Pukul sembilan lebih tiga puluh menit, tim BAJA beserta para pendukung nya datang ke wilayah SMA Pelita diiringi wajah songong. Ada pula para siswa-siswi yang dikirim secara paksa untuk mendukung tim basket sekolah mereka, terlihat dari raut-raut wajahnya yang malas.
Para pendukung di arahkan untuk naik ke gedung sebelah kiri, sebagai tempat mereka akan menonton nanti.
Sedangkan para pemain di arahkan ke ruangan khusus yang dimiliki SMA ini. Ruangan itu sebesar ruangan kelas-kelas, dari awal memang dijadikan sebagai ruangan khusus bagi lawan yang akan berlomba di sekolah mereka, spesial bukan?Oh, anak-anak SMA Wijaya beserta tim basket kompak mengenakan baju putih polos. Entah apa arti warna itu bagi mereka, yang jelas, ada satu orang di pojok kantin yang menertawakan seragam yang dikenakan mereka.
"Lihat tuh, mau jadi pendukung apa mau mulung, baju nya lusuh amat!" cibir Reki sambil menahan tawa.
Mulut Reki sudah tidak memiliki fitur filter lagi apabila berurusan dengan ejek-mengejek. Sedari dulu Reki merasa gedeg dengan tim basket yang satu itu, dimana mereka berlagak seolah seperti pemain basktet internasional yang sudah mendunia.
Disamping Reki, Aksa menatap keheranan dengan sifat temannya. Jika diibaratkan, lelaki itu seperti ibu-ibu yang sedang menggibahi anak tetangga sebelah yang kelihatan lusuh. Putra menahan tawa di depan mereka, mendengar ujaran Reki ditambah melihat ekspresi Aksa.
"Jangan heran, Sa. Dari dulu si Reki mulutnya emang tajem banget, tiap hari diasah pake pisau si Mamang kayaknya!" tutur Putra.
Aksa tertawa mendengarnya, sedangkan Reki tak peduli dan masih mengitari pandangannya ke area sekolah memperhatikan gerak-gerik anak-anak Wijaya yang bergerombol layaknya mau gelut.
Putra kembali teringat dengan seseorang, dengan cepat ia memperhatikan setiap siswi yang sebagian sudah berada di atas. Mata Putra dengan lihai bergerak kesana-kemari, mencari sosok yang sudah lama tak ia temui, mungkin sampai saat ini gadis itu masih benci padanya akibat perlakuan yang ia berikan satu tahun yang lalu.
"Ketemu!" seru Putra begitu sesuatu yang ia cari dapat.
Reki dan Aksa menoleh, kedua lelaki itu melihat Putra sedang menunjukkan jari telunjuk nya ke arah atas gedung yang padat oleh manusia berbaju putih.
Aksa mengikuti kemana arah pandang Putra, telunjuk itu mengarahkannya pada sekelompok gadis yang sedang tertawa. Aksa sedikit terkejut, ia melihat seseorang yang terlihat familiar di jajaran itu. Wajah nya mirip dengan Ourel, hanya saja sedikit berbeda dan rambut gadis itu terurai panjang.
"Itu ..."
"Layla," ucap Putra menoleh pada Aksa.
Aksa menatap ke arah Putra, ia tertawa lalu menoleh kembali ke arah gadis itu. Bukan tanpa alasan, Aksa merasa aneh, ia pun teringat soal Putra yang salah mengenali seseorang. Reki mengerinyitkan dahi nya heran dengan kedua lelaki itu, apa yang sedang mereka bicarakan?
"Apaan? Layla siapa?" tanya Reki penasaran.
Putra memutar bola matanya malas, lalu mengangkat dagu nya mengarah pada Aksa, mengisyaratkan bahwa ia meminta Aksa untuk menjelaskannya.
"Lo inget waktu Putra kelas sepuluh ngira seseorang sebagai Ourel? Padahal bukan, mereka cuman mirip doang, itu Layla," jelas Aksa.
Reki membulatkan mulut nya membentuk huruf O sambil mengangguk-anggukan kepala mengerti.
"Terus?" tanya nya lagi.
Putra mengehela napas panjang, itulah mengapa ia malas menjelaskan sesuatu pada Reki, otak nya terlalu payah menerima sebuah penjelasan. Ia bahkan bingung bagaimana cara Reki belajar, bukankah butuh kapasitas otak yang besar untuk menerima segala pelajaran yang diberikan?
KAMU SEDANG MEMBACA
dream : hidden reality ✓
Fiksi RemajaKarena sebuah mimpi aneh yang memperlihatkan beberapa kepingan hidup seorang gadis yang sama sekali tak dikenalnya, Putra terpaksa harus menjalankan permainan yang sama sekali tidak dimulai olehnya. Mimpi itu mulai datang sejak Putra berusia dua bel...