Namgyeong, 972
Handong tidak terima SuA lebih sering bersama dengan Singnie, bukan dengannya. Jika seperti ini, ia merasa tak ada gunanya belajar sihir. Ia disini karena SuA, bukan benar-benar tertarik terhadap sihir. Ia mulai memikirkan apakah sebaiknya ia kembali saja ke Gaegyeong. Toh putra mahkota tidak terlalu buruk. Daripada harus jadi kambing congek di tempat itu.
"Kau tidak akan bisa mendapat apa-apa dengan wajah cemberut begitu, anak muda!" Ahjumma yang duduk di sebelahnya bicara. Meski wanita itu tidak berpaling dari lembaran-lembaran buku di atas meja, Handong tahu bahwa ahjumma itu sedang bicara padanya.
"Aku bukan anak muda!" Handong semakin cemberut ketika disebut anak muda. Ia tidak suka SuA menganggapnya anak-anak. Terpaut usia yang jauh dengan penyihir itu bukan berarti ia belum dewasa.
"Baiklah, Gongju-nim!" Sindir ahjumma tadi sambil mengeluarkan kikikan kecil.
Handong tidak menganggap itu adalah sindiran. Justru ia memang biasa dipanggil Gongju. Jika tidak melarikan diri, ia mungkin akan menjadi seorang ratu kelak. Bukannya menyesali keputusannya kabur dari Gaegyeong. Ia hanya memandang seberapa tinggi dirinya.
"Ngomong-ngomong, ahjumma! Apa agassi memang sering pergi seperti itu?" Tanya Handong kemudian. "Mengatakan akan mengajari kita, tapi hanya menyuruh membaca buku. Ini kan bukan mengajari namanya!"
"Dulu agassi selalu berada di kelas. Ia hanya sering pergi sejak bertemu Hakim itu," Ahjumma itu menjelaskan dengan tenang.
Handong memukul mejanya mendadak menjadi lebih emosi lagi, "Nah! Aku sudah menduga orang itu pengaruh buruk!"
Tertarik dengan pembicaraan mereka, pria yang duduk di depannya menoleh. "Kau tidak akan bilang begitu jika melihat bagaimana agassi menunggu orang itu. Lagipula kami sudah belajar bertahun-tahun. Agassi juga memiliki hak untuk hidupnya sendiri, bukan hanya mengabdikannya untuk orang lain."
Handong menoleh pada ahjumma meminta dukungan.
"Para penyihir memiliki cara yang aneh dalam hal berpasangan," ujar ahjumma dan kembali fokus pada bukunya. "Kau akan mengerti jika jadi penyihir suatu hari nanti."
"Aneh bagaimana? Pergi keluyuran?" Handong bersungut-sungut. Tak ada lagi yang meladeninya karena mereka melihat kekesalannya tak akan usai. Mereka lebih suka kembali membaca buku-buku yang telah dihafal Handong di luar kepala.
Karena tak ada lagi yang menyahut, Handong berhenti mengajak mereka mengobrol. Ia menatap ke luar dan merasa lebih kesal lagi melihat matahari sudah semakin tinggi. Dalam hati ia bertanya-tanya mengapa SuA belum kembali? Kemana hakim itu membawanya? Apa yang mereka lakukan?
Pertanyaan terakhir membuat ia meremas sampul bukunya hingga remuk. Di dalam kepalanya mulai berseliweran hal-hal yang mungkin terjadi. Apa saja yang dilakukan Singnie dan SuA berdua saja. Ia membencinya. Meski begitu ia terus membayangkan dan menjadi semakin marah dan kesal.
SuA baru kembali menjelang makan siang. Handong mendengar suara pintu dibuka dan langsung berlari mengejarnya. Bagian bawah matanya sudah berubah hitam entah kenapa, karena ia hanya membaca buku di siang hari bukannya belajar semalaman.
"Handong-ah!" SuA menyapa gadis itu begitu melihatnya berlari menghampirinya. Singnie yang membantunya turun langsung memberikan tatapan tajamnya pada gadis kecil itu.
"Agassi! Kau sungguh tidak bertanggung jawab!" Hal pertama yang dilakukan Handong begitu tiba di dekat SuA adalah mencecarnya dengan kekesalan yang sejak tadi ia pendam. "Kau mengatakan akan mengajariku, lalu pergi begitu saja. Janji tetaplah janji! Kau tidak bisa membodohiku hanya karena kau menganggapku anak kecil!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Wolf
Fanfiction"Saat panah cinta terlanjur mengenaimu, maka kau akan mati!" "Mana yang lebih menarik antara hewan berkaki empat atau Putri Yuan dengan segala keanggunannya?" "Tidakkah kau merasa bahwa dirimu menyedihkan ketika mengejar ranting yang dilempar oleh a...