Mendahului sang surya yang sama sekali belum terlihat di ufuk timur sana, gadis cantik berambut pendek itu tengah menghirup udara pagi di balkon kamar miliknya.
Walaupun terasa menyegarkan, suasana pagi hari buta ini begitu dingin. Sedingin wajahnya, sedingin hatinya, juga sedingin kehidupannya.
Telah menjadi rutinitasnya bangun sedikit lebih pagi dari orang - orang biasanya seperti ini. Karena menurutnya, untuk apa tidur lebih lama jikalau nasib dan takdirnya tidak akan pernah berubah.
Gadis itu pun tak terlalu senang menghabiskan waktunya untuk terlelap. Tidur lebih lama hanya akan membuatnya banyak bermimpi. Walaupun seharusnya menyenangkan, karena terkadang mimpi seringkali lebih indah daripada kenyataannya.
Ia harus menerima garis takdirnya yang pahit. Ia tahu Tuhan telah merancang hidupnya seindah mungkin, walau ia tak tahu kapan terakhir kata - kata indah itu terjadi dalam kehidupannya. Ia tak mau menghindar dari takdir. Mau tak mau ia harus menjalaninya, walaupun dengan terpaksa.
Ourellia, gadis pemilik sorot mata datar itu tidak pernah mengenal bidadari tak bersayapnya. Tak seperti anak seumurannya yang lain, sedari dulu ia hanya bisa memandangi mereka yang bersenang-senang dengan keluarganya. Bercanda dengan sang ayah, tertawa bersama ibu, juga dilengkapi kehangatan dari seorang kakak maupun adik.
Gadis itu tinggal bersama pria dingin yang bahkan ragu untuk ia sebut sebagai seorang ayah. Lalu seorang kakak lelaki, dan wanita baik hati yang memiliki status sebagai baby sitter sejak mereka kecil yang kini merangkap menjadi pembantu rumah tangga.
Beberapa kali ia menanyakan soal keberadaan ibunya, mereka selalu mengangkat bahu seolah tak tahu. Ourel bukan gadis bodoh, mungkin pembantunya memang tak tahu, tapi jelas ayahnya pasti tahu. Segalanya memilki alasan, ia yakin bahwa sang ayah menyimpan rahasia besar yang ia putuskan untuk disimpan sendiri.
Ah, walaupun ini berhubungan dengan kejelasan hidupnya, ia tak bisa memaksa. Jika ayahnya bilang tidak, jelas tidak. Rasa penasarannya yang begitu besar terpaksa harus ia simpan dalam - dalam. Suatu saat nanti, ia yakin semuanya akan terjawab, walau tak ada kepastian.
Pria berumur itu jarang sekali berbicara. Pulang pun hanya beberapa kali dan selalu marah-marah tak jelas. Meskipun begitu, Ourel bersyukur karena Darma masih mengizinkannya untuk tinggal di sebuah rumah yang amat layak ditempati, juga seorang wanita yang ditugaskan untuk mengurus mereka.
Darka Adhitama, satu-satunya keluarga yang ia kenal itu hanya berjarak satu tahun darinya. Namun, dari segi kepribadian, cowok itu memiliki sifat yang jauh berbeda dengan sang adik.
Jika Ourel cuek, datar, dan tak peduli dengan sekitarnya, Darka mudah bergaul, murah senyum, dan peduli pada orang - orang yang bahkan tak ia kenal. Entah belajar darimana, sepertinya sifat - sifat itu adalah turunan. Dari sosok Darka, dapat diperjelas bahwa salah satu sifat sang ibu memiliki hati yang lembut.
Hari-hari mereka ditemani bersama sang pembantu—Cahaya—yang sedari dulu bersama dan mengurus Darka juga Ourel sejak kecil. Sesuai dengan namanya, ia adalah satu - satunya cahaya yang menerangi gelapnya hidup kedua anak itu. Sebuah kehangatan, rumah bagi jiwa yang tersesat, juga satu-satunya pengganti sosok ibu yang selalu mereka dambakan kehadirannya.
Kembali pada cerita, waktu terus berputar hingga kini usai menunjukan pukul setengah lima pagi. Ourel melangkahkan kembali kakinya masuk ke dalam kamar. Membereskan kasur tidurnya yang bersprai hitam polos.
Ia memasuki kamar mandi, mulai membersihkan diri dari atas hingga ke ujung kaki. Merasakan sensasi dinginnya air di pagi hari yang sudah menjadi teman sehari - harinya.
Selesai itu, ia mulai memakai seragam sekolah dan juga atribut lainnya. Bercermin sembari berhias juga menata rambutnya yang dibiarkan menggerai.
Gadis itu menatap pantulan wajahnya di cermin, sedikit demi sedikit mengembangkan sebuah senyum paksa yang selalu ia lakukan untuk mulai mencintai kehidupannya.
“Ourel, hari ini, esok dan seterusnya akan baik-baik saja, percayalah.” ujarnya. Menyemangati diri sendiri walau pada akhirnyapun mengasihani diri sendiri.
Ourel keluar dari ruangan bernuansa serba hitam itu. Menuruni anak tangga satu persatu dengan perlahan, berjalan mengarah ke dapur untuk menyantap sarapan pagi.
Sudah ada Darka yang sedang berbincang asik dengan Cahaya disana. Mereka menertawai obrolannya, entah apa yang dibicarakan, Ourel tak tahu dan tak ingin tahu.
Cowok itu menoleh begitu sadar akan kehadiran sang adik, tersenyum manis menyambutnya dengan hangat. “Selamat pagi, Ourel,” ucapnya.
Cahaya ikut menoleh, “Hari ini sarapannya spesial, roti panggang bentuk love untuk dua orang kesayangan Bibi!” serunya semangat.
Wanita itu sudah menganggap mereka layaknya buah hati sendiri. Karena katanya, ia pernah berkeluarga namun belum dikaruniai seorang anak. Disamping itu, banyak masalah yang menghampiri rumah tangga mereka yang pada akhirnya memutuskan untuk berpisah dan menjalankan hidup masing - masing.
Darka dan Ourel tak tahu cerita hidup lebih dalam soal sang bibi, yang terpenting adalah wanita itu selalu bersama mereka dan akan terus seperti itu sampai kapanpun.
Ourel menanggapi seruan Cahaya dengan senyum tipis. Gadis itu mulai menyantap sarapannya. Meminum segelas susu yang telah dituangkan untuknya dan segera pergi ke dapur setelah selesai.
“Pulang sekolah kamu pulang sendiri ya, Rel. Abang ada latihan basket buat pertandingan nanti,” ujar Darka yang tiba - tiba muncul sembari membawa gelas dan piring kotor.
Ourel mengangguk. “Iya.”
Sekarang sudah pukul enam lebih dua puluh menit, Darka segera memanaskan motornya dan pergi ke sekolah bersama sang adik.
Perjalanan dari rumah mereka sampai ke sekolah hanya butuh sekitar 10 menit jika menggunakan kendaraan bermotor. Jikalau Darka tidak pulang bersama Ourel, gadis itu lebih memilih pulang dengan berjalan kaki.
Selain menghemat uang jajan, juga menggerakan otot-otot di dalam tubuh yang sudah lama tidak berolahraga. Sebenarnya bukan itu alasan yang sesungguhnya, lebih tepatnya agar sampai ke rumah lebih lama.
Tidak pulang bersama kakaknya, berarti di rumah akan lebih sepi seperti biasanya. Ourel akan sengaja memperlambat jalannya sambil menikmati jalanan di sore hari, sesekali pergi ke cafe sendiri atau membaca buku di toko buku terdekat.
Darka juga tidak melarangnya, mungkin jika dia tidak memiliki banyak teman seperti Ourel ia akan melakukan hal yang sama. Berkeliaran sendirian.
Asal adiknya tahu waktu untuk pulang, menjaga diri dan tidak lupa makan, Darka tidak ada masalah dengan semuanya.
Ini hari Senin pertama setelah libur kenaikan sekolah kemarin, Ourel telah menginjak kelas sebelas dan Darka satu tingkat lebih tinggi, kelas dua belas. Darka akan lebih menggiatkan belajarnya agar dapat mencapai nilai yang tinggi saat kelulusan nanti, sedangkan Ourel dengan otaknya yang tidak terlalu pintar lebih tertarik pada novel-novel fantasi atau novel remaja.
Sesampainya di sekolah, belum terlalu ramai. Entah mereka yang terlalu pagi atau memang murid-murid disana butuh libur tambahan. Entahlah.
Sedari tadi, ketika Darka memarkirkan motornya di parkiran sekolah ia merasa ada seseorang yang terus memperhatikannya, entah hanya perasaan saja atau memang benar. Ia sedikit terganggu namun bersikap tidak peduli dan lebih baik melupakannya.
"Gue duluan, nanti pas lo mau pergi gausah cari gue dulu. Takutnya lo akan terlambat, sampai jumpa, bang."
Kata Ourel lalu meninggalkan Darka dan pergi ke kelasnya yang berada di lantai atas. Darka hanya tersenyum melihat kepergian adiknya, padahal hanya ditinggal ke kelas tapi ia merasa akan ditinggal selamanya.
Memang, Darka orangnya sangat dramatis dan alay.
"REKI BHASKARA!"
"SAPUTRA DIRGANTARA!"
"Tuh kan bener kata gue! Mimpi gue selama ini bukan kaleng-kaleng. Dia yang dateng ke mimpi gue tiap tanggal 13 Februari!"
Darka yang tengah mengunci dan memeriksa motornya mendengar suara bising dari dua lelaki yang tak dikenalnya. Saat mendengar kata 13 Februari, ia teringat dengan hari lahir Ourel.
Perasaannya mengatakan bahwa mereka sedang membicarakan adiknya, namun banyak yang lahir pada tanggal dan bulan itu. Bukan hanya Ourel saja, Darka pun pergi ke kelasnya dan meninggalkan mereka yang masih sibuk bertengkar.
KAMU SEDANG MEMBACA
dream : hidden reality ✓
Ficção AdolescenteKarena sebuah mimpi aneh yang memperlihatkan beberapa kepingan hidup seorang gadis yang sama sekali tak dikenalnya, Putra terpaksa harus menjalankan permainan yang sama sekali tidak dimulai olehnya. Mimpi itu mulai datang sejak Putra berusia dua bel...