38). Healing

66 27 57
                                    

"Maafin gue, ya. Kata-kata gue nggak enak banget waktu itu." Ucapan maaf Felina segera mengingatkan Felix pada momen pertama mereka di area Siliwangi Bowling, membuatnya merasa malu sekaligus salah tingkah.

"Hmm... gue juga kelewat emosi kok, Fel. Bukan sepenuhnya salah lo," jawab Felix cepat. Keduanya duduk berhadapan di salah satu meja di Cafe Young, yang sedang dalam situasi ramai karena jamnya nongkrong.

Hari sudah malam, jam besar yang menggantung di dinding belakang kasir menunjukkan pukul tujuh. Barusan Felix datang bersama Remmy dan dua temannya yang lain, sementara Felina menyusul tidak lama kemudian.

Remmy lebih dari peka untuk tahu kalau Felina memerlukan privasi untuk berbicara dengan Felix, sehingga cowok itu segera mengajak teman-temannya menempati meja di sudut cafe yang lain. Tindakan tersebut tentu saja memberi kesan positif pada Felina, karena untuk pertama kalinya cewek itu tersenyum manis padanya.

"Hmm... trus ada lagi, nih. Mama gue--maksud gue... mama kita... hmm...."

"Santai aja, Fel. Emang kenapa sama mama lo?" tanya Felix balik, sempat membuat Felina mangap karena tidak menyangka Felix bisa sesantai itu seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

"Mama gue sempat bilang mau minta maaf secara langsung kalo punya kesempatan ketemu sama lo soalnya udah nyakitin lo juga. Jadi... maafin kami berdua, ya?" ucap Felina lagi, tampak begitu menyesal hingga menundukkan kepala, lebih tertarik menatap gelas beningnya yang berisi gelato.

Felix tersenyum lebar. Alasannya bukan semata-mata karena ucapan maaf saja, melainkan karena dia senang akan kesungguhan Felina, termasuk mamanya. Secara perlahan namun pasti, dia merasa setidaknya eksistensinya masih diinginkan seakan mengobati kegundahan hatinya yang sempat terombang-ambing.

"Nggak apa-apa, Fel. Wajar banget sebenarnya. Kalo di film-film muka gue pasti udah disiram air," kata Felix dengan tatapan jenaka. Kali ini humornya mengenai sasaran karena Felina terbahak saat membayangkan cowok itu benar-benar disiram air oleh Nirina.

"Entah perasaan gue apa bukan, tapi kayaknya pemikiran lo makin dewasa aja ya," puji Felina, tersenyum hingga mencetak lesung pipit samar. "Apa karena lo udah punya pacar?"

Felix tertawa lebar, menunjukkan semua giginya yang berderet rapi. "Iya kali, ya. Apa mungkin ini yang dinamakan kekuatan cinta?"

"Wow. Damage-nya nggak main-main ternyata," respons Felina. "Dan kayaknya lo sesuka itu sama dia. Siapa sih namanya? Kapan-kapan kenalin, ya?"

Felix mengangguk, lantas menghabiskan thai tea-nya hingga setengah. "Namanya Meilvie. Oke, kapan-kapan kita nongkrong seru sama dia, ya. Oh ya gue baru inget, kayaknya ada yang mau lo diskusikan sama gue, kan?"

Tangan Felina yang mengaduk isi gelato-nya sempat dibuat membeku selama beberapa saat, "Hmm... iya. Ada."

"Kenapa, Fel?"

Kali ini Felina terdiam lebih lama. Dia sebenarnya telah menyiapkan kata-kata yang tepat untuk disampaikan pada saat ini, tetapi dia memikirkan dampaknya pada Felix. Kenyataan cowok itu pernah disalahpahami hingga mengira eksistensinya tidak diharapkan, termasuk fakta dia belum pernah bertemu dengan ibu dan abang kandungnya, membuat Felina ragu.

Jangankan Felix, Felina sendiri saja masih merasa se-awkward itu jika diminta untuk menemui papanya.

Namun sama seperti Felina yang berhak mengetahui kebenarannya, Felix juga berhak tahu kalau dia mempunyai seorang ibu dan abang kandung yang masih menyayanginya.

"Fel?" Felix memanggilnya, dengan sorot mata cemas. "Lo mau ngomong apa?"

"Hmm... gue mau cerita. Boleh?"

Rainbow Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang