29. Merah

226 36 11
                                    

Hari Rabu, hari dimana sejarah baru akan dimulai. Pertandingan sengit antara tim basket SMA Pelita dan tim basket SMA Wijaya akan dilaksanakan pukul sembilan mendatang.

Seluruh siswa pelita memakai kaos berwarna merah, serasi dengan kaos basket BASTA, kepala sekolah mengumumkannya secara resmi kemarin. Bagi mereka, merah melambangkan keberanian, semangat, percaya diri dan kemenangan.

Karena para siswa dan siswi memakai baju merah sesuai kepunyaan mereka, terlihat lah berbagai macam warna merah terlihat mencolok jika melihat dari gedung lantai dua. Termasuk Putra yang sedang melamun di depan kelas nya, bersama Aksa dan Reki tak lupa.

"Kok gue risih ya lihat nya," ujar Putra sambil melirik ke arah bawah.

Aksa ikut melirik arah pandangan Putra, sedangkan Reki sedang asik selfie dengan pose-pose alay menyertainya.

"Mata lo tutupin pake baskom biar nggak risih, lagian ngapain lo make baju merah juga? Bukannya pake kaos putih lusuh kayak pendukung tim BAJA? Lo kan anak Wijaya," sembur Reki tanpa mem-filter terlebih dahulu ucapannya.

Putra menoleh sinis, apakah ia tak dianggap sebagai murid SMA Pelita? Biarpun baru seminggu, ia sudah resmi menjadi anak Pelita meskipun pernah menjadi bagian Wijaya pada satu tahun yang lalu.

Lelaki itu pun lebih mendukung tim BASTA dibandingkan BAJA. Oh, sekedar funfact, Putra adalah mantan anggota BAJA yang keluar di hari pertama ia masuk tim itu. Putra tak suka dengan gaya Yansen, leader seluruh angkatan yang kini sudah menjalani kuliah semester 4 itu.

Dibandingkan ketua tim basket, dalam pandangan Putra pria itu seperti ketua preman pasar. Entahlah, anak-anak buah nya yang masih belum lulus SMA pun wajah nya macam anak gengster, Putra seolah daftar ke perekrutan anggota geng dibanding daftar basket.

"Sialan lo, gue juga males sama anak BAJA, modelan preman, wajah sangar tambah mulut pedes main basket, begimana ceritanya," balas Putra heran.

Reki menyipitkan mata nya curiga ke arah Putra, "Cih, pengkhianatan Lo!"

Putra mengangkat bahu tak peduli, untung saja saat di SMA Wijaya dirinya membuat kerusuhan sehingga berakhir pindah sekolah. Jika tidak, ia pasti akan menyesal sekolah disana.

Aksa melirik pada Putra, ia mengingat sesuatu, tepat nya mengingat seseorang yang sekolah di SMA Putra sebelumnya.

"Perempuan yang mirip Ourel itu, ada di SMA Wijaya, kan? Dia datang juga?" tanya Aksa tiba-tiba.

Putra terkejut, ia baru ingat bahwa Layla sekolah disana. Apakah gadis itu akan datang kemari? Bagaimana kabarnya? Sepertinya Layla masih tak menyukai Putra hingga saat ini karena dirinya terus menganggu gadis itu saat mereka masih kelas 10 kemarin.

"Lah iya! Si Layla, sumpah dia mirip banget sama Ourel, cuma sifatnya doang yang beda, kalo wajah nya, ah nanti juga pas dia datang lo bakal ngira dia Ourel!" seru Putra.

Aksa mengangguk-anggukan kepala nya, lalu beralih kembali melihat-lihat lautan merah di bawah sana. Reki yang sudah selesai berfoto ria kini menopang dagu nya sambil melihat ke arah langit, melihat awan colomus yang berwarna putih bersih.

"Sumpah deh ya, gue kepengen banget tiduran di atas awan, gila sih,"
jujur Reki.

Putra melirik ke arah Reki heran, tiba-tiba saja lelaki itu mengkhayal ingin merebahkan tubuh nya di atas awan. Jika memang ada dan bisa, coba bayangkan ketika kalian melihat ke arah langit, nuansa biru putih disana akan dikotori oleh para manusia!

"Emang gila lo, random banget, udah ah ayo cabut kita ke kantin!" balas Putra.

Lelaki itu pergi terlebih dahulu, meninggalkan dua orang yang memiliki kepribadian yang jauh berbeda. Reki melirik ke arah Aksa yang masih tenang memandangi suasana ramai di lapangan.

"Sa? Diem-diem bae lu! Gue duluan ya, lo lanjutin aja ngelamun nya sampe kesurupan terus nular jadi masal, biar anak-anak basket kita kerasukan arwah pemain basket profesional terus menang deh, oke? Nggak deh bercanda, takut gue, bye!" ujar Reki lalu kabur.

Aksa menggelengkan kepala nya heran dengan kelakukan lelaki itu, daripada ia benar-benar kerasukan, lebih baik dirinya ikut pergi ke kantin.

-

Sejak bibi nya tersadar dan langsung membicarakan soal Putra yang berada di dalam mimpi nya, Ourel memiliki banyak sekali pertanyaan dalam benak nya.

Gadis itu ingin sekali menanyakan soal rahasia yang Putra bilang ada di bibi nya, Cahaya. Lelaki itu juga bilang bahwa kemungkinan besar Cahaya adalah ibu kandung nya. Ourel belum sepenuhnya percaya sebelum ia mendengar pengakuan langsung, namun lebih baik jika Putra yang langsung bertanya, bukan dirinya.

Oh, soal Darka, tadi pagi kakak nya itu pulang ke rumah terlebih dahulu karena ia terpaksa harus mengikuti tanding basket di sekolah. Sekarang sudah pukul setengah delapan, mungkin Darka sudah berada di sekolah sejak tadi.

Ourel masih berada di dalam kamar rawat, semalam pun ia tak bisa tidur nyenyak karena terus memeriksa keadaan bibi nya takut terjadi sesuatu. Tapi pagi ini wanita itu terlihat lebih segar dari kemarin, semoga saja secepat nya ia dan bibi nya bisa kembali ke rumah.

"Ourel," panggil Cahaya.

Sang pemilik nama yang lagi-lagi sedang menatap ke arah langit lewat kaca itu menoleh, menyauti panggilan bibi nya. Ourel mendekat ke arah ranjang, lalu duduk di kursi dengan pandangannya yang tak lepas dari Cahaya.

"Kenapa Bi?" tanya Ourel.

"Kamu ke sekolah aja, bibi nggak apa-apa kok sendirian disini, bibi juga udah lumayan enakkan, kamu lihat sendiri kan?"

Cahaya yang tengah terduduk di ranjang nya merentangkan tangan, meyakinkan pada gadis di hadapannya bahwa dirinya sudah merasa lebih baik.

Ourel menggeleng, ia sudah janji untuk menjaga wanita kesayangan nya, pergi ke sekolah pun tidak begitu penting, menurut Ourel keramaian disana malah akan mengganggu nya, ia lebih suka tempat yang lebih sepi.

Cahaya tak lengah, ia terus membujuk Ourel agar pergi ke sekolah, "Semangati abang kamu, dia butuh penyemangat, kamu tega, hm?"

Lagi-lagi Ourel menggeleng, Cahaya mengambil rayuan yang salah. Ourel tahu bahwa Darka bukan orang yang menggantungkan dirinya kepada orang lain, soal semangat tak semangat pun bukan karena adanya pendukung, melainkan karena diri kita sendiri.

"Please, Ourel, kamu ke sekolah saja ya? Bibi janji, setelah kamu pulang sekolah, bibi akan lebih sehat lagi, oke?" bujuk Cahaya.

Ourel menghela napas nya panjang, memang nya kenapa jika ia tak pergi ke sekolah? Orang-orang pun tak akan ada yang peduli, mungkin mereka tak akan sadar jika dirinya tidak hadir disana, Ourel bukan siswi yang berperan penting di sekolah nya.

"Kenapa bibi mau Ourel pergi ke sekolah?" tanya gadis itu.

Cahaya tersenyum, "Mmm, perasaan bibi kayak harus nyuruh kamu datang ke sekolah, nggak tahu ada apa deh," jujur nya.

Ourel mengerutkan dahi nya, apa setelah kepala bibi nya terbentur otak nya menjadi kurang berfungsi sehingga mengikuti kata hati? Seberapa penting menuruti keinginan sebuah perasaan?

Gadis itu tersenyum singkat lalu mengangguk, ia tahu perasaan Cahaya pada dirinya selalu baik. Ourel menuruti kata Cahaya untuk pergi ke sekolah, semoga saja sesuatu yang baik datang menghampiri nya.

ʳᵃˡᵃᵗⁱ

heii, kita bertemu lagi! cover baru semoga membawa semangat baru, juga para readers baru yang berdatangan hehe, aamiin. see ya💘

dream : hidden reality ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang