Sudah seminggu sejak terakhir kali aku melihat Jeon. Seminggu dengan penyiksaan. Seminggu dengan pesan yang belum terkirim dan panggilan telepon yang dibatalkan. Seminggu tanpa tidur dan mimpi buruk.
Aku sering bermimpi tentang Jeon yang memintaku untuk berjuang untuknya, mengejarnya, tetapi ketika aku melakukannya, aku tidak pernah bisa menggapainya. Bayangannya selalu lenyap setiap kali aku mendekat.
Aku merindukannya.
Orang-orang selalu mengatakan bahwa kau tidak akan pernah tahu seberapa besar arti seseorang bagimu sampai mereka pergi. Ibuku telah meninggal, tetapi aku selalu tahu apa yang ia maksudkan untukku. Namun Jeon, aku tidak tahu berapa banyak bagian dari hidupku yang berarti sampai dia pergi.
Setelah Jeon pergi, hampir setiap hari Joy, Chanyeol dan terkadang bahkan Jaehyun datang ke rumah Chaeng. Aku tidak tahu bagaimana cara Jaehyun masuk, tetapi dia sekarang telah menjadi bagian dari grup. Itu menyentuhku bagaimana mereka semua ada disini untuk mendukungku. Aku tidak pernah memiliki teman sejati sebelumnya. Tidak ada yang seperti mereka.
Aku bekerja hampir setiap hari di bengkel untuk minggu ini dan terkejut saat mengetahui bahwa Jaehyun juga bekerja disana.
"Ya, dia datang dan pergi, tidak pernah menetap. Dia akan membantu ketika ia kembali dari kota untuk mengunjungi ibunya." jelas Chaeng saat aku bertanya padanya tentang Jaehyun.
Jaehyun baru saja memberiku kunci-kunci truk yang baru saja selesai ganti oli dan sebuah tune up. Mataku membelalak kaget melihatnya. Dia tidak memberikan penjelasan, hanya mengedipkan mata padaku dan melangkah pergi.
"Aku pikir saat itu aku berumur sepuluh tahun ketika aku bertemu Jaehyun. Dia beberapa tahun lebih tua, bocah Korea yang berbicara bahasa Inggris dengan sangat sempurna. Maksudku, setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar sempurna, seperti dia telah berlatih mengucapkan setiap kata dalam bahasa Inggris. Kau tahu? Dia sangat imut. Aku menyukainya saat itu."
"Ayahnya telah meninggal. Ibunya keturunan Kanada, jadi dia pindah kesini dari Korea untuk tinggal bersama saudara perempuannya. Kemudian Ibunya bekerja untuk Ayahku di bengkel dan membawa Jaehyun bersamanya atau dia akan datang kesini sepulang sekolah, jadi kami semacam tumbuh bersama dan kemudian Ayahku mengadopsinya. Dia adalah bocah yang sangat nakal, pengacau. Maksudku, dia tidak pernah tinggal di satu tempat, tetapi dia selalu kembali kesini."
Rumah. Setiap orang pasti akan selalu kembali ke tempat asalnya apa pun yang terjadi.
"Ngomong-ngomong, J. Jaehyun bekerja di bar di pusat kota ini, dan aku mengenal pemiliknya. Aku biasanya datang untuk membantu mereka, tapi sekarang aku harus mengambil double shift di cafe, karena ada sedikit masalah. Apa kau bisa menggantikanku, sweety?" ucapnya dengan nada yang membuatku sangat mual, memanyunkan bibirnya seperti bebek.
"Um ...."
"Kau tidak harus membuat minuman. Kau hanya perlu pergi ke meja dan menerima pesanan dari bajingan-bajingan yang datang. Hal-hal semacam itu. Ayolah, J. Aku nanti akan menambah gajimu."
Aku setuju.
Terakhir kali aku pergi ke bar adalah ketika aku bertemu Jeon. Aku ingat segala hal tentang malam itu. Cara matanya yang menatapku dengan seksama, seolah-olah hanya aku yang ada di dunianya. Rasa percaya diri yang ia keluarkan ketika melingkarkan lengannya di pinggangku dan ekspresi kaget yang lucu di wajahnya ketika aku menolaknya.
Stop. Aku harus berhenti memikirkannya dan berkonsentrasi pada pekerjaan. Aku pernah bekerja di sebuah restoran dan bar sebelumnya, tapi disini lebih ramai dan tip-tip yang diberikan pelanggan lumayan besar. Mungkin aku bisa melamar menjadi karyawan disini, asal tidak bertabrakan dengan jadwalku di bengkel dan kampus.