Namgyeong, 972
Singnie berkali-kali melihat ke arah pintu ketika ia tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Ia tidak bisa mendengar dokumen yang dibacakan oleh Tuan Nam dengan lantang di dekat telinganya. Indranya yang biasa tajam tak bisa berfungsi dengan maksimal ketika kecemasan menguasai. Pikiran-pikiran buruk berhasil mengambil alih dan mengacaukan semuanya.
Penyebab utamanya adalah SuA yang belum muncul di tempatnya. Gadis itu tidak pernah terlambat, apalagi tidak datang. Mereka juga sudah baikan kemarin malam. Itu yang dipikirkan Singnie. Lalu mengapa penyihir itu tak kunjung muncul? Apa terjadi sesuatu di jalan yang menghambatnya? Apa ia tersesat? Apa ia dicegat kawanan hewan liar? Dua hal itu sebenarnya tidak mungkin terjadi pada seorang Kim SuA. Akan tetapi, Singnie tak lagi memikirkan apa yang mungkin dan tidak mungkin. Ia mengkhawatirkan SuA.
Menyadari kegelisahan sang hakim, Tuan Nam mulai ikut terganggu dan mulai kehilangan ritme ketika membaca. Pria itu tidak menyadari ketika ia melompati satu baris kalimat hingga membuatnya terdengar aneh. Sayangnya Singnie juga tidak menyadari itu. Ia terlalu sibuk berpikir. Memikirkan SuA.
"Maaf, apa itu tadi?" Tuan Park yang ikut mendengar sambil mencatat dokumen menyela karena keanehan tata bahasanya.
"Bukankah ini sudah waktunya makan siang?" Signie beranjak dari tempat duduknya.
"Tapi Tuan, ini masih pagi dan kita baru saja mulai," kata Tuan Park.
"Kalau begitu aku akan keluar sebentar untuk mencari udara segar. Tidak masalah kan?" Singnie beralasan.
Tuan Nam dan Tuan Park saling pandang sebelum akhirnya Tuan Nam menjawab, "Tentu saja Tuan!"
Signie melangkah menuju pintu keluar bahkan sebelum Tuan Nam selesai menjawab. Ia benar-benar khawatir terjadi sesuatu pada SuA karena gadis penyihir itu tak biasanya seperti ini.
Ia memacu kudanya cepat melewati jalan setapak menuju hutan. Sebenarnya lebih cepat jika ia berlari saja. Namun, memikirkan untuk membuka pakaiannya dan tiba di tempat SuA tanpa pakaian akan terasa memalukan. Ia memutuskan untuk memakai kudanya.
Ia menajamkan seluruh indranya ketika melaju di jalanan. Tak ingin melewatkan sesuatu sekecil apapun. Apakah itu suara atau gerakan tersembunyi dibalik semak-semak. Ia tidak berharap terjadi sesuatu pada SuA, namun ia ingin segera menyelamatkan gadis itu jika ada bahaya.
Singnie tak menemukan apapun hingga ia mencapai rumah SuA. Mengenali siapa yang datang, para pelayan membukakan pintu dan membiarkan ia masuk. Rasa cemasnya sepanjang perjalanan tadi sirna ketika melihat SuA baik-baik saja. Gadis itu sedang berdiri di dekat tandunya, sepertinya akan berangkat namun tak kunjung bergerak karena terlihat masih sibuk bicara dengan seseorang. Itu adalah gadis yang mereka temukan kemarin. Handong.
"SuA!" Singnie melompat turun dari kudanya dan berjalan menghampiri gadis yang telah lebih dulu menyadari kehadirannya.
"Eoh! Kau datang?" SuA tersenyum menyambutnya. "Aku baru saja akan pergi ke sana."
"Aku baru saja sampai di sini," seloroh Singnie sambil membalas senyum SuA.
Handong tampak tidak senang melihatnya. Ia baru pertama kali mengungkapkan perasaan pada orang yang ia sukai, dan malah menyaksikan adegan seperti itu. Ia benar-benar tidak rela.
"Agassi! Kau tidak suka padaku karena aku anak kecil, karena aku manusia, atau karena aku adalah seorang gadis?" Handong mengeraskan suaranya untuk menyela kedua orang itu.
Signie menggeram pada Handong karena merasa terganggu dengan kehadiran gadis itu. "Bocah ini!"
"Jika kau tidak suka anak kecil, aku akan dewasa suatu hari nanti. Jika kau tidak suka manusia, aku tidak masalah menjadi hantu. Lagipula bukankah orang ini juga manusia? Dan jika kau tidak suka karena aku adalah seorang gadis, maka aku ... maka aku ...," Handong tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk mengubah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Wolf
Fanfiction"Saat panah cinta terlanjur mengenaimu, maka kau akan mati!" "Mana yang lebih menarik antara hewan berkaki empat atau Putri Yuan dengan segala keanggunannya?" "Tidakkah kau merasa bahwa dirimu menyedihkan ketika mengejar ranting yang dilempar oleh a...