"Kau bisa memberitahuku bahwa kau sangat menyesal."
Melihat ke belakang, ada Jimin dengan tuksedo hitamnya memegang dua kaleng bir. Melemparkannya satu padaku dan bergabung bersamaku di balkon.
"Aku hanya butuh udara segar." ucapku, merasa senang karena Jimin menemukan bir.
Ibu tidak akan pernah menyajikan bir di pesta. Kecuali mungkin jika Perdana Menteri memintanya. "Dari mana kau mendapatkan bir?"
Jimin menatapku mengejek, seolah berkata.... Hanya kau yang bodoh disini.
"Sepertinya aku tidak bisa berkedip tanpa seseorang membuat penawaran bisnis padaku dibawah sana." memberi isyarat dengan birku pada pemandangan di bawah.
Diantara lautan cahaya lembut dan taman mewah, para wanita dengan gaun elegan dan perhiasan berkilauan serta pria dengan setelan trendi. Mereka tampak seperti drama yang baru-baru ini kulihat, jika tidak salah judulnya The Penthouse. Tidak, tidak, aku tidak menontonnya atau pecinta drama, hanya saja ada beberapa artikel dan unggahan yang menarik perhatianku di sosial media.
"Sepertinya kau harus belajar banyak." Jimin berkomentar, mengerutkan bibir ketika melihat lautan manusia itu. "Lebih baik lagi jika kau memiliki poker face, karena kau akan berurusan dengan lebih banyak lagi dari mereka dalam dunia bisnis."
Aku mengangkat bahu. Jimin benar, dan aku benar-benar tidak keberatan. Sebenarnya, aku menyukai pesta dan bersosialisasi.
Tapi untuk sekarang.......Jennie masih belum datang. Aku merasa ada sesuatu yang salah, tapi tidak tahu apa itu.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanyaku.
Jimin berdehem. "Karena aku punya otak."
"Oh, itu berita baru bagiku."
Dia terkekeh.
"Kau tahu, apa yang para wanita itu katakan tentang pria berwajah cantik?" tanyaku acuh.
"Mereka punya penis yang kecil?" jawabnya terkekeh.
Aku menghisap bibirku, menatapnya dengan puas. "Aku bahkan tidak perlu bicara. Aku hanya harus berdiri dan mendapatkan apa yang ku inginkan." memutar tubuh untuk menghadapnya. "Lihat, bahkan tanpa melangkahkan kaki aku sudah memegang bir."
Jimin tertawa. "Aku sangat mengasihanimu, Jeon. Sepertinya Jennie belum datang."
Kembali melihat jam tangan untuk kesekian kalinya. "Dia tidak menjawab teleponku." ucapku mulai gelisah.
Semuanya baik-baik saja bukan?
"Kau sudah menghubungi......Chaeng?" tanya Jimin ragu.
"Sudah. Aku bahkan sudah menelepon ke bengkelnya, tapi tidak ada jawaban."
"Mereka adalah perempuan, Jeon. Butuh waktu seminggu untuk bersiap-siap. Apalagi mereka ada dua, dua wanita, aku yakin mereka memerlukan waktu dua minggu." Jimin terkekeh. "Selain itu, bengkel selalu buka pada akhir pekan selama musim panas. Mereka pasti sangat sibuk."
Sambil menggaruk kepala, aku bersandar di pagar pembatas. "Jika mereka tidak datang setengah jam lagi, maka aku akan menjemputnya.."
Jimin baru saja akan meneguk bir ketika ia terdiam, menatapku dengan alis terangkat. "Ibumu akan membunuhmu."
Aku hanya menatapnya dalam diam, berharap dia mengerti.
"Baiklah." jawab Jimin dengan helaan nafas. "Tapi aku yang akan mengemudi."
Aku tersenyum padanya dengan penuh arti. "See? Bahkan aku tidak perlu mengucapkan sepatah kata pun. Aku hanya berdiri di sini."
Dia tertawa. "Persetan denganmu!"