rambutnya. Gelitik mengaliri punggungnya, menusuknya dengan gairah, dia hampir mendesah keras. Demi menahan desahan itu bibirnya menemui bibir Geralt dan menempel erat. Triss gemetaran, memeluk Geralt kencang, nafsunya membuncah, semakin lupa diri.

The Witcher Book 3 - Blood of ElvesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang