27). Coincidence or Fate?

71 29 47
                                    

Pasca insiden di lantai tiga kemarin sore, Meilvie segera membulatkan tekad kalau dia harus menyerah atas perasaannya pada Revan. Alasan yang membuatnya menyerah bukan karena takut dengan ancaman Tari--sama sekali bukan, melainkan karena fakta kalau Revan sudah mempunyai pacar.

Meilvie bisa saja mempertahankan perasaan dan mengejar cintanya sendiri, tetapi situasinya akan berbeda jika status cowok yang dia sukai ternyata sudah mempunyai pacar karena merebut pacar orang lain tidak tercantum dalam prinsip hidupnya.

Itulah sebabnya mengapa Meilvie segera menghindar ketika ekor matanya menangkap sosok Revan yang mendekat dan dia berkelit ketika cowok itu mengejarnya.

"Meilvie!" panggil Revan dalam radius dua meter dan Meilvie tidak mempunyai pilihan selain berbalik lalu memasang senyuman terlalu lebar, bersikap seolah-olah baru melihat cowok itu.

"Eh, Kak Revan! Apa kabar?"

Kok malah nanya apa kabar, sih? Bego banget!

Revan menempuh sisa langkahnya di sepanjang koridor hingga dia berada dalam jarak pandang yang cukup untuk membalas senyuman Meilvie dan berkata, "Hmm... Meilvie, aku mau minta maaf, ya?"

"Kenapa, Kak?" tanya Meilvie, memutuskan untuk tidak peka daripada sok tahu.

Revan menarik tangan Meilvie untuk membawanya menepi agar tidak menghalangi akses lalu-lalang oleh para murid yang melintasi koridor. Dari sini, keduanya bisa memandang lapangan basket di seberang mereka.

"Kamu... masukin surat ke loker, ya? Soalnya Kakak sempat baca nama kamu di balik amplopnya, tapi nggak sempat baca isinya. Hmm... sebenarnya...."

"Oh itu," kata Meilvie, berusaha terlihat tidak peduli tetapi tidak bisa menutupi kecanggungannya. Pemandangan di hadapannya lantas terasa dua kali lipat lebih menarik sekarang. "Hmm... i-itu... itu bukan hal penting, kok. Hmm... sebenarnya...."

"Apa isinya tentang... hmm... maaf sebelumnya ya, Meil. Apa isinya tentang... kurang lebih berkaitan tentang--hmm... kamu tau sendiri kan kalo cewek ngasih amplop warna pink ke cowok, itu artinya...." Revan ikut-ikutan menggantung, berusaha to the point. Di satu sisi cowok itu cemas kalau-kalau Meilvie bisa saja tersinggung karena terkesan tidak menghargai ketulusannya, tetapi di sisi lain dia juga merasa bersalah karena tidak mengetahui apa isi suratnya.

Bisa saja kan kalau isi surat itu bukan tentang pernyataan perasaan? Karena jika iya, Revan bakal merasa malu banget.

Meilvie bungkam, lantas membuka mulut untuk merespons tetapi secara tidak terduga ada orang lain yang menghalanginya.

Kehadirannya tidak hanya membuat Meilvie kaget, tetapi dia juga mengulurkan sebelah lengan untuk merangkulnya.

Tubuh pendek Meilvie yang pelukable begitu pas bersanding dengan Felix, apalagi ketika dia menarik bagian belakang kepalanya untuk disandarkan ke bagian dadanya.

Melihat kemesraan mereka seperti itu, siapa saja akan mengira mereka adalah pasangan, bahkan Revan juga mengambil kesimpulan yang sama.

"Ap--"

Protes dari Meilvie terkubur begitu saja karena Felix menekan kepalanya lebih dalam. "Nungguin lama ya, Beb? Kamu kesel sama aku ya sampai-sampai ngajak cowok lain ngobrol berdua?"

Meilvie berusaha melepaskan diri, tetapi sulit karena indera penciumannya mulai peka terhadap aroma tubuh Felix. Aroma parfumnya wangi. Dia tidak tahu apa saja kandungan di dalamnya, yang jelas dia bisa mencium aroma citrus, membuatnya betah secara tidak sadar. Untung saja indera pendengarannya juga peka sehingga ketika dia mendengar suara Revan, cewek itu segera mengalihkan wajahnya.

Rainbow Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang