Chapter 1.3

104 5 2
                                    

'Hei, pengamen,' ujar Mama Lantieri, memasuki kamar itu tanpa mengetuk, aroma bunga hyacintus, keringat, bir dan bacon asap menguap di hadapannya. 'Kau punya tamu. Masuklah, tuan yang terhormat.'

Jaskier merapikan rambutnya dan duduk di atas lengan kursi yang diukir. Dua gadis yang duduk di pangkuannya bangun dan menutupi bagian tubuh mereka dan menarik pakaian mereka yang kusut masai. Sopan santun pelacur, pikir sang penyair, tak buruk untuk dijadikan judul lagu. Dia berdiri, mengencangkan ikat pinggang dan menarik dobletnya, selagi memandangi pria yang berdiri di ambang pintu.

'Benar,' ujarnya, 'kau tahu bagaimana caranya menemukan diriku dimanapun, walaupun kau jarang sekali memilih waktu yang layak. Kau beruntung aku belum memutuskan yang mana dari dua gadis cantik tadi yang aku mau. Dan mengikuti hargamu, Lantieri, aku tak bisa membayar mereka berdua.'

Mama Lantieri tersenyum simpatik dan menepukkan kedua tangannya. Kedua gadis itu – orang kepulauan yang berkulit indah dan berwajah bercak serta seorang setengah elf berambut hitam – dengan cepat meninggalkan ruangna. Pria di pintu melepaskan tudungnya dan menyerahkannya pada Mama bersama kantong kecil yang terisi penuh oleh uang.

'Maafkan aku, Master,' ujarnya, mendekati meja dan langsung duduk nyaman. 'Aku tahu ini bukan saat yang tepat untuk mengganggumu. Tapi kau menghilang dari bawah pohon ek dengan cepat... aku tak sempat menyusulmu di Jalan Raya seperti yang kumaksudkan dan tidak dengan segerak menemukan jejakmu di kota kecil ini. Aku takkan banyak menyita waktumu, percayalah padaku –'

'Mereka selalu mengatakannya, dan itu selalu sebuah kebohongan,' tukas si biduan. 'Tinggalkan kami, Lantieri, dan pastikan kami tak diganggu. Aku mendengarkan, sir.'

Pria itu meneliti Jaskier. Matanya gelap dan lembab, hampir basah. Hidungnya mancung dan bibir sempitnya jelek.

'Aku akan langsung ke intinya tanpa membuang-buang waktumu,' tegasnya, menunggu pintu tertutup oleh Mama. 'Lagu-lagu baladamu membuatku tertarik, master. Terutama, tokoh - tokoh tertentu yang kau nyanyikanlah yang membuatku tertarik. Aku penasaran dengan nasib sebenarnya dari tokoh-tokoh dalam lagumu. Jika aku tak salah, takdir sebenarnya dari orang-orang nyata yang menginspirasi lagu indah yang kau nyanyikan di bawah pohon ek? Aku membayangkan ... Cirilla kecil dari Cintra. Cucu Ratu Calanthe.'

Jaskier memandangi loteng, mengetuk-ketukkan jari-jarinya di atas meja.

'Tuan yang terhormat,' ujarnya kering, 'kau tertarik akan perihal yang tak biasa. Kau menanyakan pertanyaan yang tak lazim. Sesuatu mengatakan padaku kau bukan orang yang tadinya kukira.'

'Dan kau pikir siapa aku ini, kalau boleh bertanya?'

'Aku tak yakin kau boleh bertanya. Tergantung apakah kau akan menyampaikan salam padaku dari orang yang sama-sama menjadi teman kita. Tadi seharusnya kau sampaikan, tapi entah kenapa kau lupa melakukannya.'

'Aku samasekali tak lupa.' Pria itu meraih kantung di bagian dada tunik beledunya yang berwarna abu-abu kecoklatan dan menarik kantung uang yang agak lebih besar daripada yang diberikannya pada sang mucikari, namun sama penuhnya, yang berdenting begitu menyentuh meja. 'Kita tak memiliki teman yang sama, Jaskier. Namun mungkinkah kantung ini menutupi kekurangan itu?'

'Dan apa yang ingin kau beli dengan kantong kecil ini?' rutuk sang pujangga. 'Seisi rumah bordil Mama Lantieri dan semua tanah di sekelilingnya?'

'Katakanlah aku hendak menyokong seni budaya. Dan seorang seniman. Demi berbincang dengan sang seniman tentang karyanya.'

'Kau begitu mencintai kesenian, bukan begitu, sir? Begitu pentingnya bagimu untuk bicara pada seorang seniman hingga kau memaksakan uang padanya sebelum kau memperkenalkan diri, dan dalam prosesnya, melanggar peraturan paling mendasar tentang sopan santun?'

The Witcher Book 3 - Blood of ElvesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang