Seorang wanita berpenampilan glamor melangkah menuju restoran berbintang lima. Pintu super lebar otomatis dibukakan oleh salah seorang petugas dan segera menundukkan kepalanya dengan hormat sebagai bentuk pelayanan.
Wanita itu membalas anggukan kepala tersebut dengan gaya yang sangat anggun hingga membuat siapa saja takjub setiap melihatnya.
Wajahnya berbentuk hati, dengan dandanan yang cukup tebal meski terlihat natural, alih-alih mencolok. Wanita itu memakai terusan bermotif bunga yang dilengkapi dengan blazer putih sebagai lapisan luarnya, menutup asal sepanjang pundaknya tanpa benar-benar dipakai. Aksesories yang dipakai juga semakin menambah visualnya; anting-anting bermodel panjang berwarna keperakan yang menjuntai ke bawah telinga, tas tangan yang dipastikan asli dan bermerek, hingga high heels yang berwarna senada dengan blazer-nya.
Dari luar, wanita itu terlihat seperti baru menginjak kepala tiga dikarenakan pakaiannya yang modis, padahal usianya hampir menginjak kepala empat.
Rupanya wanita itu telah membuat janji dengan seseorang, terbukti dari penyampaiannya pada salah satu pelayan restoran yang segera membimbing wanita itu ke area tujuannya.
Benar saja, sudah ada seseorang yang menunggunya kemudian tersenyum lebar, yang dibalas oleh wanita itu tidak kalah lebarnya.
"It's very long time no see," sapa wanita itu sembari menekuk lutut untuk duduk dan melipat sebelah kakinya ke kaki yang lain dengan anggun. "How's life, Herfian?"
"You're back. Finally. As you see, Yenni. I'm always that fine. Would you like to order something?" tanya Herfian.
"One small black coffee, please." Yenni memesan pada pelayan restoran yang sedari tadi menunggunya untuk memesan.
"Alright. Make it two. Thanks," kata Herfian pada pelayan itu.
Setelah pelayan itu pergi, Yenni tersenyum lagi pada Herfian. "Oh ya. Gimana kabar Jerico?"
"Sebelum nanya Jerico, kenapa kita nggak bahas Felix dulu?"
Yenni refleks membuang napas panjang. "Soal Felix, aku masih nggak tau bagaimana cara menemuinya. Sampai sekarang dia belum tau kalo aku adalah ibu kandungnya. Selama delapan tahun ini dia mungkin berpikir aku adalah ibu jahat yang tega meninggalkannya."
"Aku juga masih menutupinya dari Jerico," timpal Herfian dengan nada lelah, terlihat dari embusan napas beratnya. "Bahkan sampai sekarang. Aku nggak seberani itu mengatakan kalo dia punya adik. Itulah sebabnya mengapa aku membiarkan Felix pergi dari rumah saat dia emosi. Aku takut ketahuan kalo dia dan Jerico bersaudara. Aku minta maaf nggak mencarinya meski sebelumnya aku udah ngomong sama Cindy--yang tinggal serumah sama dia untuk membiarkan Felix tinggal sama dia selama beberapa bulan atau setidaknya setelah situasi lebih terkendali. Aku lega karena di saat aku dilema, kamu akhirnya kembali."
"Nggak apa-apa, Herfian. Aku selalu tau bagaimana keadaan anak-anakku lewat relasi yang terpercaya. Bagaimanapun kalo kamu nggak menolongku waktu itu, mungkin aku sudah meninggal. Juga berkat kamu, aku jadi lebih termotivasi untuk bertahan hidup."
Kata-kata itu membuat ingatan Herfian melayang ke delapan tahun silam layaknya video dokumenter yang diputar ulang.
"Yenni, kamu nggak apa-apa?" tanya Herfian cemas, dia menggenggam tangan Yenni erat.
Yenni sedang terbaring di atas brankar dalam ruangan putih dan berbau obat. Sebelah tangannya terinfus dan sebagian wajahnya ditutupi alat bantuan pernapasan.
Yenni balas menggenggam tangan Herfian kuat. "Herfian, tolong dengerin aku."
Herfian mendekatkan telinga dan mendengar setiap patah per patah yang diucapkan oleh teman seperjuangannya semasa muda dulu. "Selama aku operasi, aku mohon rawat anakku, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow Hearts [END]
Teen Fiction[Karya ini pernah diterbitkan pada tahun 2016. Usai memutuskan kontrak karena sesuatu hal, karya ini jadi bebas dipublikasikan dan saya me-remake kembali dengan tulisan yang lebih up to date] Please vote if you enjoy 🌟 Genre : Teenfiction + Young A...