JEON POV
Tidak sulit untuk mengetahui emosi Jennie. Aku telah mempelajari wajah dan suasana hatinya sejak lama karena itulah aku hampir selalu tahu apa yang dia rasakan.
Jennie tidak pernah menunjukkan emosi di wajahnya pada orang lain, tetapi padaku dia menunjukkannya. Sekalipun ia tidak menunjukkannya, dia tidak bisa menyembunyikannya dariku untuk waktu yang lama.
Wajahnya sekarang berubah menjadi gambar kehampaan. Kau tidak akan pernah berpikir ada sesuatu yang salah padanya kecuali kau melihatnya dengan seksama, kecuali kau tahu ekspresi wajahnya yang sesuai dengan suasana hatinya. Saat ini ada kerutan yang sangat kecil di alis kanannya -kau akan melewatkannya begitu saja jika tidak memperhatikannya dengan seksama.
Dan aku tahu alur yang sangat kecil itu merupakan indikasi bahwa dia sedang kesal.
"Bagaimana ujian terakhirmu?" tanyaku, berpikir mungkin dia tidak melakukannya dengan baik.
Jennie selalu memperhatikan bukunya sepanjang hari, hampir tidak memperhatikan diriku.
"Bagus. Bagaimana denganmu?"
"Semuanya sudah berakhir sekarang untukku. Sekarang aku anggota baru dari Klub Penganggur."
Jennie mengatakan bahwa dia lapar jadi aku membawanya ke Anna's Cafe. Sebenarnya kami akan kembali ke apartemen dan memesan pizza, menghabiskan waktu bersama -atau mungkin lebih -tapi kami belum pergi berkencan sejak minggu lalu.
Selain itu, inilah yang diinginkan para gadis setelah menghabiskan waktu untuk belajar dan ujian, bukan? Pergi keluar untuk merayakannya?
Aku hanya ingin bersamanya. Kemanapun tempat yang ia inginkan aku akan menurutinya. Tapi aku lebih suka menghabiskan waktu bersamanya di tempat tidur. Kalian tahu maksudku, bukan?
Jennie tidak menatapku, perhatiannya tersedot oleh ikan dan kentang goreng di piringnya. Aku ingin dia hanya menatapku. Hanya aku! Apa aku berlebihan untuk cemburu pada ikan mati dan kentang goreng sialan itu? Aku bahkan lebih lezat dibanding mereka.
Aku diam-diam mengambil beberapa kentang goreng dari piringnya dan memasukkannya ke dalam mulutku. Tapi reaksinya sangat berbeda, Jennie tidak melotot atau menampar lenganku seperti yang kuharapkan.
Pasti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Jika aku melakukan sesuatu yang salah, maafkan aku. Aku hanyalah pria idiot dan aku akan melakukan apa saja untuk menebus kesalahanku -membasuh kakimu, membelikanmu bongkahan berlian, rumah, mobil atau......" Aku tersenyum saat Jennie menatapku dengan datar. "Baiklah, bagaimana dengan sebotol besar selai kacang?"
Itu membuatnya tersenyum kecil.
"Jadi, kenapa kau tidak memberitahuku kesalahan yang kulakukan agar aku bisa memperbaikinya?" ucapku, mundur dengan cepat ketika Jennie menyipitkan matanya padaku. "Aku harus tahu apa itu, Red. Tapi aku-" Aku menahan diri sebelum kembali melanjutkan. Jennie baru saja mengulitiku hidup-hidup.
"Baiklah, aku akan merapikan pakaianku dan tidak akan menaruhnya lagi dilantai. Seperti yang selalu kau katakan padaku."
Jennie mengambil kentang goreng miliknya dan menggigitnya dengan ganas.
Oke, pakaian bukanlah permasalahannya. Bukankah aku seharusnya diberikan penghargaan untuk ini? Begitulah seorang pria menjalani kehidupannya, mereka harus mempunyai insting dan tingkat kepekaan yang kuat, jika tidak maka mereka tidak akan selamat dunia akhirat.
Mengangkat tangan dan mengendus ketiak. "Aku mandi." Ucapku.
Jennie merapatkan kedua bibirnya berusaha keras untuk tidak tertawa. Bibir merah muda itu... aku tahu betapa lembut, dan betapa nikmatnya bibir itu ketika...