Part 11

139 28 11
                                    

Namgyeong, 972

Handong masih belum merasa puas meski kini SuA rutin mengajar di kelas. Itu karena Singnie ikut-ikutan belajar sihir. Dan tentu saja SuA menjadi pilih kasih karena ada Singnie di sana. Dengan alasan Singnie belum lancar baca tulis, SuA lebih banyak memberikan perhatiannya pada gadis siluman itu. Tentu saja Handong tidak percaya itu. Bagaimana mungkin seorang hakim tidak bisa baca tulis? Bahkan anak kecil saja tidak akan tertipu dengan alasan tidak masuk akal itu.

Sementara itu Singnie tidak jadi mundur dari posisi hakim padahal sebelumnya ia bilang begitu. Bagi Handong ia sama saja dengan para pejabat lain yang mendapatkan posisi berdasarkan latar belakang keluarganya. Ia tidak perlu mengenal Singnie. Itu bisa dilihat dari wajahnya. Singnie tidak terlihat cerdas. Ia pasti memiliki ayah setidaknya seorang menteri agar mendapatkan posisi seorang hakim di kota sebesar Namgyeong padahal ia masih sangat muda.

Tidak hanya Goryeo. Di Yuan juga sama saja. Ketika para pemuda sibuk membanggakan kehebatan ayahnya, para gadis akan berlomba mendapatkan suami terbaik berdasarkan kelas ayah mereka. Handong merasa beruntung karena melarikan diri hingga keluar dari jerat lingkaran setan itu.

"Aku ingin buang air sebentar!" Singnie meminta izin ketika ia ingin melakukan sesuatu. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya membuat Handong berpikir bahwa ini kesempatan emas untuk menindas sang hakim selagi orang itu berada di luar pengawasan SuA

Handong ikut pergi menuju toilet setelah ia menunggu beberapa saat agar tidak terlalu mencurigakan. Ia pergi ke kamar kecil dan sengaja menunggu di depan pintu jamban hingga Singnie keluar. Setidaknya ia masih putri dari Perdana Menteri Yuan yang pernah akan menikah dengan Putra Mahkota Goryeo. Ia lebih segala-galanya dari Singnie yang hanya seorang hakim tolol.

Baiklah, Handong juga akan memanfaatkan nama besar ayahnya setidaknya untuk kali ini saja.

Singnie keluar beberapa menit kemudian. Lebih lama dari perkiraan Handong karena ia ternyata buang air besar. Melihat Handong sudah menunggu di depan pintu, ia tidak merasa heran. Ia berpikir Handong juga akan ke toilet.

"Kau sakit perut juga?" Sapanya, sekadar untuk berbasa-basi.

Handong bersidekap dengan gaya sombongnya. "Ahjussi, siapa nama ayahmu?"

"Mwo?" Singnie mengernyit. Ini pertama kalinya ada yang bertanya seperti itu padanya. Terlebih itu hanyalah bocah kecil. Dan lagi-lagi bocah kecil tersebut menyebutnya ahjussi. Ia tidak mengerti mengapa Handong selalu memanggilnya begitu. Ia bukan pria paruh baya.

"Ayahmu!" Handong masih mempertahan kecongkakannya. Meskipun ayah Singnie adalah perdana menteri, ia tetap berada di tingkat yang berbeda. Negara kecil seperti Goryeo tidak bisa disamakan dengan Yuan. Mereka adalah negara adidaya. Bahkan raja sekalipun tunduk pada mereka. "Apa dia menteri? perdana menteri?"

"Ayahku?" Singnie berpikir sejenak. Belum menyadari bahwa Handong berencana mengolok-oloknya. "Aku punya ayah?"

Handong tertawa mengejek. "Aah! Anak haram?"

Singnie sering mendengar istilah itu. Anak haram. Meski ia tidak mengerti artinya, dan ia juga tak ingin ambil pusing, namun banyak yang menyebutnya seperti itu. Jadi, ia hanya mengangguk.

"Ahjussi! Kau ternyata lebih menyedihkan dari yang aku perkirakan," Handong merasa di atas angin.

"Berhenti memanggilku seperti itu!" Singnie mengarahkan telunjuknya tepat di depan wajah Handong.

"Anak haram?" Cibir Handong.

Singnie menggeleng, "Ahjussi! Aku tidak suka kau menyebutku begitu."

Handong memutar bola matanya. Merasa Singnie tak hanya payah, tapi juga bodoh. Alih-alih marah karena disebut anak haram, ia malah marah karena dipanggil ahjussi.

The Last WolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang