Part 8

161 26 24
                                    

Namgyeong, 972

Handong duduk di aula bersama beberapa orang lainnya. Seorang wanita berusia akhir dua puluhan, dua orang ahjussi, dan seorang wanita paruh baya. Ia tidak tahu mengapa ia disuruh datang ke tempat itu setelah sarapan.

Itu adalah sebuah bangunan panggung terbuka dengan delapan tiang yang berhadapan langsung dengan kolam teratai. Ukurannya besar dan terletak tepat di tengah rumah bagian dalam. Udara pagi yang dingin berhembus mengusik kulitnya, namun tak satupun selain dirinya yang merasa terganggu.

SuA datang tak lama kemudian dengan seorang pelayan di belakangnya yang membawa segunung buku. Pelayan itu meletakkan masing-masing satu tumpuk di atas meja setiap orang. Handong melihat buku yang diletakkan di atas mejanya dan mengernyit heran melihat judul buku tersebut. Itu adalah buku-buku empat kitab dan lima klasik yang menjadi pelajaran dasar di tempatnya dulu. Mengapa memberikan ini jika ingin mengajari sihir? Ia tidak sedang dibodohi kan? SuA tidak sedang mengolok-olok dirinya karena percaya sihir kan?

"Agassi! Apa ini?" Tanyanya protes sambil mengangkat salah satu dari empat kitab. "Bukankah kau akan mengajarkanku sihir?"

"Baca saja!" Kata wanita paruh baya yang duduk tepat di sampingnya.

"Perkenalkan, siswa baru yang akan mulai belajar bersama kita hari ini," SuA memperkenalkan Handong pada orang-orang yang ada disana. "Kalian bisa memanggilnya Handong."

"Gongju-nim!" Handong segera meralat. "Aku lebih suka dipanggil gongju-nim."

"Aah! Gongju-nim?" SuA mengulangnya dengan nada mengejek. "Mereka yang ada disini semua adalah seniormu. Mereka bahkan telah mulai belajar ketika ayahku masih ada. Kau ingin mereka memanggilmu dengan cara yang hormat?"

"Gongju juga tidak apa," Handong mengembalikan buku itu ke dalam tumpukan. "Tapi mengapa kami harus membaca hal-hal seperti ini saat yang ingin kupelajari adalah sihir."

"Gongju-nim! Jika kau ingin mempelajari sihir, maka kau harus memulainya dari sini!" SuA menunjuk kepalanya. "Kau harus berpikiran terbuka dan bijak agar tidak menyalahgunakan apa yang kau miliki."

Handong mengangguk. Sedikit masuk akal mengapa mereka harus mempelajari empat kitab dan lima klasik. Tapi ... "Aku sudah mempelajarinya sejak kecil. Apa aku masih harus membacanya?"

"Justru kau harus membacanya jika berpikir telah mempelajarinya sejak kecil. Kau sama sekali tidak memiliki kerendahan hati," ujar SuA. "Sekarang, aku akan pergi dulu. Jika ada yang ingin ditanyakan, Jung Shik ada disini."

SuA menunjuk pelayan yang tadi ikut bersamanya, kemudian pergi dari aula itu.

Menyadari bahwa SuA tak akan tinggal untuk mengajarinya, Handong tak lagi memiliki minat. Masa bodoh dengan sihir atau semua buku-buku itu. Ia hanya ingin dekat dengan SuA. Setidaknya hanya melihat, ia sudah cukup senang.

Ia segera bangkit dan mengejar SuA sebelum gadis itu pergi jauh. Ia tiba tepat waktu sebelum gadis itu mencapai tandunya.

"Agassi! Kau mau kemana? Apa aku boleh ikut?" Tanyanya sambil terengah.

"Kau mau ikut?" Sebenarnya ia tidak masalah Handong ikut dengannya. Juga tidak apa jika Handong tak ingin belajar. Sihir bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan untuk dipelajari. "Bukankah kau harus belajar? Aku akan pergi ke kantor hakim."

Kantor hakim. Handong tahu ia tidak bisa pergi kesana. Ia sedang melarikan diri. Ia akan ditangkap dan diseret ke Gaegyeong jika orang-orang pemerintahan melihatnya.

"Aku hanya ingin belajar darimu. Aku tidak terlalu suka dengan tatapan pria yang mengajar itu," Handong beralasan.

"Dia hanya mengawasi. Ia tidak mengajar disana," SuA membungkuk sedikit untuk menyamakan titik pandangnya dengan Handong. Sambil mengusap kepala Handong, ia bicara lagi. "Jika kau tidak ingin belajar, kau bisa ikut denganku, Gongju-nim."

The Last WolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang