Part 28

113 21 15
                                    

Hanyang, 1891

"Agassi!" Handong mengetuk pintu kamar SuA dan tak kunjung ada jawaban dari gadis itu.

SuA sudah berjam-jam tidak keluar dari kamarnya. Berawal dari pertengkaran kecilnya dengan Handong. Ia yang sedang sangat sensitif tidak bisa tersinggung sedikitpun dan menjadi murka. Masalahnya sepele. Hanya karena Handong meminta izin SuA untuk menghadiri acara penobatan putra mahkota. Ia tidak meminta SuA untuk pergi, ia hanya meminta izin untuk menghadirinya sendiri. Namun, SuA malah langsung marah-marah dan mengatakan bahwa toh ia tidak memaksa Handong tinggal.

Sejak bergantinya penguasa, mereka memang tidak lagi bersembunyi. Tempat mereka tinggal berubah menjadi kota besar ketika ibu kota pindah kesana. Dunia manusia juga telah banyak berubah. Tak ada lagi yang percaya pada siluman, dokkaebi, atau penyihir sekalipun. Para pemburu juga tidak lagi terdengar kabarnya semenjak hari malapetaka itu. Mereka membaur dengan manusia. Hidup seperti manusia. Mereka bahkan mempekerjakan pelayan dari kalangan manusia. Bedanya, mereka tak lagi berminat mengambil penyihir baru. Hidup dalam penyamaran. Terkadang menjadi laki-laki, terkadang perempuan, menjadi ayah, anak, sekaligus cucu. Menata peran dengan begitu baik hingga para pelayan pun tidak menyadarinya.

Kali ini Handong menjadi seorang pelajar muda berbakat, sementara SuA adalah kakak perempuannya. Tentu saja ia memiliki kecerdasan yang luar biasa setelah hidup ratusan tahun lamanya. Istana sangat mengapresiasi bakatnya dan sering mengundang Handong dalam acara-acara istana.

SuA lebih banyak berbuat onar. Dengan sengaja. Setiap kali ia melangkahkan kaki keluar dari rumah, itu adalah hari dimana keributan terjadi. Seperti pedagang di pasar yang tiba-tiba saja memiliki paruh, hingga para ahjumma yang hanya bisa mengeluarkan cicitan. Ia membuatnya tampak jelas. Bahwa sihir yang melakukannya. Bahwa ada penyihir di Hanyang.

Entahlah, ia mungkin terlalu putus asa dan sengaja membuat para pemburu muncul kembali. Karena mereka mengambil Singnie dan keluarganya, ia pasti sangat ingin menghajar mereka semua. Tapi bagaimana mungkin itu terjadi ketika para pemburu tak pernah lagi menunjukkan tanda-tanda keberadaan mereka.

Orang-orang itu, para pemburu yang berasal dari barat memang tidak pernah lagi muncul. Handong telah mencoba mencari tau tentang kelompok itu dan korban-korban mereka. Tidak hanya di semenanjung korea, mereka telah banyak membumihanguskan penyihir di tanah lain. Dan yang terakhir adalah keluarga yang ada di Hanseong, keluarga SuA. Entah apa yang membuat mereka berhenti. Ia tidak bisa mencaritahu lebih jauh lagi.

"Agassi!" Handong menggedor dengan lebih keras. Membuat seorang pelayan yang sedang mengepel lantai memperhatikannya. Ia langsung berdehem dan memainkan perannya. "Noona! Kita harus bicara!"

Masih tidak ada jawaban. SuA memilih untuk tidak bergeming dan menolak untuk bicara pada Handong.

"Gongju-nim, satu-satunya yang tersisa," Tuan Park melayang-layang di depan SuA. Dari semua orang yang tewas hari itu, Tuan Park menjadi satu-satunya yang gagal menyeberang ke alam baka. "Jika agassi terus seperti ini, pada akhirnya dia akan merasa muak dan benar-benar pergi meninggalkanmu."

SuA memainkan ujung kain gorden ketika ia duduk pada bingkai jendela lantai dua menatap ke halaman. "Aku tidak pernah memintanya untuk tetap tinggal."

Tuan Park melayang pergi. Merasa sia-sia membuang energinya untuk bicara pada SuA.

"Tunggu!" SuA berpaling dan menghentikan Tuan Park. "Ahjussi! Apa kau benar-benar tidak tahu kemana Singnie pergi?"

Tuan Park menghela nafasnya yang tidak ada karena masih harus menjawab pertanyaan yang sama selama ratusan tahun. "Dia tinggal sendiri ketika aku mati. Aku tidak tahu yang selanjutnya terjadi."

The Last WolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang