8). Step Brother

103 33 45
                                    

"Yaaaahhh... gue kira lo netap di Bandung. Ternyata cuma liburan tiga hari doang?" tanya Vesya, tidak bisa menyembunyikan rasa kecewa sementara Felina asyik menyantap pizza dengan lahap setelah sebelumnya menumpuk tiga potong menjadi satu di atas yang lain, memakannya sekaligus.

Duo Vesya dan Vino yang baru saja kembali setelah menerima panggilan telepon, sukses dibuat takjub dengan cara makan Felina yang jauh dari kata anggun itu.

"Ck. Kalo gue liat lo makan kayak gitu, jiwa paman dalam diri gue langsung berontak soalnya serasa nggak terima aja gue punya keponakan yang modelannya macam lo," celetuk Vino, menatap Felina dengan tatapan datar sementara Vesya terbahak.

"Iya, ya. Harusnya keponakan lo modelannya yang kayak gue," timpal Vesya, auto memasang ekspresi sok anggun sembari menyibakkan rambutnya bak duta iklan sampo ternama.

"Ck. Gue juga nggak terima kalo lo jadi keponakan gue."

"Ishhh... kenapa emang?" tanya Vesya galak, menatap Vino dengan tatapan terhina. Jika dikonversikan ke dalam dunia komik, mungkin ada sengatan listrik yang memancar dari sepasang netranya.

"Kalian sama aja galaknya, tuh lo sekarang aja mau membunuh gue dengan mata lo," jawab Vino enteng, mengabaikan amarah Vesya yang sudah mencapai level maksimal. "Untung aja ye lo bukan keponakan gue juga. Bisa kelar hidup gue."

"Harusnya lo bersyukur punya keponakan macam gue," kata Felina setelah menelan habis pizza di dalam mulutnya. Setidaknya walau cara makannya beringas, dia masih mempunyai sisa kesopanan untuk tidak berbicara saat mulutnya penuh. "Setidaknya lo punya gue kalo ada yang menindas lo. Atau... gue bisa melindungi lo dari cewek-cewek jablay. Bilang aja gue pacar lo, beres kan? Gue nggak masalah kok jadi pacar palsu lo. Ini untungnya punya keponakan yang umurnya nggak jauh sama umur pamannya."

"Yang ada gue bakal disangka homo, Fel. Lo gimana, sih? Lo lupa ya kalo penampilan lo cowok banget? Belum lagi--arrgggghhh! It hurts!" teriak Vino karena secara tidak berakhlak, Felina menendang tulang kering milik pamannya dari bawah meja tanpa merasa bersalah.

Vesya tergelak. Meski dia sudah terbiasa dengan interaksi Felina-Vino yang lebih terlihat seperti hubungan saudara daripada paman-keponakan, tetap saja dia selalu terhibur dan terkadang takjub sendiri jika mengingat status asli mereka.

Gimana ya, siapapun bakal kaget kalau tahu hubungan keduanya seperti apa. Awalnya Vesya juga demikian. Cewek itu ingat ketika dia kelas 2 SD, waktu itu dia mengunjungi rumah Felina untuk bermain bersama. Vino kemudian memperkenalkan diri sebagai paman Felina, yang dikiranya sedang bercanda.

Yang benar saja kan, mempunyai paman yang umurnya tidak terlalu jauh? Fakta tersebut cukup langka menurut Vesya.

Apalagi visual Vino tidak sejelek itu, yang lebih dari layak disebut ganteng. Vesya sempat dibuat baper meski hanya sebatas rasa kagum karena dia juga tidak sering berinteraksi dengan cowok itu. Juga, saat itu umurnya masih terlalu belia untuk bisa mengartikan rasa sukanya.

Vesya merasa bersyukur karena di saat dia mulai mengerti tentang menyukai seseorang dalam artian ingin menjadi pacarnya, saat itu dia pindah ke Bandung bersama orang tuanya dan bersekolah di sana.

Vesya tidak bisa membayangkan kalau dia benar-benar mempunyai perasaan lebih pada Vino. Buktinya, lihat kan bagaimana cowok itu mengatainya tadi?

"Lo nggak mau kuliah di sini, Fel?" tanya Vesya, masih saja berharap kalau-kalau bujukannya bisa mempengaruhi Felina. "Yaaaaa... kita kan bisa kuliah bareng-bareng. Kebetulan gue belum daftar juga."

Felina menggeleng, sementara gantian Vino menyantap pizza. Setidaknya cara makannya jauh lebih 'anggun' karena dia tidak menumpukkan pizza-nya seperti cara keponakannya tadi. "Gue ke sini karena nyari Felix, Sya. Lo masih inget kan sama dia?"

Vesya mengangguk. Tentu saja dia masih ingat dengan Felix, adik tiri Felina. Dia bahkan tahu tentang masalah keluarganya. "Kalian pisahnya udah lama banget. Apa menurut lo, Felix masih inget sama lo? Apalagi dia cuma bentar doang tinggal sama lo sebelum akhirnya kembali lagi ke Bandung yang lebih tepatnya terjadi setelah rumah tangga keluarga lo jadi kayak gini."

"Gue... gue tau kedengarannya emang gila, tapi gue pengen tau kabar Felix dan lucunya gue baru bisa mengalahkan rasa gengsi gue waktu Vino kuliah di Bandung. Gue kayak ngerasa bersalah aja karena setelah semua terjadi, gue nggak ada niat buat nyari dia. Yaaaa... setidaknya buat nanya kabarnya sebagai kakak yang baik."

Vesya menghela napas panjang dan menatap Felina dengan intens. Siapa sangka tatapannya bisa memberikan kesan kalau dia juga bisa serius di balik pembawaannya yang kelihatan childish. "Kalo menurut gue, bisa jadi karena lo nggak pernah punya adik dan pengen banget ngerasain gimana rasanya jadi kakak yang baik. Juga terlepas dari semua ini, Felix menjadi pihak yang menyedihkan, kan? Keluarga lo kacau gini, bukan kemauan dia. Dia juga sama seperti lo, sama-sama korban yang terluka."

"Wow," puji Vino setelah menghabiskan pizza dalam mulutnya, menatap Vesya dengan tatapan takjub. "Gue nggak percaya kata-kata bijak seperti itu bisa keluar dari mulut lo. Nggak nyangka ya, lo udah dewasa."

"Di mata lo, gue masih anak SD, kan?" tanya Vesya, memicingkan matanya dengan ekspresi jengah. "Gue udah dewasa lahir batin, Vin. Artinya, gue udah siap melepas status jomblo gue."

"Oh ya? Emang ada nih kandidatnya? Hahahaha--oke, oke. Plis jangan tendang tulang kering gue, bekas tendangan Felina masih membekas--arrrgggghhhhhh!!! It really hurts, damn it!"

Terlambat, karena Vesya menendang tulang kering milik Vino, targetnya bahkan sama persis di tempat Felina menendangnya.

"Rasain! Lagian ngomong nggak ada akhlak banget sih. Gini-gini gue tuh nggak kalah sama cewek kece di luaran sana. Lo aja yang buta!"

"Iya-iya. Lo cakep pake banget," aku Vino, memilih menyelamatkan diri sendiri daripada tulang keringnya menjadi sasaran untuk kali ketiga. Lantas, Vino mengumpat sebebasnya dalam hati.

Tidak ada yang tahu, bukan?

"Trus habis ketemu Felix, rencana lo gimana? Kalo Felix nyaranin lo tinggal di Bandung, apa lo mau?" tanya Vesya pada Felina sebelum menyedot cola-nya.

"Tuh kan, Vesya aja sepemikiran sama gue," celetuk Vino, menghalangi Felina bersuara. Sebagai gantinya, cewek itu menatap pamannya dengan tatapan datar. "Gue rasa kuliah di sini nggak buruk deh. Pertama, lo pastinya tinggal sama gue. Kedua, lo bisa kuliah bareng Vesya. Ketiga, lo bisa ketemu sama Felix atau bahkan lo bisa ngajak dia tinggal sama kita jadi dia nggak perlu kumpul kebo sama tuh cewek--hmm... siapa sih namanya? Ahhh, Cindy...." Vino menepuk tangannya dengan semangat, "Nah hebat kan ide gue? Ini definisi sekali tembak langsung dapet tiga target."

"Meski gue sebenarnya nggak rela muji-muji Vino karena bakal bikin kepalanya segede semangka, mau nggak mau dalam hal ini gue harus setuju sama dia," kata Vesya setelah sebelumnya melirik Vino dengan tatapan mencela. "Ini ide yang bener-bener recommended. Akan sayang banget kalo sampe lo lewatkan."

"Kedengarannya kayak rekomendasi film aja," celetuk Felina sembari mendengus keras. "Oke, anggap aja gue mau pertimbangkan soalnya akan terkesan kejam kalo gue langsung nolak, padahal gue memang punya niat untuk nolak gagasan ini--jangan natap gue kayak gitu dong, kalian berdua! Lama-lama tak jodohkan kalian berdua biar tau rasa!"

Seperti ada tangan tak tampak yang memutar duo kepala Vino-Vesya untuk saling menatap dan lantas secara serempak memasang ekspresi tidak terima dan meneriakkan, "GUE? SAMA DIA? OGAH!"

"Sori ye, selera gue bukan anak ingusan kayak lo!" cibir Vino, menjulurkan lidahnya pada Vesya untuk memancing emosinya.

"Lo kira gue mau sama om-om kayak lo? Mending gue jomblo aja!" balas Vesya tidak mau kalah.

Debat keduanya berlanjut sementara Felina memilih untuk mengabaikan mereka. Cewek itu lebih tertarik menikmati sisa pizza di hadapannya.

Karena bagi Felina, makanan bisa membuat perut kenyang dan hati senang.

Bersambung

Rainbow Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang