JEON POV
"Want to get breakfast?" tanyaku, membukakan pintu mobil untuknya.
Kami berdiri saling berhadapan. Jennie begitu dekat, dan yang ingin kulakukan hanyalah melingkarkan lenganku di pinggangnya dan menariknya mendekat.
Angin meniup rambut hitamnya yang panjang, untaian tebal mengkilap itu menutupi wajahnya yang cantik. Menahan napasku, aku dengan lembut menyelipkannya ke belakang telinganya. Membelai wajahnya dengan punggung tanganku. Jennie menutup matanya, mengayunkan tubuhnya lebih merapat dengan tubuhku.
Aku ingin menyantapmu untuk sarapan pagi, itulah yang ingin ku katakan.
Menutup mulutku dengan rapat. Kami baru saja kembali bersama, dan aku tidak ingin menakutinya.
Ketika Jennie membuka matanya dan menatapku. Keinginanku untuk menyentuhnya justru semakin kuat.
"Sekarang jam berapa, Jeon?" tanyanya. Tapi Jennie bertanya dengan berbisik, seolah tau apa yang sedang kurasakan.
Menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, melirik jam ditanganku. "Sudah waktunya bagi Red untuk sarapan bersama Jeon."
Jennie menggigit bibir bawahnya agar tidak tersenyum. Lipstick merah yang menutupi bibirnya semalam sudah hilang total, mungkin karena ciuman yang kami lakukan di tepi pantai semalam. Tapi, bagaimana mungkin bibir telanjangnya terlihat lebih menggoda daripada dibubuhi lipstick?
"Aku punya kelas hari ini dan review untuk ujian jadi aku tidak bisa melewatkannya."
Ada penyesalan dalam suaranya, dan itu membuatku merasa bahagia karena aku tahu Jennie ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamaku.
Kami berpisah selama lebih dari seminggu, tapi rasanya seperti bertahun-tahun.
"Ayo masuk kedalam." Ajakku.
Aku menutup pintu mobil begitu ia masuk, sedikit berlari mengitari mobil dan bergegas masuk. Aku tahu dia kedinginan.
"Jam berapa kelasmu?" tanyaku, menyalakan pemanas dengan suhu penuh.
Jennie menarik selimut lebih erat ke tubuhnya, menggosok dan meniup tangannya untuk mendapatkan hawa panas. "Sepuluh." Jawabnya.
"Kita masih punya waktu. Kemarilah, Red."
Aku menariknya mendekat, memeluknya, menyelipkan bibirku pada perpotongan lehernya, menghembuskan napas hangatku ke kulitnya dan mengusap punggung dan bahunya.
"Lebih baik?"
"Jangan berhenti dulu." Gumamnya, menekuk lehernya untuk memberiku lebih banyak akses.
"Apa masih dingin?" tanyaku bergumam, membubuhkan satu kecupan lembut pada bahunya.
"Ya,"
"Biarkan aku menghangatkanmu."
Mendorong sandaran kursiku. Jennie tersentak saat aku menangkup pinggulnya dan mengangkatnya, membuatnya duduk dipangkuanku dengan kakinya melingkari pinggangku.
Matanya membelalak terkejut, tapi ada hal lain dalam matanya.
Keinginan.
Matanya menggelap. Dengan punggung tanganku, aku membelai bahunya, menggodanya dengan sentuhan ringan yang menyulut hasrat dimatanya. "Kau sangat cantik. Sangat indah."
Lalu mengikuti belah bibirnya dengan jariku, membuat bibirnya sedikit terbuka, hawa hangat yang keluar dari belah bibirnya membuatku gila. Jennie menutup matanya menikmati sentuhanku.
"I want to bite you." Bisikku.
Jennie membuka matanya. Mata kucing itu terlihat lapar sama seperti apa yang kurasakan.
"Aku tidak bisa-" aku mencium sudut bibirnya, berniat untuk menggodanya. "Merasa cukup-" kembali mencium sudut yang lainnya. Jennie memejamkan mata dan aku merasakan tubuhnya menggigil. "Jika itu tentangmu."
"Jeon."
Saat Jennie menempelkan tubuhnya padaku, saat itu juga aku kehilangan akal sehatku.
Membenamkan jemariku pada rambutnya, menariknya dan menempelkan bibirku pada bibirnya.lapar dan liar, aku melahap dan mengambil apa yang ia berikan. Meraup lebih banyak sampai suara erangannya memenuhi telingaku, membuatku merasa terbakar.
Aku terlalu lapar untuknya, terlalu lapar untuk dirinya, sentuhannya, aromanya. Aku membutuhkannya. Lebih dari hanya sekedar membutuhkannya. Setiap nafas dan tubuhku adalah miliknya.
Lengannya melingkari leherku, kukunya menancap indah pada punggungku. Kakinya terasa menegang disekitar pinggulku saat bibirku menjamah lehernya.
"Jeon,"
Jantungku berdegup kencang saat tubuhnya menghempas pada belakang kemudi, matanya tertutp dengan kepala menengadah saat tanganku mulai memuja tubuhnya. Ya Tuhan, aku sangat ingin merobek pakaiannya.
Jennie kembali menarik kepalaku, kembali memagut bibirku dengan liar dan panas. Tanganku mengelus pahanya yang terbuka, meremas, dan membelai. Aku ingin menyentuhnya ditempat yang tidak berani kusentuh sebelumnya, tapi tidak disini. Ini adalah yang pertama untuk kami, dan aku tidak ingin mobil menjadi tempatnya.
Saat Jennie mulai menjilat leherku, mataku membelalak. Kami harus berhenti atau.... Tidak, kami butuh hotel. Dan bukan ini yang kurencanakan untuk melakukannya, apalagi ini adalah yang pertama untuknya.
Menjauhkan kepalanya dari leherku dan menyatukan dahi kami. Matanya terpejam, dadanya naik turun saat ia mengatur napasnya.
Dadanya..... Dadanya...
Jangan pikirkan itu! Jangan lihat!
"Pancakes?" tanyaku.
Jennie membuka matanya dan aku hampir mengerang. Wanitaku masih terangsang, aku bisa melihat bayangan kebutuhan dimatanya. Aku melihatnya menelan ludah sebelum mengangguk dan menjawab.
"Pancake."
🌼🌼🌼
Salah satu reader ada yang ngirim DM ke IG Nana, dan dia bilang "Nana, aku kehilangan akal selama lima menit. Aku bahkan berteriak diruang keluarga dan orangtuaku mengatakan bahwa aku gila. Nana, aku harus gimana?"
Nana saranin bacanya di kamar. Karena itulah Nana selalu update malem-malem kek gini.
🥰🥰Scroll lagi! Nana double up!!
By the way, jangan lupa Vote dan Comment ya!!
Love, Nana ;)