Felix termenung. Walau matanya mengarah ke taman air mancur yang dibangun di alun-alun halaman luas High Mall, mata itu kosong. Pikirannya penuh.
Hari sudah sore, mengingat langit mulai memancarkan jingga keemasan yang begitu indah dipandang sementara banyak orang berlalu-lalang di sekitar halaman mal. Mayoritas berhenti untuk sekadar menikmati air mancurnya atau melempar koin ke dalam ceruk yang tersedia sebagai pelampiasan kesenangan, meski ada juga yang benar-benar menyuarakan permohonan di dalam hati dengan mata terpejam.
Felix sempat tergoda untuk melakukannya juga, tetapi segera tertampar kenyataan bahwa terlepas dari keinginannya meminta permohonan lewat air mancur, dia tidak akan pernah mendapatkannya.
Karena kehadirannya tidak pernah diakui.
Felix lantas menyeringai sebagai usahanya untuk menertawakan diri sendiri meski nyatanya, dengusannya terdengar menyedihkan seakan dia sedang mengasihani diri sendiri. Tatapannya lantas beralih ke anak kecil yang sedang dipeluk erat oleh ayah dan segera berpindah pelukan ke ibunya dengan riang.
Tenggorokan Felix tersekat lagi, yang kali ini dibarengi oleh rasa sakit pada ulu hati, membuatnya bersusah payah menelan salivanya sendiri. Cowok itu berusaha membuang pandangannya, tetapi yang terjadi malahan dia seperti tersihir untuk terus melihat keakraban mereka. Keakraban yang belum pernah dialami dan dirasakan selama hidupnya.
Mungkin, tidak akan pernah....
Felix tidak sadar kalau ada seseorang duduk di sebelahnya sampai suara itu berkata, "Menurut lo jumlah koinnya berapa, ya? Apa mungkin bisa buat bayar uang SPP sebulan?"
Felix tidak menjawab. Menoleh pun tidak, tetapi setidaknya dia tahu kalau Meilvie berusaha menghiburnya dan dia bersyukur dalam hati karena kesedihannya tidak dijadikan sebagai bahan lelucon.
"Hei, lo denger gue nggak? Kalo lo pengen sendirian, nggak apa-apa. Bilang aja."
Felix masih diam sementara Meilvie menghela napas.
"Gue pulang dulu, ya?" pamit Meilvie, yang baru disadari oleh Felix kalau nada bicaranya sudah melembut, berbeda dari biasanya yang selalu galak dan membuat telinga meradang. Cewek itu beranjak tetapi Felix menarik tangannya sehingga dia kembali duduk, dengan hempasan yang cukup kuat.
Meilvie membuka mulut, tetapi Felix berkata, "Tunggu sebentar lagi."
"Tunggu apa?"
Felix diam lagi hingga akhirnya Meilvie memutuskan untuk ikut diam, setidaknya dia berpikir mungkin cowok itu lebih suka ditemani dalam diam. Keduanya menghabiskan beberapa menit memandangi air mancur. Tiga anggota keluarga tadi sudah masuk ke dalam mal.
"Gue anak yang diharapkan nggak pernah ada," kata Felix tiba-tiba. Nadanya begitu sedih hingga Meilvie merasa akan lebih baik jika cowok itu diam saja. "Yang lo liat tadi itu, mama dan papa gue."
Oke, fix. Rupanya Felix tahu kalau Meilvie membuntutinya tanpa ada satu pun terlewatkan.
"Dari dulu gue selalu merasa terbuang, tapi gue nggak pernah peduli dengan hal itu." Felix berujar lagi. "Tapi hari ini beda. Ketika gue liat mama gue dengan mata gue sendiri, gue merasa nggak pantas hidup di dunia ini. Kenapa dia nggak buang gue aja waktu masih bayi? Kenapa gue harus liat mama gue sendiri setelah gue kelas 1 SMA? Dan kenapa... dia harus muncul setelah gue berpikir dia udah meninggal?"
"Felix--"
"Kenapa dia nggak pernah nyari gue kalo dia ternyata masih hidup?" potong Felix, air matanya menetes kembali, tetapi dia tidak sesenggukan seperti anak kecil yang menangis histeris. Meilvie baru sadar, untuk pertama kalinya dia bertemu dengan orang yang menangis se-'kalem' itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow Hearts [END]
Teen Fiction[Karya ini pernah diterbitkan pada tahun 2016. Usai memutuskan kontrak karena sesuatu hal, karya ini jadi bebas dipublikasikan dan saya me-remake kembali dengan tulisan yang lebih up to date] Please vote if you enjoy 🌟 Genre : Teenfiction + Young A...