Namgyeong, 982
Sepuluh tahun berlalu. Tidak banyak yang berubah pada rumah di atas bukit kecuali menjadi sedikit lebih hening ketika siang hari karena Singnie sering bekerja dibanding belajar dengan SuA. Bukan karena siluman itu ingin bekerja, melainkan Handong terus menghina betapa tidak bertanggung jawab dirinya dan terus membujuk SuA agar jangan pernah menikah dengan orang tidak bertanggung jawab. Tentu saja ia tidak mau menjadi orang yang tidak bertanggung jawab. Ia ingin SuA menikah dengannya.
Sore itu, SuA sedang berada di kelas seperti biasanya. Ia baru saja mengajarkan sebuah mantra untuk membuat sebuah batu kecil berputar. Mantranya singkat dan mudah, namun pengelolaan pikiran yang sulit, karenanya belum ada yang berhasil kecuali Handong.
SuA bertepuk tangan senang ketika melihat Handong berhasil dengan mantranya untuk yang pertama kali. Awalnya pelan, lalu batu di atas mejanya berputar semakin cepat. Sudah lama sekali ketika seorang penyihir baru muncul. Terakhir adalah saat ayahnya masih hidup.
Semua yang ada disana ikut bersorak mengikuti SuA, merayakan keberhasilan Handong. Kelahiran seorang penyihir bukanlah sesuatu yang bisa dilihat setiap hari. Ini merupakan kejadian langka.
"Kau berhasil, Handong-ah!" SuA mengulurkan tangannya meminta Handong untuk datang mendekat. "Kemarilah! Aku punya sesuatu untukmu!"
Handong bangkit dengan ekspresi bangga dan menghampiri SuA yang telah lebih dulu berdiri untuk menyambutnya. Ia melompat girang tak bisa menahan rasa senangnya ketika tiba di tempat SuA. "Aku melakukannya agassi!"
"Eoh! Kau melakukannya dengan baik," SuA memeluk Handong lalu memberikan tepukan bangga di punggung gadis itu. "Kau sudah bekerja keras mempelajarinya."
"Aku melakukannya dengan baik," Handong menahan gadis yang kini lebih kecil darinya itu agar bisa memeluknya lebih lama. Ia baru melepaskannya setelah beberapa detik berlalu karena merasa SuA mulai tidak nyaman. "Apa aku dapat hadiah?"
"Tentu saja!" SuA mencari sesuatu di balik lipatan bajunya. Itu adalah sebuah kantong kain berwarna hitam yang sangat kecil. Ukurannya hanya sebesar ujung kuku orang dewasa. "Kau penyihir, dan kau layak mendapatkannya."
Handong menerimanya dan meletakkan benda kecil itu di telapak tangannya. "Apa ini?"
"Kami menyebutnya segel kebangkitan," jawab SuA. "Mereka yang terlahir sebagai penyihir sepertiku memiliki sel-sel penyihir di dalam darah mereka sehingga dapat melakukan sihir apapun sesuka hati. Namun, penyihir yang mendapatkan kekuatan dari latihan tidak. Itu artinya, tanpa ini, kau hanya bisa memutar batu sebentar sebelum akhirnya kehabisan energi. Kau membutuhkan implan dari penyihir agar bisa menggunakan sihir tanpa batas."
Handong mengangguk meski belum mengerti sepenuhnya. Ia mengamati benda kecil itu dengan seksama. "Apa isinya?"
"Potongan kuku, tetesan darah, dan helai rambut milikku," SuA mengambil lagi kantong kecil itu dari telapak tangan Handong. "Ini mungkin sedikit sakit, dan tentu saja ada harga yang harus kau bayar sebagai gantinya."
"Harga?"
SuA mengangguk. "Kehidupan panjang tanpa akhir yang membosankan."
"Bersamamu? Tidak masalah!" Handong bahkan tak perlu memikirkannya. Baginya itu bukanlah harga yang harus dibayar melainkan hadiah besar yang tak ternilai.
"Kalau begitu, boleh aku mengenakannya padamu?"
"Tentu saja, agassi," Handong mengulurkan jemarinya pada SuA. "Aku tidak sabar mengenakan kuku, darah, dan rambutmu!"
"Bukan disini!" SuA menepis tangan Handong dari hadapannya, kemudian ia membaca mantra singkat dan dengan cepat memukul pangkal leher Handong dengan tangannya yang menggenggam bungkusan kecil tadi. Benda itu lenyap di bawah lapisan kulit dan langsung menyatu dengan daging gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Wolf
Fanfiction"Saat panah cinta terlanjur mengenaimu, maka kau akan mati!" "Mana yang lebih menarik antara hewan berkaki empat atau Putri Yuan dengan segala keanggunannya?" "Tidakkah kau merasa bahwa dirimu menyedihkan ketika mengejar ranting yang dilempar oleh a...