"Na, gimana ceritanya sih kok lo bisa kuliah di sini?" tanya Khelvin tepat setelah Pak Rifky meninggalkan ruangan, menandakan sesi perkuliahan telah berakhir.
Jerico yang sedari awal mulai memperhatikan Felina sejak mengenalnya sebagai anak dari Herfian--Om angkatnya, memfokuskan diri untuk menguping sementara tangannya sengaja dibuat sesibuk mungkin agar gelagatnya tidak ketahuan.
"Ceritanya panjang. Pokoknya gue akhirnya kuliah di sini," jawab Felina cuek sembari memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
"Lo masih inget sama gue, kan?" tanya Vesya pada Khelvin, menghalanginya membuka suara untuk berbicara pada Felina. "Gue yang waktu itu di sekolahannya sepupu lo dan adik gue."
"Iya, gue inget kok. Lo Vesya, kan? Senang ketemu lagi sama lo," jawab Khelvin sembari menunjukkan senyum manisnya dan kemudian mengalihkan tatapannya lagi ke Felina. "Na, lo ke sini pakai apa? Gue anterin pulang, ya?"
Felina tahu kalau Khelvin adalah si pangeran yang disukai oleh Vesya hingga rela menjadi bucin. Oleh sebab itu dia mulai memikirkan alasan supaya bisa kabur dari situasi ini. "Gue pake motor, kok. Sya, sori ya. Gue nggak bisa anter lo pulang soalnya ada janji sama bokap gue."
Felina memberikan tatapan penuh arti sebagai sinyal yang untungnya segera dipahami oleh Vesya. "Oh iya, nggak apa-apa. Kalo gitu gue pulang pake bus dong, ya? Ya udah deh, lain kali aja ya."
Dengan bakat akting yang mumpuni dari mamanya, Felina menoleh ke arah Khelvin dengan tatapan innocent-nya. "Vin, gimana kalo lo yang anter Vesya pulang aja? Gue nggak enak nih sama Vesya kalo nggak ada yang anter dia pulang padahal gue yang jemput dia tadi. Boleh, kan?"
Tanpa ketiganya sadari, Jerico mendengus konyol mendengar semua itu. Dia cukup tahu kalau cewek yang duduk di depannya ini sedang berbohong dan di saat yang sama pula, dia kesal dengan semua kemunafikannya.
Felina sebenarnya merasa sedikit berdosa pada Khelvin karena telah membohonginya, namun dia segera menghibur diri kalau apa yang dilakukannya mungkin bisa dimaafkan. Ibarat sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, selain demi kepentingan perasaan Vesya, dia juga masih ingin menyendiri untuk menata perasaannya.
Bisa dibilang, ini termasuk win-win solution, kan?
Felina sampai di halte bus tepat pada waktunya, karena bus yang ditungguinya tiba tidak lama kemudian. Maka tanpa perlu menunggu lebih lama, dia segera naik dan duduk di kursi favoritnya, letaknya di paling sudut belakang yang bersebelahan dengan jendela.
Bus yang ditumpanginya pun segera melaju dengan kecepatan yang semakin lama semakin stagnan. Felina tidak menyadari ada seseorang yang duduk di sampingnya karena dia asyik melihat pemandangan di luar. Orang itu ternyata adalah Jerico, yang sedari tadi merasa penasaran dengan cewek tomboi itu.
Penasaran dalam artian ingin mengetahui seberapa besar kemunafikannya.
"Hei, lo pandai banget ya berakting?" tanya Jerico, lengkap dengan seringainya sementara Felina menoleh ke sumber suara.
Tatapan keduanya bertemu; mata Felina yang membulat sempurna dan mata Jerico yang menatapnya dengan intens.
"Lo lagi ngomong sama gue, ya?" tanya Felina polos, sempat heran dengan cowok asing yang mengajaknya berbicara, apalagi menanyakan pertanyaan aneh.
"Iya, sama lo. Menurut gue, lo cewek munafik yang sengaja cari perhatian banyak orang. Tapi sayangnya, gue nggak akan jadi salah satu orang yang terpukau sama lo."
Felina yang belum selesai menenangkan diri, lantas harus dibuat syok ketika cowok asing itu mencondongkan tubuh dan mendekatkan wajahnya hingga jarak mereka tidak lebih dari sejengkal tangan. "Gue heran kenapa bahkan seorang anak konglomerat bisa tertarik sama lo, sih? Kehebatan lo apa sih memangnya? Apa lo juga bisa menarik perhatian gue? Karena kalo iya, gue akan minta maaf atas kelancangan gue hari ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow Hearts [END]
Teen Fiction[Karya ini pernah diterbitkan pada tahun 2016. Usai memutuskan kontrak karena sesuatu hal, karya ini jadi bebas dipublikasikan dan saya me-remake kembali dengan tulisan yang lebih up to date] Please vote if you enjoy 🌟 Genre : Teenfiction + Young A...