36. Si Ganteng

239 29 43
                                    

Segera ungkap kebenarannyaa atau harus aku yang mengungkap dengan sejujur - jujurnya?

Cahaya tertegun begitu membaca kalimat yang terdapat di dalam amplop berwarna merah yang ia dapatkan tadi. Apakah tidak salah mengirim? Atau memang surat ini benar - benar dibuat dan dikirim untuknya?

Wanita itu berdiri dari posisinya uang semula jongkok, ia membawa amplop beserta kertas itu mendekat ke ranjang, lalu ia sembunyikan di bawah bantalnya. Tak mau ada orang yang melihat atau menemukan surat itu, cukup dirinya saja. Ia juga belum tahu pasti apa maksud dari surat itu, juga pengirimnya.

Cahaya terdiam sejenak, memikirkan bagaimana seseorang dapat masuk ke dalam kamarnya. Bukankah mencurigakan? Pengirim surat itu seolah mengintainya, tahu timing yang tepat untuk menyelipkan surat itu ke dalam kamarnya, yang pasti adalah saat ia pergi menghirup udara segar tadi.

“Siapa yang mengirim surat ini? Apakah... dia?” Cahaya menerka - nerka.

Raut wajahnya tak tenang, sepertinya ia mencurigai seseorang yang dikenalnya. Namun, Cahaya dengan cepat menggelengkan kepalanya, ia tak mau terlalu overthinking, keadaannya pun belum begitu pulih. Wanita itu tak boleh memiliki beban pikiran agar segera sehat kembali.

Tak lama dari itu, ia mendengar suara derap langkah sepatu yang mendekat ke arah kamarnya, suara sepatu itu begitu khas karena ketika si pengguna berjalan, dengan sendirinya suara resleting di sepatunya itu akan terdengar. Dan pemilik sepatu itu adalah—

“Ourel....”

Gadis itu tersenyum, menutup kembali pintu kamar bibi nya lalu mendekat seraya menyimpan tas nya di kursi. Ourel menyeret bangku bulat besi berwarna putih yang berada di dekat almari kasur, lalu didudukinya.

“Gimana sekarang?” tanya Ourel.

Cahaya mengerutkan dahinya tak mengerti. “Apanya yang gimana?” Ourel terkekeh, ia pun tak mengerti apa yang dirinya ucapkan sebelumnya. “Keadaan bibi,” balasnya.

Cahaya tersenyum, mendekat ke arah Ourel lalu membelai rambut gadis itu. “Bibi udah sembuh, soalnya ada kamu disini,” jawabnya sambil tersenyum.

Ourel ikut tersenyum, senang mendengat bibinya berucap seperti tadi. Gadis itu melirik ke arah jam persegi yang tersimpan di tembok bercat putih itu. Waktu menunjukkan pukul satu siang, suasana di luar pun begitu cerah, matahari tak malu - malu menampakkan dirinya ke bumi.

Hufh... bibi gak kepanasan?” tanya Ourel sembari mengibaskan tangannya kegerahan. Terlihat dari wajahnya yang memerah, serta beberapa tetes keringat di dahinya.

“Nggak, kamu keluar aja cari angin, seger kok.” saran Cahaya.

Ourel mengangguk, saat berada diperjalanan menuju ke rumah sakit pun, Ourel berniat mengunjungi taman yang ada di halaman rumah sakit, taman itu menarik perhatiannya sejak pertama kali ia datang.

Ourel bangkit dari bangkunya, namun kakinya yang hendak melangkah terhenti begitu mendengar dua lelaki yang sedang mengobrol di luar kamar bibinya ini. Dan Ourel tahu siapa kedua lelaki itu, Putra dan Reki.

tok tok tok

Pintu kaca itu diketuk, Cahaya dan juga Ourel refleks menengok. Tak lama, pintu dengan amat pelan dibuka oleh seseorang, begitu melihat Ourel, lelaki itu tersenyum kikuk. Putra, lelaki itu tak memberi pesan pada Ourel jika ia akan datang kemari. Dibelakangnya, Reki dengan polosnya membuka pintu lebih lebar dan masuk terlebih dahulu.

“Eh? Hai Ourel....” sapa Reki tanpa canggung begitu papasan langsung dengan gadis yang selalu ia sebut sebagai cewek es itu.

Ourel diam, ia tak menjawab sapaan Reki dan malah membalikkan badannya menghadap ke arah Cahaya yang kini sedang kebingungan. Wanita itu tak mengenal dua orang lelaki yang berseragam sama dengan Ourel.

“Ehm, Ourel keluar dulu, Bi.” pamitnya lalu keluar dari kamar melewati Putra dan Reki.

Putra dan Reki saling bertatap, Putra menaikkan dagunya seolah menyuruh Reki berbicara. Namun lelaki itu mendelik, menaikan bahunya lalu menurunkannya kembali. Okey, mengajak Reki kemari adalah keputusan yang disesali Putra.

“Kalian... temannya Ourel?” tanya Cahaya mencoba memecah keheningan.

Reki menggeleng, Putra mengangguk. Putra menginjak kaki Reki, sehingga lelaki itu dengan cepat meralatnya, dan ikut mengangguk. Terbayang bagaimana suasananya? yh jikalau aku ada disana, aku adalah bengek 😀

“Hehehe, iya kita temannya Ourel, Bi— eh tante,” ujar Putra membalas.

“Oh! Kamu yang minta ketemu di cafe itu 'kan?” tanya Cahaya begitu mengingat saat Ourel memintanya untuk bertemu seseorang di cafe, namun niatnya itu tak berjalan lancar karena ia mengalami kecelakaan yang tak pernah diduga sebelumnya.

Putra mengangguk. “Iya, maaf tant—”

“Panggil bibi aja gak apa - apa.” potong Cahaya.

Putra mengangguk lagi. “Iya Bi, maaf ya gara - gara Putra bibi jadi k-kecelakaan....” ujar Putra merasa bersalah.

Cahaya terdiam sejenak, tatapannya dengan serius memandangi setiap lekuk wajah Putra. Entah memang cara menatapnya seperti itu, atau Cahaya terpesona dengan visual yang dimiliki Putra, yang jelas lelaki yang sedang di tatap itu malah merasa risih.

“Ah, iya. Itu sudah takdir nya bibi kok, kamu jangan merasa bersalah,” balas Cahaya seraya mengalihkan pandangannya.

Putra merasa aneh, tatapan itu seolah mengartikan seorang ibu yang sudah lama tak melihat putranya. Pundak Reki menyenggol pundak Putra, lelaki itu menoleh, Reki memberinya kode untuk membicarakan soal rahasia itu.

“Eh, dilihat - lihat kamu ganteng juga ya hehe,”

Putra terkejut, ia tak menyangka Cahaya akan berkata seperti itu kepadanya. Sedangkan Reki, lelaki itu mengerutkan dahinya. “Saya gak ganteng, Bi?” tanyanya polos.

Cahaya tertawa. “Kamu juga kok, semua laki - laki kan ganteng,”

Reki tersenyum bangga. “Tuh Put, gue dibilang ganteng!” sombong Reki. Padahal yang pertama dipuji itu Putra, xixi

Putra memutar bola matanya malas, ah, lelaki itu kembali teringat soal rahasia yang benar - benar ingin ia tanyakan. Ini adalah kesempatan yang langka, ia harus memanfaatkan nya sebaik mungkin.

“Bi, waktu Putra minta ketemuan di cafe, itu ada hak penting yang mau Putra tanyain, kalo Putra tanya sekarang, boleh?” ujarnya meminta persetujuan.

Cahaya mengangguk. “Boleh, sambil duduk aja, emang kalian gak pegel?” tanya wanita itu.

Reki memegang lututnya. “Pegel banget, sumpah Bi,” balas Reki tak tahu malu.

Tak cukup sekali penyesalan, Putra benar - benar salah mengajak Reki untuk menemaninya. Tapi terlanjur, penyesalan datangnya di akhir, kalo di awal namanya pendaftaran. xixi

Putra dan Reki duduk di sofa panjang yang empuk, tempat duduk bagi para keluarga/penjenguk datang berkunjung. Setelah itu, Putra terdiam sejenak, ia bingung harus memulai dari mana.

“Eh, kayaknya gue keluar aja ya? Biar Bibi sama Putra ngomongnya enak,” ucap Reki tiba - tiba. Tanpa menunggu jawaban dari keduanya, Reki segera kabur dari ruangan itu. Okey, suasana semakin canggung, dan Putra semakin kebingungan dengan apa yang harus dilakukannya saat ini.

Selamat tinggal ketenangan, selamat datang rasa canggung satu paket dengan rasa grogi dan bingung ~

r a l a b e e

YEAY ALHAMDULILLAH bisa update dua chapter hari ini. Bab 36 ini aku nulisnya bener - bener satu waktu, biasanya suka aku tunda sampe sehari bahkan lebih hihi. semoga kedepannya lebih sering update dan cepet cepet tamat. SEMOGA SUKA YYA LOVE








dream : hidden reality ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang