Namgyeong, 971
Setelah selesai makan, Singnie langsung pamit untuk pulang kepada SuA. Karena berdasar prinsip yang telah dianutnya selama ini, ia tidak akan tinggal lama setelah menumpang makan karena biasanya tuan rumah akan mulai membereskan peralatan makan kotor dan tidak etis rasanya jika tidak menawarkan bantuan. Jika ia membantu, bagaimana jika cakarnya yang cantik rusak? Ia tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah seperti itu. Dan jika ia tidak membantu, ia akan menjadi tamu kurang ajar. Jadi, bukankah lebih baik ia pamit pulang?
"Terima kasih atas makanannya!" Ia membungkuk dengan sopan sambil berdiri dengan kedua kakinya meski ia tidak terbiasa dengan itu.
"Kau akan pergi?" SuA tampak kecewa, namun ia juga tidak bisa memaksa Singnie untuk tinggal lebih lama lagi.
Singnie mengangguk. Ia berjalan beberapa langkah. Kemudian berbalik ketika ia teringat sesuatu. "Oh iya! Aku belum tahu namamu!"
"Kau bisa memanggilku agassi," jawab SuA.
"Aku menanyakan namamu," ulangnya.
"SuA, Kim SuA."
"Kim SuA," Singnie mengulangi nama itu dan lidahnya terasa gatal ketika menyebutnya. Dan ia terus mengulangnya lebih banyak lagi di dalam kepalanya.
Singnie baru saja menyebut namanya. Hanya namanya. Tidak ada yang pernah melakukan itu seumur hidupnya. Membuatnya merasa melambung sangat tinggi. Membuatnya tidak bisa berhenti tersenyum.
Kemudian Singnie memajukan wajahnya mendekati SuA. Ia tetap seperti itu seolah sedang menuggu.
"Kita saling mengenal nama masing-masing, berarti sekarang kita berteman," Singnie mencoba menjelaskan karena SuA hanya menatapnya bingung. "Kaumku biasa melakukan ini untuk menandai teman mereka. Saling menyentuh hidung."
"Ah!" SuA mengangguk mengerti. Ia ikut memajukan wajahnya untuk menyentuh hidung Singnie dengan hidungnya.
"Baiklah, SuA! Aku akan benar-benar pulang sekarang!" Singnie lebih dulu menarik diri ketika ia telah selesai.
"Tunggu!" SuA memanggil gadis itu. Membuat langkahnya lagi-lagi harus terhenti dan ia berbalik untuk yang kedua kalinya. "Dimana tempat tinggalmu?"
Singnie menarik salah satu sudut bibirnya sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. "Hutan ini adalah rumahku!"
Itu terlalu luas. Bahkan setelah lama tinggal di sana, SuA belum berhasil menjelajah seluruh hutan. Lalu, bagaimana jika ia ingin bertemu dengan Singnie. Ia akan kesulitan mencarinya.
Secepat mungkin SuA berusaha mencari akal agar ia bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Ia memejamkan matanya ketika melontarkan pertanyaan yang menurutnya memalukan. "Bagaimana jika tinggal disini denganku?"
Singnie tertawa meremehkan lalu menunjuk ke bumbungan rumah SuA. "Sesuatu dengan atap dan dinding tidak bisa disebut tempat tinggal. Kau harus menyatu dengan alam. Di bawah langit. Di Atas tanah. Ck, begitu saja tidak mengerti!"
SuA menengadah menatap langit yang gelap. Tak ada bintang. Tak ada bulan. Sepertinya akan hujan. Ia mengkhawatirkan Singnie jika berada di luar sana dan tidak memiliki tempat berteduh.
"Disana!" SuA menunjuk kurungan tempat ia meletakkan Singnie sebelumnya. "Bagaimana jika kau tinggal disana?"
Singnie menggeram. Ia merentangkan kuku-kukunya yang tajam lalu berjalan cepat kembali pada SuA. Matanya yang tajam menyiratkan kemarahan. Dan kalimat selanjutnya terdengar seperti lolongan yang penuh dengan ancaman. "Kau ingin aku tinggal di tempat seperti itu?"
SuA menelan ludah lalu bergerak mundur satu langkah. Ia tidak bermaksud membuat Singnie marah. Ia hanya tidak bisa berpikir dengan benar ketika di saat yang bersamaan ia takut tidak bisa melihat siluman itu lagi. Jadi ia hanya mengatakan apapun yang terlintas di kepalanya pertama kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Wolf
Fanfiction"Saat panah cinta terlanjur mengenaimu, maka kau akan mati!" "Mana yang lebih menarik antara hewan berkaki empat atau Putri Yuan dengan segala keanggunannya?" "Tidakkah kau merasa bahwa dirimu menyedihkan ketika mengejar ranting yang dilempar oleh a...