Berdiri di depan sebuah ruangan yang selalu membuat hatinya hancur. Meski hampir setiap hari berkunjung. Berusaha bersikap seolah semua akan kembali baik baik saja, namun tetap saja hatinya selalu rapuh setiap kali mendatangi ruangan itu. Menghembuskan nafas berat, meyakinkan hati untuk siap dengan segala kesakitan yang akan ia terima. Tangannya perlahan membuka pintu ruangan yang bagi sebagian orang itu mengerikan.
Pemandangan pertama yang ia lihat, seorang gadis yang terbaring tak berdaya dengan banyak alat medis menempel di tubuhnya. Sukses membuat hati wanita empat anak itu serasa teriris. Melangkahkan kakinya perlahan mendekati bangsal tempat putrinya berjuang melawan maut. Dua tahun lebih enam bulan, Kim Yerim berada antara hidup dan mati.
Egois memang, saat Dokter menyuruhnya untuk merelakan putri bungsunya. Saat semua tim medis merasa perjuangan mereka sia-sia, dan yang mereka lakukan sekarang hanya menambah kesakitan bungsu Kim. Namun wanita itu tetap bersikeras untuk mempertahankan Yeri. Biarlah seperti ini asal Yeri masih tetap bersama mereka. Naluri Ibu sangat kuat, ia yakin putrinya itu akan membuka mata.
"Kondisinya masih sama Nyonya, dia hanya bergantung pada alat-alat medis itu." ucap seorang perawat yang bertugas menjaga Yeri di ruang ICU.
Irene tak menanggapi. Ia meraih tangan putri bungsunya yang terbebas dari selang infus. Menciumnya beberapa kali, berharap sang anak bisa merasakan kehadirannya.
"Mommy datang sayang." ucap Irene berusaha tersenyum. Yerim tak suka melihat air mata Ibunya.
"Apa mimpimu sangat indah hingga kau tak ingin bangun, hm?" ucap Irene seraya mengusap lembut pipi Yeri yang menirus.
Rasanya begitu berat. Mengetahui kenyataan kedua anaknya mengalami kecelakaan, hingga keduanya di nyatakan koma. Sebuah pukulan keras bagi Irene dan keluarganya. Sedikit bernafas lega saat putri sulungnya membuka mata tepat di hari ke dua puluh. Saat itu ia sangat yakin jika putri bungsunya juga akan segera membuka mata. Namun Tuhan seolah menguji kesabarannya.
Keadaan Yeri yang sama sekali tak menunjukkan kemajuan, membuat semua tenaga medis putus asa. Saat ini hidup Yeri hanya bergantung pada alat-alat yang menempel di tubuhnya.
Irene mengusap bibir Yeri yang terdapat selang untuk membantu Yeri bernafas. Bunyi mengerikan dari alat yang menampilkan detak jantung Yeri. Irene sungguh tak kuat melihat pemandangan di hadapannya.
"Apa sangat sakit sayang? Apa Yerim sudah lelah?"
Air matanya mengalir begitu saja. Rasanya Irene sudah lupa bagaimana caranya bahagia. Karna salah satu cahaya hidupnya nyaris pergi."Mommy mohon, bertahan untuk Mommy. Kami semua menunggu Yerim."
Tak ada jawaban. Suara Irene terdengar sangat memilukan.
"Mom, bolehkah aku memelukmu?"
Teringat ucapan Yeri saat gadis itu mulai kembali pada keluarga kandungnya. Saat itu Yeri masih sedikit canggung. Hingga gadis itu harus izin terlebih dulu saat ingin memeluk ibu kandungnya sendiri.
"Maafkan Mommy karna sudah egois. Mommy benar-benar tidak bisa kehilangan Yerim." ucap Irene dengan suara bergetar. Ia menundukkan kepalanya, kembali mencium punggung tangan putri bungsunya.
Wanita itu sadar, putri bungsunya jelas kesakitan. Tapi ia juga tidak rela jika tim medis melepas alat-alat itu dari tubuh Yeri. Itu sama saja mereka membiarkan Yeri pergi dari hidupnya.
Hingga bunyi nyaring tiba-tiba terdengar menakutkan di ruangan itu. Dokter dan beberapa perawat terlihat masuk ruang ICU. Irene sedikit menyingkir saat tim medis mendekati bangsal putri bungsunya.
Irene merasa kakinya melemas. Melihat bagaimana mereka melakukan tindakan resusitasi jantung paru pada Yeri. Rasanya Irene tak mampu menopang beban tubuhnya, ia bersandar pada dinding di belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROMISE 2
Fanfiction"Inikah caramu menghukum ku?Jika iya, kau benar-benar berhasil melakukannya." "Mengapa kau tak mengatakannya dari awal!" "Satu kali pun kau tak pernah memberiku kesempatan untuk mengatakannya!" "Jika kau dengar ini, kembalilah. Hanya kau yang bisa m...