Part 27

112 24 4
                                    

Hanseong, 1301

SuA kembali setelah pergi satu bulan lamanya. Ia telah menyusuri seluruh semenanjung untuk memperingatkan para penyihir lain yang tinggal di tanah itu sekaligus meminta mereka untuk membantu menyebarkan berita ini karena ia harus segera kembali ke Hanseong. Karena ia tidak pernah mendengar apapun tentang kejadian di Hanseong. Tidak tentang pemberontakan, penyerangan, atau apapun. Keheningan ini membuatnya tak nyaman sepanjang perjalanannya dan ingin segera kembali.

Hanseoung baik-baik saja ketika ia tiba di kota. Apa mungkin para prajurit tidak bisa menemukan mereka karena saat itu pelindung sihir telah dipasang? Mereka mungkin langsung kembali ke ibu kota karena tidak bisa menemukan target mereka. Ia sungguh berharap peperangan tak pernah terjadi. Ia berharap keluarganya baik-baik saja. Singnie baik-baik saja.

Namun, begitu ia tiba di rumahnya di puncak bukit, ia tahu itu hanyalah harapan kosong yang tidak mungkin terjadi. Tempat itu telah hangus terbakar, menyisakan puing-puing yang tak mampu lagi ia kenali.

"Agassi!" Handong yang berada di depannya menoleh dengan memasang ekspresi ngeri. Apa yang ada di depan sana adalah mimpi buruk. Tidak hanya puing-puing. Tubuh-tubuh juga bergelimpangan dan menyeruakkan bau yang busuk.

Sebagian besar memakai pakaian prajurit. Namun, diantara tubuh-tubuh itu, mereka juga menemukan penyihir karena posisi jasad yang mencolok.

Seperti Tadashi yang tergantung di pintu gerbang –SuA langsung menutup matanya dan menangis setelah melihat ini-, Seok Hyung yang berdiri tegak di tengah halaman dengan puluhan tombak menusuk tubuhnya dari segala arah, Tuan Park yang masih memegang busur dan panahnya di atap yang telah rubuh, serta In Goon yang menempel di dinding dengan tubuh tertusuk pedang. Tak satupun dari mereka melihat Singnie. Bahkan tanda-tanda keberadaannya saja tidak ada. Ia bisa menyebutkan satu persatu keluarganya yang ada disana, tapi tidak dengan Singnie.

SuA berlari menuju kamarnya, atau bagian yang tersisa dari kamar lamanya. Ia memanjat tumpukan kayu yang menghalangi jalannya lalu melompat memasuki tempat yang ia ingat kamarnya berada. Dengan putus asa ia menyingkirkan barang-barang terbakar yang berantakan, kemudian menarik salah satu tatami dari lantai hingga terbuka. Ada lubang yang sengaja di buat disana dan sebuah kotak yang masih utuh. Ia mengambil kotak yang berisi barang-barang berharga dan mengambil kotak kecil lain dari dalamnya. Kotak yang diberikan Singnie terakhir kali. Ia membuka kotak kecil itu dan seluruh tubuhnya terasa lemas seketika.

Kotaknya baik-baik saja, namun, hanya ada debu bekas terbakar di dalamnya. Manik siluman milik Singnie kini hanya tinggal debu.



Hanyang, 1358

SuA telah membangun rumahnya kembali. Ia tidak bisa pergi dari tempat yang memiliki kenangan mengerikan itu sementara Singnie berjanji menunggunya disana. Ia tidak bisa pergi dengan alasan Singnie mungkin tidak bisa menemukannya jika ia tidak ada disana.

Ya, ia menolak untuk menerima bahwa Singnie juga tewas pada kejadian di hari yang naas itu. Meski melihat sendiri bagaimana manik siluman Singnie telah hancur, sebelum melihat sendiri jasad gadis siluman itu, maka baginya Singnie masih hidup. Bukankah dulu juga begitu? Singnie hanya tersesat dan tidak bisa menemukan jalan pulang. Tidak peduli ratusan tahun telah berlalu, ia hanya ingin percaya bahwa Singnie akan kembali padanya suatu hari nanti.

Masalahnya, SuA hanya menjalani hidup tanpa benar-benar hidup. Ia tidak melakukan apa-apa selain berdiri di selasar menunggu kedatangan Singnie. Terkadang, di malam yang dingin ketika ia mendengar sebuah lolongan, ia akan berlari keluar berharap itu Singnie yang telah kembali. Ia akan pulang beberapa jam kemudian sambil membawa seikat bunga dan mengatakan pada Handong bahwa Singnie membuat bunganya mekar agar ia bisa menikmati keindahannya.

The Last WolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang