Hujan turun membasahi kota Bandung, diawali dengan rintik-rintik sebelum intensitasnya bertambah hingga tiga kali lipat. Bau khas tanah yang basah menyusul setelahnya, menguarkan aroma petrichor yang terasa lebih menyengat mengingat sudah lama tidak turun hujan.
Seakan tidak cukup, angin kencang turut berperan hingga menciptakan suara ribut pada kanopi baja, beradu dengan suara hujan yang deras. Sebagian besar penduduk yang tidak terlindung hujan segera mengumpat kesal, mempercepat langkah mereka sementara kendaraan berlalu-lalang.
Hanya dalam waktu beberapa menit saja, jalanan di pusat kota Bandung terkena sindrom rush-hour.
Di antara mereka, terlihat seorang cewek berlari cepat menuju Universitas Asoka dengan kedua tangan terangkat ke atas, melindungi kepalanya dari hujan dengan tas selempang. Rambutnya pendek sebahu, dia berusaha menyelip di antara keramaian dan lantas berhenti sejenak untuk meminta maaf setiap menyenggol bahu orang lain secara tidak sengaja.
Selain melindungi pakaiannya, Felina mengejar waktu supaya tidak terlambat. Cewek itu mengecek arloji di pergelangan tangannya dan lantas memekik ketika waktu sudah menunjukkan pukul delapan tepat.
Liburan semester ganjil telah berakhir dan sialnya pertemuan hari ini diawali dengan mata kuliah Bu Wina. Beliau termasuk dosen killer dan terkenal senang mempertaruhkan nilai mahasiswa. Dalam konteks ini, keterlambatan juga termasuk.
Waktu menunjukkan pukul delapan lewat dua menit ketika Felina menghempaskan diri ke bangkunya. Keringat membanjiri seluruh tubuhnya, membuatnya kepanasan padahal sekarang sedang hujan lebat. Pakaiannya juga setengah basah. Meski hari ini adalah hari yang mengesalkan buat Felina, setidaknya bagian dalam bajunya terselamatkan oleh jaketnya. Juga, cewek itu tiba lebih dulu sebelum Bu Wina.
Bu Wina masuk ke dalam kelas dengan langkah wibawanya, dipertegas oleh bunyi sepatu pantofel secara berirama. Tanpa berbasa-basi, beliau segera mengabsen kehadiran mahasiswa sebelum memulai perkuliahan.
Hujan masih belum puas-puasnya menghujani bumi, tetapi beruntung hujan pada akhirnya berhenti seperempat jam sebelum proses perkuliahan berakhir. Felina bersyukur setidaknya dia tidak perlu terkena hujan.
Matahari mulai bersinar terang, seakan hadir untuk mengeringkan segala isi bumi yang sudah basah karena hujan. Felina mendongakkan kepala dalam perjalanannya menuju halte bus. Sebuah pelangi. Pelangi indah yang muncul setelah hujan, seakan ingin menghibur semua makhluk di dalamnya pasca diterjang badai hujan. Walau sebentar, tidak heran jika banyak orang menyukai pelangi. Termasuk dirinya.
"Lo suka pelangi?" tanya sebuah suara di belakangnya. Felina menoleh cepat.
Jerico.
Jantung Felina bergetar. Cowok itu memamerkan senyum seringainya yang biasa.
"Lo kuliah hari ini?" tanya Felina, tetapi cewek itu sengaja membuang mukanya. Dia menyelesaikan langkahnya yang sempat tertunda untuk duduk di bangku panjang yang disediakan di pemberhentian bus.
"Iya, gue baru pulang juga," jawab Jerico, setelah mengikuti jejak Felina.
Keduanya tidak berbicara lagi sampai sebuah bus berhenti dan mereka naik bersama orang-orang. Felina segera mencari tempat favoritnya. Anehnya Jerico malah duduk di sampingnya, membuat cewek itu gugup. Mau tidak mau dia teringat dengan kenangan pertama kali mereka bertemu.
"Eh dipikir-pikir, ini yang ketiga kalinya kan kita duduk bareng di bus?" tanya Jerico sambil menatapnya intens. Alih-alih balas menatap, Felina lebih tertarik memandang ke luar jendela meski tidak sedang fokus.
"Hei, lo denger gue nggak?"
"Lo tau nggak kenapa pelangi bisa muncul?" tanya Felina tiba-tiba. Wajahnya memerah.
"Bukannya setelah hujan?" tanya Jerico balik untuk memastikan.
"Trus?"
"Nggak hanya hujan, pelangi juga membutuhkan matahari untuk memberi cahaya. Juga, memerlukan titik-titik hujan untuk membiaskan cahaya putih pada tujuh warna pelangi; merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Cahaya putih matahari akan memasuki titik-titik untuk membiaskan warna pelangi itu. Oleh karenanya, akan terpencar pelangi yang melengkung membelah alam," jelas Jerico, berteori.
Felina tidak menoleh, matanya tetap memperhatikan pelangi yang seakan mengikutinya sementara bus melaju dengan kecepatan sedang. Cewek itu tidak sadar kalau sejak tadi Jerico menjelaskan teori pelangi lewat internet, bukannya lewat pengetahuan dalam otaknya. Cowok itu terus membaca, "Lo tau nggak kalo cinta ibarat pelangi?"
"Hah, kok bisa?"
"Soalnya setiap liat pelangi perasaan kita akan kagum dan senang, begitu pula cinta. Selalu membuat kita kagum dan senang. Juga bahagia."
*****
Pelangi adalah salah satu fenomena alam yang muncul setelah hujan. Durasinya terlampau singkat, tetapi keindahannya seakan terbayarkan. Layaknya keramik yang harus melewati proses pembakaran sebelum dibentuk menjadi porselen yang indah, pun demikian dengan pelangi.
Kehidupan manusia juga tidak luput dari hujan badai, tetapi percayalah, akan ada pelangi yang muncul setelahnya.
Dari sekian jumlah keluarga yang terdaftar dalam Kartu Keluarga, ada dua keluarga yang ditakdirkan untuk terhubung satu sama lain gegara ketidakjujuran seorang kepala keluarga.
Pria itu adalah Herfian, ayah dari Felina Anggara. Kecerobohannya melibatkan banyak pihak dan berlangsung selama hampir delapan tahun lamanya.
Lantas, jika takdir mengharuskan kedua keluarga itu dihubungkan oleh benang merah tak kasat mata, apakah mereka juga akan disatukan kembali pada akhirnya? Apakah akan ada secercah harapan layaknya pelangi yang muncul setelah hujan?
Katanya; semakin kita terluka, semakin kita mencintai orang itu karena kita terlalu melibatkan banyak perasaan di dalamnya. Maka jelas, bukankah cinta yang akan memunculkan pelangi tersebut?
*****
Presented by: Yunita Chearrish
Start: Mar 16th, 2021 | 04:30
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow Hearts [END]
Teen Fiction[Karya ini pernah diterbitkan pada tahun 2016. Usai memutuskan kontrak karena sesuatu hal, karya ini jadi bebas dipublikasikan dan saya me-remake kembali dengan tulisan yang lebih up to date] Please vote if you enjoy 🌟 Genre : Teenfiction + Young A...