Sebelum akan masuk ke kiri jalan St Mary, Lyra mendapati sesuatu yang tidak dia dapati di Portsmouth. Ada sebuah bangunan besar di sebelah kanan yang dikelilingi pohon ek yang hanya tinggal dahan beserta rantingnya tanpa ada dedaunan lagi. Di bawah masing-masing pohon dikelilingi bunga berwarna putih yang tidak dapat Lyra tebak jenisnya. Meskipun hujan menghalangi pandangannya dari penampakan yang indah itu, bukan berarti dia tidak bisa menikmatinya.
Di tengah-tengah Carlyle's Court, Sean langsung menarik Lyra untuk mengikutinya. "Aku tak tahu ini seleramu atau bukan, tapi aku yakin kau akan suka." ujarnya yang masih menarik tangan Lyra.
Sebuah papan nama berlatarbelakang hitam bertuliskan The Shabby's Scholar yang di tulis tangan itu bersandar di tembok putih sebelah kanan bangunan tersebut, di atasnya tergantung rangkaian natal usang yang memiliki bola lampu berwarna merah muda. Di depan bangunan juga terdapat beberapa kursi besi dan meja bundar seukuran ban mobil tronton bercat hitam, yang mana bunga tulip dan bunga lainnya sebagai aksesoris untuk mempercantik tampilannya. Walau hujan masih deras sekali, Lyra berhasil melihat payung coklat terbuka lebar di pojok kiri luar bangunan untuk antisipasi.
"Aku tidak menyangka pengunjungnya akan seramai ini." katanya ketika melihat ke dalam bangunan itu.
Sean tertawa, "itu hal yang wajar."
Kemudian mereka duduk di dekat pintu masuk, kebetulan orang yang tadinya sedang duduk di sana sudah keluar. Entah mengapa Sean selalu memilih tempat duduk yang bisa memberinya pemandangan cantik dari balik kaca jendela. Apalagi rintik hujan yang jatuh ke kaca jendela, yang kemudian hanya meninggalkan bulir-bulirnya, hal itu menambah nilai estetikanya.
"Aku kemari bersama manusia normal beberapa tahun lalu saat liburan musim panas. Karena waktu itu juga aku yakin kau tidak mau pergi kemana pun." ujarnya saat Lyra sedang asik-asiknya melihat-lihat daftar menu.
Seraya melihat-lihat akan makan apa, Lyra melirik Sean sekilas. Wajahnya berseri seperti dia benar-benar suka berada di sana.
"Bagaimana caranya kau keluar dari gerbang?" tanya Lyra.
"Mudah saja." akunya, "selama bersama orang tua angkatku, rasanya aman."
"Beruntung sekali, tapi sekarang kau malah meninggalkan mereka."
"Aku bahkan tidak pamit. Mungkin mereka akan mencariku ke rumahmu." dia memiringkan kepalanya ke arah Lyra.
Tak lama, makanan yang mereka pesan akhirnya datang juga, Sean makan dengan cepat sekali. Lyra yakin dia sudah benar-benar kelaparan mengingat mereka tidak sarapan pagi itu dan sangat membutuhkan tenaga. Setidaknya dalam waktu dekat ini, mereka berdua masih aman, tidak akan ada yang mengganggu atau hal lainnya.
Sean bergegas ke toilet, katanya dia akan membasuh wajahnya dan membersihkan sedikit tubuhnya yang dirasanya berkeringat. Lyra tidak akan mengakui bahwa mereka jarang mandi, tetapi untuk hal ini mereka memang akan jarang sekali mandi atau bahkan untuk sekedar mencuci wajah, mencari air bersih akan sulit sekali. Kecuali, meminjam tempat orang lain seperti ini atau kalau tidak malu dan tidak tahu diri, mereka akan menggunakan toilet umum.
Lyra tak yakin bahwa Sean hampir menghabiskan setengah jam di toilet saja, dan dia kembali dengan wajah kusut dan mencurigakan. Pikiran Lyra mulai dipenuhi pertanyaan-pertanyaan detik itu juga, dia memperhatikan Sean sampai Sean kembali duduk dihadapannya.
"Bagaimana bisa?" gerutunya pelan.
Lyra mengangkat alis sebagai balasannya.
"Entah lah, aku tidak mengerti." gerutunya lagi.
Lyra mau tak mau memajukan wajahnya ke depan wajah Sean, menatapnya dengan sinis dan penuh tuntutan. Dia semakin yakin bahwa Sean mengalami sesuatu saat di toilet atau saat dia sudah keluar dari toilet. Persisnya dia tidak tahu, tapi dia sangat yakin sesuatu telah terjadi pada Sean.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silver Feather
FantasyBuku 1 [TAMAT] Tetua, akan selalu ada sebagai penengah untuk semuanya dan mereka dibagi menjadi beberapa golongan yaitu Ducis, Feroces, Civitas. Sampai suatu waktu, warna bulu menjadi masalah besar bagi Tetua G, mereka mencari sosok pembangkang yang...