Part 17

113 23 12
                                    

Seoul, 2020

"YA!" Terdengar teriakan SuA dari lantai dua. Menilai dari intonasinya, sepertinya ia merasa kesal. Padahal ia yang datang untuk mengganggu Si Yeon yang sedang mengerjakan kewajiban kampusnya, tapi malah dia yang merasa kesal.

"Bahkan di rumah sebesar ini, suaranya masih terdengar kemana-mana," ledek Handong. "Tidak heran dulu dia tinggal jauh di hutan."

Handong sedang memanaskan air untuk membuat ramyeon yang diminta Ga Hyeon di dapur ketika ia mendengar suara menggelegar itu. Makan malam sudah berlalu, akan tetapi gadis itu sepertinya masih merasa lapar. Tidak heran, ia sedang dalam masa pertumbuhan.

"Eonni! Jangan menghina eomma hanya karena dia tidak menyukaimu!" Protes Ga Hyeon yang sedang menumpukan dagunya di meja konter, menantikan makanannya selesai namun merasa bosan karena itu lama sekali.

"Eoh? Kupikir kau berada di pihakku!" Handong pura-pura cemberut untuk bermain-main dengan Ga Hyeon. Bagaimanapun juga gadis itu balum lama terlahir. Ukuran tubuhnya mungkin besar, tapi tingkahnya masih seperti anak kecil. Ia hanya ingin makan, bermain, dan dimanja. Setidaknya Ga Hyeon tidak perlu diganti popoknya setiap saat. Kemudian ia langsung tersenyum sebelum Ga Hyeon sempat menyahut lagi. "Tetapi itu tidak benar. Agassi bukannya tidak menyukaiku, ia hanya sedikit galak."

"SuA eomma sering memarahi eonni bukan karena dia galak, tapi dia tidak suka padamu," ujar Ga Hyeon lagi.

"Aniya! Aku adalah adik kesayangannya. Agassi tidak membenciku."

"Adik?" Ga Hyeon mengangkat kepalanya. "Handong imo!"

"Juga bukan adik yang seperti itu! kau tidak perlu memanggilku imo, cukup eonni saja, eoh?" Handong mengoreksi. "Yang kumaksud adalah, agassi sudah menganggapku sebagai adiknya meski kami tidak memiliki hubungan darah."

"Imo!" Ulang Ga Hyeon.

"Aniya!" Handong merengek menghentakkan kakinya. Panggilan itu membuatnya merasa tua meski kenyataannya ia jauh lebih tua dari Ga Hyeon.

"Jangan pecicilan! Lihat airnya sudah mendidih!" Ga Hyeon menunjuk panci berisi air yang memang sudah mendidih. Ia kembali fokus menantikan makanannya ketika ia teringat suatu hal yang dianggap penting. "Oh iya! SuA eomma juga menyebutmu sesuatu."

Handong memasukkan dua bungkus ramyeon ke dalam air mendidih. "Apa itu?"

"Pabo!"

"Ck," Handong berdecak mendengarnya. "Itu untuk Kim Min Ji. Aku yang mengatakannya."

"Aah!" Ga Hyeon mengangguk mengingatnya. "Kalau begitu SuA eomma menyebutmu pedofil."

Tangan Handong tanpa sengaja melepaskan tutup panci hingga menimbulkan suara berdentang ketika benda itu tidak terpasang pada tempatnya. "Lagi?"

"Kurasa dia benar-benar tidak suka padamu," lanjut Ga Hyeon. "Menyerah saja!"

"Ya! Memangnya kau akan baik-baik saja jika aku menyerah? Kau tidak menyukaiku lagi ya?" Handong mencebik pada Ga Hyeon. Kalimat yang diucapkan gadis itu barusan tidak membuatnya kesal atau marah.

"Aku tahu eonni tidak akan melakukannya," jawab Ga Hyeon santai.

"Tapi kau yang memintaku menyerah Ga Hyeon-ah!" Tanya Handong sambil membuka lemari es. "Pakai telur?"

Ga Hyeon mengangkat dua jarinya. "Memangnya eonni mau menurut begitu saja?"

Handong menghela nafas ketika memasukkan dua butir telur ke dalam panci. Berdebat dengan Ga Hyeon terasa seperti berdebat dengan SuA. "Terserah kau saja."

"Aku tidak mau terserah! Aku mau eonni menjawabku!" Ga Hyeon merengek dengan suaranya yang berisik, sementara dari lantai dua terdengar suara SuA seolah ibu dan anak itu saling sahut menyahut.

The Last WolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang